Showing posts with label Tuhan. Show all posts
Showing posts with label Tuhan. Show all posts

Thursday, December 9, 2010

Kartu Matahari Pecandu Pagi

Tuhan Yang Maha Sempurna,

Hari ini, seorang teman yang baru saja ku kenal,
Kau ajak tinggal di rumahMu.

Aku tertunduk.
Memejamkan mata sambil meletakkan kedua tangan di dada.

Raih tanganku Tuhan,
tolong sampaikan hangatnya genggaman ini bagi teman baru itu.

Norvan Hardian yang akrab menyebut dirinya sebagai PecanduPagi,
sore ini menutup matanya.

Perutnya membuncit. Tubuh yang menguning.
Itu adalah kondisi terakhirnya, akibat kanker hati yang entah sudah berapa lama menggrogoti tubuhnya
tapi baru beberapa bulan terlihat.

Mungkin saat ini, dia sudah tidak merasakan itu lagi.
Rasa sakit hilang bersama nafas yang terhenti dalam pejaman mata.

Otopet, itu yang membuat dia mengingat saya dalam pertemuan yang sangat singkat.
Komik Pamali, itu yang membuat saya mengetahui bakatnya yang luar biasa.

Bahkan ketika dokter mendiagnosa dia dengan kanker stadium akhir,
PecanduPagi membakar semangatnya untuk bisa membuat komik yang bercerita mengenai kanker.

Ah Tuhan, kenangan saya hanya sedikit.
Hanya itu yang saya punya, tapi rasa kehilangan ini begitu dalam.
Rasa sedih seolah tidak henti menggelayut dalam hati.

Tiba-tiba terpikir kedua anaknya yang masih sangat kecil.
Bahkan anaknya yang bungsu umurnya masih dalam hitungan bulan.

Teringat ketika PecanduPagi menuliskan status romantik yang menggelitik pada Facebook-nya,
"Istriku,anak anakku...ingin rasanya segera berkumpul lagi...bersama kebo."
Saya menangkap pesan itu, tepat dihari ulang tahun saya yang membuat saya tertawa geli.

Dan kini, jejaring sosial itu penuh dengan tulisan belasungkawa.
Beberapa teman terdekatnya bahkan menampilkan foto-foto ketika bersama.
Seorang teman terdekat pun memilih menjadikan tangkapan kamera PecanduPagi sebagai profile pic-nya.

Semua kehilangan dan semua berduka.
Ini malam duka cita ternyata.

Usianya sangat muda tapi bakatnya luar biasa.
Apakah Tuhan sedang butuh orang muda yang berbakat?
Seorang pencinta pagi dan matahari.
Humoris sejati yang bisa menghibur banyak orang.

Kini kami hanya punya kenangan Tuhan.
Kami hanya bisa memutar apa yang pernah terjadi dengan tangan dingin dan mata berkaca.

Tapi kami juga mengirimkan kata-kata dalam nafas yang tulus
agar perjalanannya menuju rumah pemilik matahari bisa berjalan sempurna.

Kami kirimkan juga jalinan jemari yang erat pada isteri dan kedua anaknya
yang masih akan menikmati pagi.

Dan kata-kata yang terangkai ini
adalah cara kami untuk menyimpan PecanduPagi dalam semangat yang pernah dibagikan.

Ini adalah doa untuk rasa terima kasih atas kebersamaan
ketika menikmati bakat yang luar biasa.

Kartu matahari,
Sebuah kartu imajinatif yang dikirimkan melalui keikhlasan melepaskan
seorang teman, sahabat, suami, anak, suami, dan ayah yang sederhana
Sesederhana namanya yang mudah diingat Norvan Hardian

Tapi kartu matahari juga berisi energi.
Energi untuk menggenapi hidup dengan segala aura pagi.
Karena pagi adalah awal dari kenikmatan mengenapi hidup.

Dan kartu matahari itu, kami berikan pada Norvan Hardian, si PecanduPagi.
Tuhan akan bersamamu teman,
dalam perjalananmu pulang menuju matahari.



Malam duka, 9 Desember 2010



Tuesday, November 23, 2010

Duduklah Bersamaku Tuhan

Desain by : Pablo Reinoso
Pic : www.baekdal.com
Sini...
Iya Kamu, ke sinilah.
Bangku taman ini ku sediakan untukMu.

Mengapa...mengapa malu...
Ayo jangan tundukkan wajahMu,
Aku sudah menungguMu, sejam lalu.

Iya, sejam lalu.
Usai Kau katakan, tunggu Aku di taman itu, satu jam dari sekarang.

Lalu sekarang Kau hanya tertunduk malu.
Ayo duduk di sampingku dan tautkan jemariMu pada jemariku.

Apa, tanganMu terluka? Karena Kau baru saja tergantung pada kayu penebusan itu.
Ah manusia memang tak mengerti dengan siapa mereka berhadapan.

Mari...mari aku balut lukaMu.
Iya, akan aku balut. Jadi duduklah lebih dekat.
Berhenti menunduk, biar ku lihat cahaya di wajahMu.

Hei mengapa Kau menangis?
Rupanya bukan hanya tanganMu yang terluka.
Apa mereka juga mencolok mataMu?
Manusia keparat memang, apa mereka benar-benar tidak tahu siapa yang dihadapi.

Kau ingin aku menghujamkan belati pada jantung mereka?
Kau ingin aku merobek lambung mereka?
Atau Kau ingin aku menghancurkan jari-jari kaki mereka?

.....

Mengapa Kau hanya diam?
Kau ingin aku mendekat? Baiklah aku mendekat.
Apa...aku tak dapat mendengar suaraMu...bicaralah lebih keras.
Apa...Kau terlalu pelan.
Biar aku tempelkan daun telinga di bibirMu
"Aku hanya ingin, kau duduk bersamaKu di bangku taman ini," ucapMu begitu mesra.

Teramat mesra, karena itu kali pertama aku mendengar suaraMu.
Suara kekasih hati yang rindu duduk di bangku taman yang sudah menua.
"Ini bangku kita. Hanya bangku ini yang mempertemukan kita. Duduklah bersamaKu."
Kau katakan itu semua sambil menggenggam tanganKU
Meski darah tak berhenti menetes, Kau tetap genggam tangaku.
"Duduklah bersamaKu di bangku taman ini."
Hanya itu yang Kau katakan sambil menghitung daun-daun yang berjatuhan.


Jakarta, 23 November 2010



*Saya tidak tahu, tapi saya merinding menulis ini.
Ah mungkin hanya perasaan saya saja.