Tuesday, July 31, 2007

Shakespeare in Love

By : Layla Kaylif

He's fought and he's fallen
He's on his knees before he's on his feet
A sinister romantic
Oh, he's about to be and she's about to see

Teachin' torches to burn bright
She's hanging on the cheek of night
A snowy dove trooping with crows
He never saw true beauty till tonight

CHORUS:
She'll take him to the brink of deliverance
Show him that much
Oh, don't you know it
Oh, don't you know it
So he falls in love to feel that he's falling
She'll let him know his heart
Oh, don't you know it
Oh, don't you know it
That's Shakespeare in love

He's fought and he's fallen
He's on his knees before he's on his feet
A glittery romantic
Oh, he's about to be and she's about to see

His bounty's boundless like the sea
His love is endless, just as deep
The more he gives the more he has
`Cause both of them are truly infinite

CHORUS:
She'll take him to the brink of deliverance
Show him that much
Oh, don't you know it
Oh, don't you know it
So he falls in love to feel that he's falling
She'll let him know his heart
Oh, don't you know it
Oh, don't you know it
That's Shakespeare in love

That's Shakespeare in love

A sinister romantic
He's on his knees before he's on his feet

CHORUS:
She'll take him to the brink of deliverance
Show him that much
Oh, don't you know it
Oh, don't you know it
So he falls in love to feel that he's falling
She'll let him know his heart
Oh, don't you know it
Oh, don't you know it
That's Shakespeare in love

That's Shakespeare in love

Tiba-tiba lagu ini menjadi sound track untuk hari ini....lagunya bagus dan bersemangat.

Friday, July 27, 2007

Emang Mirip Ya?



Ada begitu banyak orang yang mengatakan bahwa dua mahluk ini mirip...pas dilihat-lihat sepertinya faktor rahang dan jidat yang jenong bikin semua ucapan itu jelas. Btw, Anda berminat untuk menambah daftar yang mengatakan kami mirip ?

Heheheheheh

Thursday, July 12, 2007

Keramahan Jawa Terhadap Agama

Secara garis besar, setiap agama menawarkan konsep cinta kasih kepada manusia dan dunia merupakan tempat persinggahan sementara. Adapun filosofi dasar keimanan orang Jawa sangat diwarnai dengan kesadaran mereka dalam memandang relatifitas keberadaan manusia di dunia. Dua filosofi tersebut memiliki daerah arsiran yang sama, yaitu membentuk kesadaran bahwa apapun yang ada di dunia sangat bersifat sementara. Sehingga manusia harus menjaga setiap hubungan yang terjalin dalam definisi keteraturan untuk mewujudkan harmonisasi.

”Salah satu yang merupakan wujud dari kepercayaan asali Jawa adalah mengenai Pawukon atau penghitungan waktu. Pawukon sangat dikaitkan dengan Kala atau dikenal sebagai dewa waktu yang menelan manusia ketika manusia tidak mendalami keseimbangan alam secara sempurna. Dari pawukon tersebut lahirlah perhitungan hari baik dengan hari buruk, atau orang yang lahir pada hari tertentu akan dipengaruhi oleh unsur-unsur tertentu. Bila diartikan secara konseptual, pawukon dapat menimbulkan kesulitan secara teknis karena upacara pernikahan harus sesuai dengan hitung-hitungan yang tepat,” Dr. Gabriel Possenti Sindhunata. SJ memaparkan.

Namun kini dengan proses inkulturasi dari agama, sinkretisme tersebut melebur kedalam tingkat pemahaman yang lebih matang. Menurut Sindhunata pawukon kemudian menjadi pemahaman keagamaan bahwa setiap orang dilahirkan dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dimana proses kesempurnaan manusia, hanya dapat terjadi ketika tepo seliro atau kasih dipakai sebagai penghargaan tertinggi atas waktu dan kehidupan. Karena mereka kemudian menyakini bahwa semua hari terbentuk dengan kesempurnaan Sang Pencipta. Dan memaksimalkannya melalui kepedulian terhadap sesama adalah cara untuk mempersiapkan keutuhan untuk kembali pada pemilik waktu.

Disamping itu, menurut Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, SJ, salah satu yang menjadi kekuatan orang Jawa adalah mereka tidak pernah terlepas dari penghayatan kebatinan terdalam mereka. Artinya pengaruh masuknya agama-agama dalam sistem kepercayaan orang Jawa merupakan salah satu ekspresi mereka untuk menghayati jati diri kebatinan mereka.

“Jauh di dalam hati mereka, mereka takut menimbulkan efek negatif dalam kehidupan sehari-hari mereka ketika tidak menjalankan hal-hal yang bersifat kebatinan. Karena kebatinan merupakan suatu proses penghayatan mendalam yang kemudian disinergikan dengan keberadaan agama yang mereka peluk. Atau dapat didefinisikan dalam bahasa sederhana, bahwa masyarakat Jawa menghayati nilai-nilai ajaran agama sebagai bentuk penghayatan atas kebatinan kejawaannya. ”

Hal inilah yang kemudian menunjukkan kekuatan identitas kultural Jawa yang kuat didalam permukaan yang berbeda.Jadi orang Jawa tidak akan mengalami keterasingan dari kebudayaannya sendiri. Adapun dimensi kebatinan yang bersinergi dengan nilai-nilai Injil, Magnis menyebutkan bahwa agama Kristen dan Jawa memiliki paham rasa yang sama. Ketika Allah berada dalam hati seseorang, maka Allah akan mengolah rasa seseorang dalam memandang realitas. Artinya penyertaan Allah selalu disimbolkan dalam berbagai aspek karena bagi mereka yang ilahi muncul dalam bentuk yang sama dengan manusia.
“Dalam kisah pewayangan, Punakawan terdapat hubungan yang erat antara Arjuna dan Semar. Arjuna dinilai sebagai yang dilayani dan semar dianggap sebagai yang melayani, dimana keduanya selalu bersama dalam konteks kebersamaan dan cinta kasih. Dan bagi orang Kristen, inti Iman adalah Allah menjadi manusia dan Allah menyertai kita. Maka sinergitas rasa antara hubungan yang erat antara manusia dan tuhan terealisasi dalam Kristen yang dijawakan atau Jawa yang dikristenkan,” Magnis menambahkan.

Adapun Islam menurut Mohammad Sobary, ada kalanya berhimpitan dengan kejawaan. Dan ada kalanya Islam bersebelahan dengan kejawaan. Yang menjadi kunci dari proses inkulturasi keduanya, menurut budayawan ini adalah Sultan Agung yang berhasil menginterpretasikan tahun jawa ke dalam tahun Islam. “Karena watak pluralisme yang kuat dalam diri Sultan Agung maka secara eksplisit suro diartikan sebagai muharam. Dari sinilah kemudian pemikiran akan kontektualisasi Islam mulai berkembang, Maka lahirlah tradisi sekaten dalam konteks kerajaan Jawa, sekaten itu sendiri memiliki nuansa keislaman yang kental,”

Dan seiring dengan berjalannya waktu, Islam-Jawa yang telah meresap dalam kebudayaan keraton membuat proses islamisasi di Jawa melahirkan cirinya sendiri. Sehingga pemahaman bahwa hidup di dunia hanyalah bersifat sementara atau mampir ngumbeh membuat nilai-nilai Islam kemudian diterjemahkan secara harmonis dalam kebudayaan Jawa. Misalnya adalah ajaran tentang bagaimana memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan, menurut Sobary telah diajarkan sebelumnya oleh Sunan Drajat yang kemudian bersinergi dengan kebatinan orang Jawa sebagai kedalaman cinta kasih kepada manusia dalam bermasyarakat.

Bahkan sinergitas antara Islam dan Jawa juga telah terdapat pada kitab pujangga Jawa yang menyebutkan unsur-unsur keislaman. Salah satunya ada dalam tulisan tembang dandang gula Mangkunegara IV yang mengajarkan tentang menghormati guru. “Dimana ternyata tulisan Mangkunegara tersebut disatir dari kitab Imam Al-Ghazali yang mengajarkan bahwa guru yang baik adalah yang bermartabat, menjalankan hukum-hukum Islam, merasa cukup dan berprinsip tidak peduli terhadap hal-hal keduniawian atau suhud. Dari sini terlihat bahwa Islam dan Jawa sudah sejak dulu bersebelahan bahkan berhimpitan.”

Dan konsep itu semakin dikuatkan ketika salah satu wali yang paling berpengaruh di Jawa, yakni Sunan Kalijga mampu melakukan harmonisasi antara Islam dan Jawa dalam konsep mampir ngumbeh atau hanya mampir minum dan kemudian harus kembali pulang. Hal tersebut menurut Sobary, kemudian diwarnai oleh nilai-nilai Islami yang kuat dan diselaraskan dalam konsep kebatinan orang Jawa. “Bahwa dunia bukanlah semata-mata tempat tinggal yang absolut karena setiap orang akan kembali kepada pemberi kehidupan, untuk itu kesederhanaan dan kejujuran harus dijalani untuk mempermudah proses kembali pada Allah.”

Inilah mengapa Islam-Jawa membentuk cirinya sendiri dalam proses inkulturasi. Tidak hanya itu, karena harmonisasi menjadi tonggak yang akan dikejar dalam filosofi kebatinan orang Jawa, membuat mereka mampu menangkap nuansa kerohanian yang sama dari setiap nilai-nilai agama yang masuk. Namun mereka juga tidak akan pernah melupakan titik awal dari kebatinan mereka sendiri.

Dimuat pada halaman Oase Budaya, Jurnal Nasional, 12 Juli 2007

Tulisan Lebih lekat dengan filosofi Jawa dan tulisan ini sangat gua suka. Karena prosesnya berat tapi gua pribadi memuji isi tulisan yang gua buat sendiri. Narsis...?Ngga ada salahnya kasih apresiasi pada diri sendiri kan. Dan ketika gua baca tulisan ini, tiba-tiba cita-cita untuk bisa jadi bagian dari Majalah Basis. Duh Romo Sindhu, pekerjakanlah aku dimajalahmu itu.....
Lebih Lekat Dengan Filosofi Jawa

“Sepi pamrih ramein gawe, memayu hayuning buwono” adalah filosofi dasar orang Jawa yang menurut Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, SJ sebuah ucapan yang mampu mengambarkan cita-cita orang Jawa. Karena perkataan tersebut membentuk pemikiran orang Jawa untuk memiliki ketentraman hati dan kesatuan dengan Tuhan. “Sepi pamrih, memiliki arti jauh dari dorongan untuk hanya mengejar kepentingan sendiri. Ramein gawe, berarti bergiat dalam hal melaksanakan kewajiban. Sementara mamayu hayuning buwono, melengkapinya dengan arti ikut serta dalam memperindah dunia.”

Konsep pemikiran itulah yang kemudian menjadi etos kerja orang Jawa, untuk selalu menyumbang sesuatu bagi kehidupan di dunia agar lebih baik dan indah. Dan jika etos kerja tersebut diterapkan secara langsung, maka orang Jawa akan selalu memiliki ketentraman hati dalam melaksanakan segala kegiatannya dengan selalu menjaga kedekatan hubungannya dengan Sang Maha Pencipta.

Karenanya jika kita berbicara mengenai kebudayaan Jawa maka kita akan selalu berada di dalam lingkaran definisi keseimbangan, keselarasan dan keserasian. Dimana menurut rohaniawan yang sempat menerbitkan buku Javanese Idea of The Good Life ini, dalam diri orang Jawa akan selalu terpatri unsur kata harmoni. Yang kemudian terpotret dalam wujud keramahan dalam tingkah pola orang Jawa sehari-harinya.

Keramahan tersebut menurut budayawan Mohamad Sobary, terbentuk karena perjalanan sejarah orang Jawa dahulunya sangat diwarnai dengan konflik dan perseteruan. Mulai dari ketegangan ketika raja-raja yang memerintah hanya fokus pada meminta dukungan untuk memperpanjang waktu kepemimpinannya, khususnya berlangsung sebelum abad ke-19. Hingga ketika masa penjajahan, tekanan yang didapat oleh masyarakat Jawa telah menjadi tonggak dari definisi konflik itu sendiri.

“Terlebih ketika abad ke-19, dimana petani sudah termarjinalisasi dari dunia pertanian. Banyak petani yang kehilangan lahanya dan pertanian bukan lagi menjadi cara bertahan hidup yang dapat mereka andalkan. Itulah mengapa, Jawa yang harmonis adalah hasil respon kultur terhadap kegetiran-kegetiran sejarah.”
Dan konsep harmoni yang teraktualisasi dalam keramahan atau sikap akomodatif merupakan hasil dari pencarian kebudayaan atas konflik terbuka yang pernah mereka hadapi. Maka mereka secara sadar merasa enggan untuk membiarkan konflik terjadi kembali dalam ranah aktualisasi kebudayaan, yang kemudian diwariskan secara turun temurun menjadi identitas kejawaannya.

Aktualisasi harmoni atas sikap yang akomodatif, oleh Magnis tidak hanya tergambar dalam tingkah laku sehari-hari. Tapi juga termanifestasi dalam tingkatan sosial ketika menggunakan bahasa Jawa. Dimana penyapaan dengan tingkatan bahasa tersebut merupakan wujud dari pengakuan terbuka atas kedudukannya masing-masing. Adapun pengakuan secara terbuka tersebut dibahasakan dalam konsep mangan ora mangan sing penting ngumpul.Dimana hal tersebut akan membantu orang Jawa dalam membentuk keutuhan kemanusiaannya.

Menurut Magnis hal tersebut dapat terjadi karena orang Jawa meyakini bahwa setiap individu tidak bisa menemukan dirinya sendiri kecuali dalam kebersamaan. “Bagi saya, konsep tersebut sangat erat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Karena bagi kita kebersamaan dengan orang-orang yang dekat dengan kita atau yang menjadi tanggungan kita, lebih memiliki prioritas dibandingkan sekedar makan.”

Hanya saja ada satu hal yang harus diperhatikan pada saat ini, Magnis menambahkan, adalah memenuhi kebutuhan makan merupakan modal untuk menciptakan kebersamaan. Kondisi yang jauh berbeda di masa sebelumnya, membuat realisasi kumpul bersama menjadi luxurius, ketika kebutuhan dasar tidak terpenuhi terlebih dahulu. Karena dalam idiom mangan ora mangan sing penting ngumpul, eksistensi fisik harus dijamin untuk untuk melibatkan individu dalam suatu proses kebersamaan.

Disamping itu, masyarakat sekarang yang menjadi lebih individualistis tidak dalam arti etis dan psikis, tapi dalam khasanah ekonomi dan sosial. Artinya setiap individu pada masa sekarang harus memiliki pekerjaan terlebih dahulu agar bisa bertahan hidup. Menurut Magnis hal ini sangat berbeda jauh ketika nuansa akomodatif orang Jawa mulai disadari sebagai identitas kebudayaan.

”Dan gejala ini lebih serius terlihat pada saat sekarang, mayoritas orang Indonesia termasuk orang Jawa, harus mempunyai pekerjaan sendiri jika ingin bertahan hidup. Hal ini tidak terjadi pada jaman dulu, karena mereka hidup dalam komunitas desa atau kampung. Bahkan orang miskin sekalipun masih dapat bertahan hidup meskipun mereka tidak punya pekerjaan. Karena semangat gotong royong menjadi pembentuk dari konsep mangan ora mangan sing penting ngumpul,” ucap pria Jerman yang memilih nama belakang jawa ini.

Hidup yang terindividualisasi tersebut juga disadari oleh Sobary yang merupakan lulusan Monash University, Australia ini. Tidak hanya itu, Sobary juga menyebutkan bahwa mobilitas masyarakat yang tinggi menciptakan batas-batas demografi dan menjadi kendala untuk merealisasikan waktu yang pas untuk kumpul bersama. ”Karena demografy limitation membuat orang Jawa pada masa ini harus berhadapan dengan economic constrain sehingga kebutuhan untuk kumpul tidak bisa dilakukan sesering dulu. Atau bahkan dengan semangat memaksimalkan modernisasi, kebutuhan untuk memperhatikan orang-orang terdekatnya dapat dilakukan melalui telepon atau sms-an.”

Dan untuk mereka yang tinggal dalam satu wilayah tertentu, meskipun bukan harus didasari dengan hubungan kekerabatan, kebutuhan untuk mewariskan semangat kebersamaan dijewantahkan dalam paguyuban. Paguyuban-paguyuban inilah menurut Sobary merupakan cara mempertahankan identitas kebudayaan Jawa tanpa harus digerus oleh modernisasi. Karena menurutnya, antara identitas kebudayaan dan modernisasi akan selalu bertemu pada wilayah abu-abu yang merupakan hasil dari pengadaptasian terhadap kondisi real yang ada. Dengan selalu memperpanjang tongkat estafet kebudayaan melalui modifikasi filosofi, identitas asali akan tetap dapat dipertahankan.

Namun pendapat yang sedikit berbeda justru datang dari Dr. Gabriel Possenti Sindhunata. SJ atau yang akrab dipanggil Sindhunata ini. Menurutnya refleksi filosofis yang hanya bersifat fenomena historis sosiologis, tidak cukup kuat menjaga identitas asali dari sebuah kebudayaan. Menurutnya tongkat pewarisan yang terjadi di seluruh Indonesia, termasuk kebudayaan Jawa, tidak disertai dengan dokumentasi pemikiran untuk menciptakan proses dialektika dalam mempertahankan nilai-nilai kebudayaan asali.

”Pemikiran bukan akal budi yang otonom tapi merupakan proses dialektika yang terus menerus terjadi dari generasi ke generasi. Kebanyakan dari kita hanya mewariskan nilai-nilai secara praktis, padahal pemikiran yang membentuk nilai-nilai kebudayaan tidak berangkat dari titik nol. Karena itu betapa sulit untuk mencari tau bagaimana suatu konsep pemikiran kebudayaan bisa terjadi, ketika anak-anak muda mencoba untuk mendalaminya,” papar Sindhunata yang merupakan wartawan senior yang kerap melakukan penjelajahan terhadap pemikiran-pemikiran asali Jawa.

Kesulitan itulah menurut Sindhunata yang membuat pengembangan wacana-wacana kebudayaan tidak bersifat fundamental. Hal tersebut berbeda dengan kebudayaan Cina dan Jepang yang sangat kaya akan dokumentasi pemikirannya, dan secara turun temurun diaplikasikan tidak hanya secara sadar pada kegiatan sehari-hari tetapi juga melalui proses belajar mengajar di sekolah. Maka kemana pun mereka pergi atau apapun pengaruh budaya luar yang coba melakukan proses penetrasi budaya, mereka tetap memiliki kekuatan untuk mempertahankan identitas mereka.

Proses dialektika-lah yang nantinya akan mematangkan generasi muda dalam menerima pandangan-pandangan global. Karena globalisasi bukanlah hal mudah yang bisa dihadapi siapapun, bahkan tidak ada yang dapat menolak manifestasi perubahan kebudayaan sebagai akibat dari semakin mengerucutnya perbedaan antar bangsa. Hanya saja, kesiapan perubahan tersebut dapat dikalahkan jika kita memiliki kekuatan konseptual yang terdokumentasikan dengan baik. Sehingga idealisme pemikiran dibidang budaya akan selalu berkembang tanpa merasa harus mengkroposi identitas sendiri.

Menjaga kebudayaan bukan hanya sekedar melekatkan simbol-simbol pada tataran praktis atau kebiasaan biasa. Tapi juga harus mampu melahirkan suatu kesadaran dan kebutuhan untuk mempertahankan proses berkembanganya konsep pemikiran dari waktu ke waktu. Karena sebuah filosofi kebudayaan adalah proses kontemplasi yang panjang dalam sejarah manusia untuk dapat mendefinisikan keberadaannya di dunia. Dan biarkanlah proses itu berkembang, tanpa harus menjadi lupa di titik mana kebudayaan mengawali eksistensinya.

Dimuat pada lembar Oase Budaya, Jurnal Nasional, 12 Juli 2007