Monday, December 22, 2008

Kami Coba Melengkapi

Semakin lama pacaran sama tukang es krimku,aku jadi makin manja. Jadi sering ngambek biar dirayu hihihi...Belakangan kalau bangun pagi dalam keadaan fit pasti telepon dia dan merengek-rengek, sekedar untuk denger dia bilang "Iya neng aku dengerin. Mananya yang sakit?"

Dan kalau sayangku mulai tidak optimis, maka aku cuman bisa mendengarkan. Biar dia mengeluarkan segala kekuatirannya dan pada di titik tertentu, aku akan membenturkan dia dengan pikiran positif. Bahwa semuanya bisa dijalanin untuk hal paling terbaik yang dapat dinikmati.

Awalnya,aku pikir sikapnya yang selalu negatif thingking itu karena bawaan lahir. Tapi belakangan aku menyadari, bahwa dia ingin agar aku menyakininya semua akan baik-baik aja. Dia hanya tidak ingin terlalu euforia dengan segala kenikmatan yang dirasa. Dan lebih dari itu, dia pengen dimanja aja. Karena kalau lagi down pasti dia akan berubah wujud jadi anak kecil yang butuh dipeluk dan dicium di kening.

Rasanya, kita semakin mengerti apa yang harus dilakukan untuk menenangkan Sang Kekasih Hati. Kami semakin mengerti, sampai di batas mana perhatian ini harus dielaborasi dengan sentuhan yang menentramkan. Tidak usah banyak berkata-kata, cukup bilang, "Iya sayang, aku sayang kamu."

Dan setiap kali perasaan nyaman serta tentram itu datang, aku hanya bisa memejamkan mata untuk meminta Tuhan menyempurnakan segalanya. Amin.

Sunday, December 7, 2008

You can't always get what you want

Have you heard Mr.Jagger's philosophy?"You can't always get what you want." It was taken from one of his songs. This phrase was quite describing my hole week. And is not easy to dealing with it.

I'm hoping to much and when the reality give different answer, I break down. With ego and self confidence you have, is not cheerful enough to stand in defeated position. You will feeling weak and devastate.

Well what the heck, shit do happen in big city. Just need to open my eyes so that I can deceive reality. I'm lose right now but I don't do it frequently. I'll stand up and make some move. Just wait and see Mr.Jagger, I'll get what I want :D

Sunday, November 23, 2008

Fire Works + House MD = Addictive

There are two things that steal my awareness. Fire works and House MD. Its two different things. Because the first one is a game that my boyfriend has in his laptop. And the second one, is television serial about ecentric doctor.

Every time I come to my boyfriend's place, the first thing gonna reach my hand was his laptop. I'll stand for hour playing that oriental game. In this game you have to connect the fire to the rocket. The thing that will angered you is, the fuse. You have to arrange it so your fire works will burn up faster.

I've got stress out when hearing the cock-crow. Its mean your time is running out. So you have to fasten your "seat belt" if not the dragon will say, "TIME IS OUT". Until now, I only could reach level 10. In other side, my boyfriend already reach level 15. Of course he can do that, because he has it. So he can practice whenever he want it (denial mode on) :)

And the interesting from House MD television serial, is the other side of meds movie. If you often saw, ER or Operation room as the important scene in the movie. Well is not the same with House MD. The movie is about how a doctor analysis the symptom by discussing it with his team. In this movie you will learn that, sometimes doctor are wrong. That is why they need to observe more from the symptom to cure the illness. And of course the time to observe was limited, by the worst condition, death.

Not just that, you will see how House (Hugh Laurie)can be so arrogant with his internship. But exactly he did that with strong reason to teach them plus saving their patient. Now, every night, before I go to sleep, I have to watch it first.

My addiction level has reach up. Because after playing fire works, my mind can't stop imagining rotate the fuse. The same feeling after watching House MD. I'll imagining what the rare case they have it and guessing how the talented House handle it. And my boyfriend start complaining, because I always put my eyes on his laptop and don't care with every single step he made :)

I don't know how long I'll stay in this condition. I guess I just like it so much and is not dangerous anyway. I just have to wait reach the overwhelming memory. This the stage where you got bored for what exciting before. And your brain asking for the new addiction :)

Monday, November 17, 2008

Hidup Adalah Hari Ini

Pada hari ini, 27 tahun yang lalu, seorang perempuan bernama Nurmala Tambunan melahirkan saya, Priska Cesilia Rosida Siagian. Saya dilahirkan di salah satu rumah sakit pemerintah di Cimahi-Bandung, sekitar pukul 10 pagi.

Ibu saya bercerita, hari kelahiran saya tepat sepuluh hari setelah ayah saya diwisuda. Ayah saya, Marison Siagian, cukup lama kuliah di Universitas Parahyangan maka kelahiran saya adalah bonus tambahan buat mereka.

Ada cerita lucu dibalik nama saya yang panjang itu. Kata ayah saya, nama itu diambil dari salah satu mahasiswi Universitas Parahyangan, jurusan arsitektur dan bisa lulus dalam jangka waktu lima tahun. Kata ayah saya lagi, itu adalah waktu yang cepat. Karena ketika itu tidak ada sistem kredit semester. Maka dari itu, banyak diantara mereka yang jadi mahasiswa abadi. Yang penting bayar kuliah dan lulus.

Secara sepintas, ayah saya berharap agar saya mengikuti jejak Si Empunya Nama. Tapi, boro-boro kepikiran ambil jurusan arsitektur, jadi anak IPA aja bukan cita-cita. Yah tapi lumayanlah, saya hanya butuh waktu 4,5 tahun untuk lulus Universitas Padjadjaran. Lebih cepat setengah tahun dari yang punya nama :D

Saat saya di taman kanak-kanak, adik perempuan saya yang bernama Angela Agustina, meninggal dunia. Dia sakit keras ketika itu, karena jatuh dari tempat tidur dan pembantu saya tidak segera cerita ke orang tua saya. Jadi adik saya yang cantiknya memang seperti malaikat itu, akhirnya mengalami gangguan di otaknya.

Dia dirawat lama sekali di rumah sakit ST.Carolus. Saya ingat, dulu rumah sakit itu ada jerapahnya. Maka setiap kali menjengguk yang saya ingat bukan bau rumah sakit, tapi binatang berleher panjang. Pada malam kepergian adik saya, om saya membawa saya ke rumahnya. Rumah kami dekatan, dan saya melihat semua barang-barang adik saya ditaruh ke dalam mobil. Saya bertanya, "Kenapa barang adek, dibawa semua?" Om saya menjawab, "Ade Angela mau pulang." Saya tersenyum bahagia.

Tapi saya tidak dibawa ke rumah, melainkan ke rumah om saya. Saya diberi susu dan langsung tidur. Esok paginya, rumah om saya sepi sekali. Saya kelaparan dan takut untuk pergi sendiri ke rumah saya. Karena biasanya, saya selalu pergi kemanapun dengan abang saya. Entah angin apa, saya memberanikan diri untuk pulang ke rumah.

Dari kejauhan, saya melihat bendera kuning. Saya ngga begitu mengerti apa artinya, yang saya tahu tetangga-tetangga saya hanya mengusap-usap kepala saya. Sampai di rumah, saya melihat ibu saya meraung-raung begitu sedihnya. Abang saya nagis sesenggukan, begitu juga ayah saya. Saya dekati ibu saya, "Adek kenapa kok tiduran aja?" Mama saya malah menangis sambil peluk saya.

Saya belum mengerti kematian ketika itu. Yang saya tahu, ibu saya sangat bersedih bahkan sampai tidak makan berhari-hari. Konsep kematian ketika itu adalah pergi ke surga. Surga itu tempat yang cantik, makanya kata ibu saya, adik saya harus memakai pakaian terbaiknya agar terlihat cantik di sana.

Beranjak ke kelas tiga Sekolah Dasar, saya sempat merasa bosan menjalani hari-hari saya. Saya ingin mengintip apa yang tengah dilakukan abang saya, ketika saya sedang melakukan aktivitas saya. Saat itu saya bertanya, kenapa sih saya tidak bisa berada di dua tempat?

Saya belum kenal konsep ruang dan waktu ketika itu. Saya belum paham kalau setiap individu hanya mampu merasakan dan menjalani, apa yang sedang dihadapinya saat itu. Kita tidak bisa "mengintip" keberadaan orang lain.

Ruang, waktu, dan kematian, pada akhirnya saya sedikit punya konsep akan hal itu. Pengalaman hidup yang mempertemukan saya dengan definisi-definisi dari kata yang awalnya saya tangkap sebagai momen tertentu dan rasa penasaran. Kini dalam perjalanan yang membuat usia hidup saya semakin bertambah, rasa penasaran saya tidak pernah berhenti. Saya menemukan istilah baru dalam momen baru.

Kekecewaan, dihianati, jatuh cinta, ditolak, belajar, lulus, berkelahi, berdamai, hingga berserah diri, adalah hal-hal lain yang saya alami. Saya bisa terpuruk dan marah sejadinya pada Sang Pengatur momen. Tapi saya juga tidak dilarang untuk menangis dan tertawa, bersama Sang Pemberi Makna.

Saya pernah keluar dari persekutuan, karena saya merasa Sang Penyelamat yang saya kenal tidak sekaku itu. Tapi saya juga pernah menangis dalam doa dan lantunan lagu, karena saya diberi kepercayaan untuk sebebas apapun kepada Sang Sumber Rasa.

Setiap hari yang saya jalani, rasanya tidak ada yang tidak berharga. Ya amarah atau sukacita, setidaknya itu cerita yang terjadi. Dipandang sebelah mata dan diapresiasi, bisa terjadi dalam waktu yang bersamaan. Dan buat saya itu kenikmatan yang harus saya pilih. Karena tanpa itu semua, hidup saya akan flat.

Saya hanya akan menjadi karakter yang mengisi 9.855 hari saya dengan rutinitas. Saya tidak mau seperti itu, karena setiap 24 jam yang saya lalui adalah priviledge saya untuk menjadi ada. Karena itu, saya tidak mau sekedar biasa menghadapi pertambahan umur saya. Sudah menjadi tradisi bagi saya untuk berkontemplasi menjelang hari jadi saya.

Meskipun sudah setua ini, senang rasanya saya masih punya waktu merenungkan semuanya. Dan untuk angka 27, saya memilih dengan membuat rangkaian tulisan mengenai hidup. Semuanya berdasarkan pengalaman saya yang ditambah pengalaman dari perempuan hebat Suciwati. Sebagai pamungkas adalah tulisan ini.

Bahwa hidup adalah hari ini. Karena di hari inilah saya, mengawali semuanya. Saya hidup didunia dan coba menjalani semuanya sebaik mungkin. Bukan kesempurnaan yang saya kejar tapi kenikmatan. Karena hidup hari ini, terlalu berat untuk hanya diukur dalam kesempurnaan. Hidup adalah hari ini, karena semua yang terjadi adalah kepercayaan untuk menikmatinya. Buat apa terlalu pusing memikirkan bagaimana hidup akan berakhir. Jadi, mari nikmati hari ini karena hidup hari ini, terlalu berharga untuk dianggap sekedar rutinitas.

Sunday, November 16, 2008

Hidup adalah Realitas Mimpi

Selepas lulus dari Jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi-Universitas Padjadjaran, saya sempat menganggur hampir setahun. Dan disela-sela menunggu wawancara kerja, saya mengirimkan artikel ke Harian Seputar Indonesia (Sindo).

Kebetulan Susi, sahabat saya, mengasuh rubrik untuk remaja (Saya lupa nama rubriknya). Rubrik ini berisi tentang pengalaman, ide atau pemikiran yang dapat memotivasi remaja untuk lebih baik. Salah satu tema tulisan saya adalah menggapai legenda pribadi. Termotivasi oleh tulisan Paolo Coelho di Sang Alkemis, saya ingin para remaja punya semangat untuk memiliki dan merealisasi legenda pribadinya.

Saya juga mengutip semangat Bob Dylan mengenai konsep Hero, dalam tulisan saya yang berjudul Menjadi Hero ala Bob Dylan. Bahwa setiap orang punya kemampuan untuk menjadi pahlawan, "We could be hero just for one day."

Mengapa tema ini yang saya pilih? Karena saya percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin dalam hidup. Legenda pribadi dan menjadi pahlawan adalah hal-hal yang bisa kita realisasikan.

Kisah nyatanya adalah ketika saya akhirnya memutuskan bekerja di Hongkong and Shanghai Bank Corporation (HSBC) as clerical analysis bankcruptcy account. Saat itu saya pikir, daripada saya nganggur lama-lama. Tapi saya tidak pernah mengubur mimpi saya untuk bekerja di media sebagai awalan menjadi penulis. Bahkan saya masih kirim dua tulisan lagi ke Sindo untuk menambah kepuasan diri saya.

Ada pengalaman menarik dari kirim tulisan ini, salah satu siswa SMA di Yogya memberikan apresiasi terhadap tulisan saya. Dia mengirimkan email kepada saya dan bercerita bahwa tulisan-tulisan saya selalu dinantinya. Itulah kali pertama saya bisa mendeskripsikan bahwa kepuasan diri itu luar biasa wujudnya.

Delapan bulan saya di HSBC, saya pindah ke Harian Jurnal Nasional. Koran yang secara de jure adalah milik bos negeri ini. Koran kepentingan, beberapa teman saya mengolok saya demikian. Tapi saya beragumentasi bahwa, ini hanya cara saya keluar dari HSBC. Karena saya kurang berani untuk keluar dari HSBC dan menganggur. Pengalaman menganggur hampir setahun cukup banyak memberikan rasa ngga enaknya minta uang sama orang tua dan abang saya.

Meskipun saya, sampai sekarang masih merasakan "gejolak" bekerja di tempat ini, tapi saya rasa ini salah satu realitas mimpi saya. Bekerja sebagai wartawan agar dapat terus mengasah diri sebagai penulis. Lagipula, tempat yang sarat kepentingan ini punya begitu banyak guru yang mengajarkan saya bagaimana untuk mengalir dalam menulis.

Banyak yang sudah saya tulis, dan lumayan banyak yang mewakili cita-cita saya dulu. Isu perempuan yang diselipkan dalam tema kesehatan. Profil tokoh-tokoh yang saya kagumi. Tulisan kebudayaan yang sedikit banyak terinfluensi dari buku-buku "gila" saya sewaktu kuliah. Dulunya semua hanya ide, tapi kemudian saya menariknya dalam dunia nyata. Selalu ada medium untuk itu, saya menyakininya.

Dulu bersama Tetty, sahabat yang lahirnya cuman beda seminggu ini, kita pernah bercita-cita untuk ke luar negeri. Duduk di depan perapian, menikmati secangkir coklat panas sambil melihat salju turun. Dua puluh persen dari cita-cita itu terwujud. Ketika kemarin saya ke Jerman, Tetty bilang saya turut mewakili dia untuk membuka jalan bagi realitas cita-cita kita. Yang kita butuh lakukan selanjutnya adalah, pergi ke luar negeri berdua, perapian, salju, dan coklat panas. Sepertinya hanya menunggu waktu, karena 80 persen dibagi dua, bukan hal yang sulit :D

Sebenarnya, saya tidak pernah betul-betul bikin list cita-cita. Saya hanya menyimpannya dalam hati dan kepala saya. Hati, karena disitulah niat bersemayam. Kepala, karena disanalah strategi diluncurkan. Bahkan seringnya, saya teringat bahwa mimpi itu pernah ada ketika telah menjadi realitas.

Ntahlah, mungkin karena saya termasuk orang yang ngga ngoyo. Saya berusaha dan bernegosiasi dengan Sang Empunya Kehidupan. Karena saya percaya, hidup adalah medium untuk membuat segala harapan dan mimpi memiliki wujud nyata. Realitas mimpi adalah pilihan, dan saya memilih untuk menariknya ke dalam wilayah absolut.

Thursday, November 13, 2008

Hidup itu Euforia

Entah kenapa, semalam, tiba-tiba teringat masa-masa SMP dulu. Tepatnya ketika memilih untuk ngefans kepada Nugie. Dengan suara yang berat, gondrong, dan bermain gitar, sepertinya cukup layak untuk saya gandrungi.

Saya beli setiap pria bernama Agustinus Nugraha itu mengeluarkan album baru. Setiap malam saya akan mendengarkan teriakan suara seraknya. Nugie yang juga seorang penyiar radio SK itu, berhasil menyihir saya untuk setia mendengarkan siarannya.

Setiap kali ada majalah yang memuat hasil wawancara dengan Nugie, saya pasti beli. Saya gunting dan kliping. Satu rahasia kecil saja, saya masih menyimpan kliping itu sampai saya kerja :D Rasanya tidak rela untuk membuangnya, hidup memang euforia.

Euforia lain adalah semangat untuk menjalani hidup dengan antusiasme. Kliping Nugie itu contohnya, antusiame menjadi selubung di kepala saya untuk mencari tahu tentang Nugie setiap harinya. Antusiasme mengajarkan saya untuk punya sesuatu yang saya cari dan harus dapatkan setiap harinya.

Dan berbicara mengenai euforia, saya bila sedang menyukai sesuatu saya akan terus mengenakannya. Contohnya baju atau aksesoris, euforia membuat saya akan mengenakannya lumayan sering. Euforia mengajarkan saya untuk nyaman dengan apa yang saya pilih. Saking nyamannya, saya termotivasi untuk membagi rasa itu kepada banyak orang. Dengan mengenakan baju atau aksesoris yang sedang saya gandrungi lebih sering, saya berharap orang lain yang melihatnya bisa merasakan spirit keindahan yang sama.

Euforia memang suatu rasa yang berlebihan dan seringnya dipersepsikan sebagai hal yang tidak masuk akal. Euforia menginduksi setiap orang dengan adrenalin, suatu zat kimiawi yang diproduksi tubuh sebagai respon keluarbiasaan. Adrenalinlah yang kemudian menekan kesadaran kita untuk berpikir masuk akal.

Saya rasa, penting untuk mempersepsikan hidup adalah euforia. Karena kita perlu adrenalin untuk merespon keluarbiasaan misteri kehidupan. Tidak ada diantara kita yang bisa mengetahui apa yang akan terjadi sepersekian detik ke depan, dan perlu adrenalin untuk menghadapinya.

Dengan adrenalin, kita selalu percaya ada yang akan kita dapat dari misteri itu. Maka kita akan selalu tergerak mengumpulkan petunjuk untuk mendapatkan gambaran hidup lebih jelas. Seperti saya mengumpulkan artikel Nugie untuk mendapat gambaran tentang dia.

Dan hidup sudah pasti euforia, karena kadang kita butuh reaksi yang berlebih atas apa yang kita terima dan hadapi. Tanpa semangat ini, psilogis kita jadi kurang matang atas pembelajaran hidup. Maka menurut saya, menjadi kurang masuk akal dalam menyikapi misteri hidup yang setiap detiknya menghadang, kadang kala diperlukan. Karena seringnya kita harus bertindak spontan. Maka perlu asah insting untuk bisa bertindak spontan dengan kematangan psikologis.

Jadi hidup adalah euforia dan semakin lama kita diberi peluang untuk hidup, harusnya sudah cukup lihai untuk menata rasa tersebut. Tapi manusia tidak akan pernah berhenti belajar sampai kemudian kehidupan berakhir. Maka sebelum semuanya berhenti, selamat bereforia dan bereforialah dengan bijak karena usia ada adalah konsekuensi kematangan :D

Hidup adalah Perjuangan

Ini adalah catatan pribadi dari seorang perempuan hebat, Suciwati, isteri dari Pejuang HAM Munir. Atas izin Mba Suci, saya mempostingnya dalam blog saya untuk menularkan semangat perjuangan hidup melawan penghilangan hidup manusia.

"MUNIR, CAHAYA YANG TIDAK PERNAH PADAM": Oleh: Suciwati

“Kenapa Abah dibunuh, Bu?” Mulut mungil itu tiba-tiba bersuara bak godam menghantam ulu hatiku. Gadis kecilku, Diva Suukyi, saat itu masih 2 tahun, menatap penuh harap. Menuntut penjelasan.

Suaraku mendadak menghilang. Airmataku jatuh. Sungguh, seandainya boleh memilih, aku akan pergi jauh. Tak kuasa aku menatap mata tanpa dosa yang menuntut jawaban itu. Terlalu dini, sayang. Belum saatnya kau mengetahui kekejian di balik meninggalnya ayahmu, suamiku, Munir.

Seolah tahu lidah ibunya kelu, Diva memelukku. Tangan kecilnya melingkari tubuhku. ”Ibu jangan menangis…Jangan sedih,” kata-kata itu terus mengiang di telingaku.

Pada 7 September 2004, sejarah kelam itu tertoreh. Munir, suami dan ayah dua anakku –Alif Allende (10) dan Diva Suukyi (6)—meninggal. Siang itu, pukul 2. Usman Hamid dari KontraS menelepon ke rumah. “Mbak Suci ada di mana?” Firasatku langsung berkata ada yang tidak beres. Pasti ada hal yang begitu besar terjadi sampai Usman begitu bingung. Jelas dia menelepon ke rumah, kok masih bertanya aku di mana.

Benar saja. Tergagap Usman bertanya, “Mbak, apa sudah mendengar kabar bahwa Cak Munir sudah meninggal?” Tertegun aku mendengarnya. Seolah aku berada di awang-awang dan kemudian langsung dibanting ke tanah dengan keras. Kehidupan seolah berhenti. Seseorang yang menjadi bagian jiwaku, nyawaku, telah tiada. Kegelapan itu mencengkeram dan menghujamku dalam duka yang tak terperi.


Nyatakah ini? Air mata membanjir. Tubuhku limbung. Perlu beberapa saat bagiku untuk mengumpulkan tenaga dan akal sehat. Aku harus segera mencari informasi tentang Munir. Ya Tuhan, apa yang terjadi pada dia?

Begitu kesadaranku hadir, segera kutelepon berbagai lembaga seperti Imparsial dan kantor Garuda di Jakarta dan di Schipol (Belanda). Begitu pula teman-teman Munir di Belanda. Aku segera mencari kabar lebih lanjut dari kawan-kawan aktivis. Tak ada yang bisa memberikan keterangan memuaskan.

Orang-orang mulai berdatangan untuk menyampaikan bela sungkawa. Aku masih sibuk mencari informasi kesana-kemari. Sebagian diriku masih ngeyel, berharap berita itu bohong semata. Aku hanya akan percaya jika melihat langsung jenazah almarhum.

Pada tragedi ini, pihak Garuda amat tidak bertanggungjawab. Tiga kali aku menelepon kantor mereka di Jakarta, tapi tak satu pun keterangan didapat. Mereka bahkan bilang tidak tahu-menahu soal kabar kematian Munir. Sungguh menyakitkan, pihak maskapai penerbangan Garuda harusnya yang paling bertanggungjawab tidak sekali pun menghubungiku untuk memberi informasi. Padahal, Munir meninggal di pesawat Garuda 974.

Kantor Garuda di Schipol pun sama saja. Pada telepon ketiga, dengan marah aku menyatakan berhak mendapat kabar yang jelas menyangkut suamiku. Barulah informasi itu datang. Yan, nama karyawan Garuda itu, menjelaskan bahwa memang Munir telah meninggal dan dia menyaksikan secara langsung. Yan bahkan berpesan jangan sampai orang mengetahui kalau dia yang memberi kabar itu kepadaku. Ah, apa pula ini? Tuhan, beri aku kekuatan-Mu.

Aku hanya bisa menangis. Si sulung Alif, saat itu baru 6 tahun, melihatku dengan sedih dan ikut menangis. Diva terus bertanya dalam ketidak mengertiannya, “Kenapa Ibu menangis?” Aku merasa seolah jauh dari dunia nyata. Kosong.

Jiwaku hampa. Saat itu, dengan kedangkalanku sebagai manusia, sejuta pertanyaan dan gugatan terlontar kepada Tuhan. “Kenapa bukan aku saja yang Engkau panggil, Ya Allah? Mengapa harus dia? Mengapa dengan cara seperti ini? Mengapa harus saat ini? Mengapa? Ya Allah, Kau boleh ambil nyawaku,hamba siap menggantikannya. Dia masih sangat kami butuhkan, negara ini butuh dia.”

Rumah tiba-tiba dibanjiri manusia. Teman, kerabat, tetangga berdatangan. Bunga berjajar dari ujung jalan sampai ujung satunya. Alif bertanya, “Kenapa bunga itu tulisannya turut berduka cita untuk Abah?” Anakku, aku peluk dia, kukatakan bahwa Abah tidak akan pernah kembali lagi dari Belanda. Abah telah meninggal dan kita tidak akan pernah bertemu lagi dengannya.

Alif menangis dan protes, “Bukannya Abah hanya sekolah? Bukannya Abah akan pulang Desember? Kenapa kita tidak akan ketemu lagi?” Amel, guru yang selama ini melakukan terapi untuk Alif yang cenderung hiperaktif, segera menggendong dan membawa Alif keluar. Maafkan, Nak. Aku tak berdaya bahkan untuk sekedar menjawab pertanyaanmu. Aku tidak mampu.

Teman-teman dari berbagai lembaga juga datang. Antara lain dari Kontras, Imparsial, Infid, HRWG, dan banyak lagi yang tak mungkin aku mengingatnya satu persatu. Semua tumpah ruah. Puluhan wartawan juga datang, tapi aku tak mau diwawancarai mereka. Biarlah kesedihan ini mutlak jadi milikku. Meskipun aku yakin bahwa keluarga korban yang selama ini didampingi almarhum pasti tidak kalah sedih. Sebagian mereka datang dan histeris menangisi kehilangan Munir.

****

Pada 8 September 2004, aku menjemput jenazah suamiku. Bersama Poengky dan Ucok dari Imparsial, Usman dari KontraS, dan Rasyid kakak Munir, aku berangkat ke Belanda. Ya Tuhan, beri aku kekuatan-Mu, begitu doaku sepanjang perjalanan.

Di ruang Mortuarium Schipol, jasad Munir terbujur kaku. Kami tiada tahan untuk tidak histeris. Usman melantunkan doa-doa yang membuat kami tenang kembali.

Sejenak aku ingin hanya berdua dengan suami tercintaku. Aku meminta teman-teman keluar dari ruangan. Aku pandangi Munir dalam derai air mata. Tak tahu lagi apa yang kurasakan saat itu. Sedih, hampa, kosong.

Lalu, kupegang tangannya. Kupandangi dia. Teringat saat-saat indah ketika kami bersama. Tiba-tiba ada rasa lain yang membuat aku menerima kenyataan ini. Aku harus merelakan kepergiannya. Doa-doa kupanjatkan. Ya Allah, berilah suamiku tempat terhomat disisi-Mu. Amien.

Di Batu, 12 September 2004, kota kelahirannya, Munir disemayamkan. Pelayat seolah tiada habisnya datang. Handai taulan, sahabat, teman-teman buruh, petani, mahasiswa, aktivis, wartawan semua ada. Banyak yang tidak tidur menunggu esok hari, saat pemakaman Munir. Umik, ibu Munir, begitu sedih. Aku bahkan tak sanggup melihat kesedihan yang membayang di wajahnya.

Hari itu, masjid terbesar di Batu, tempat Munir disholati, tidak sanggup menampung semua yang hadir. Perlu antre bergantian untuk sholat jenazah. Kota Batu yang selama ini sepi mendadak dipadati manusia. Melimpahnya “tamu” Munir ini bagai suntikan semangat bagiku. Bahwa ternyata bukan aku dan keluarga saja yang merasakan kedukaan ini. Dukungan yang mereka berikan membuatku kuat.

Seperti menanam sesuatu maka kamu akan memanennya,itulah yang aku buktikan hari ini. Aku melihat yang dilakukan Munir selama ini membuktikan apa yang dia perbuat. Munir selalu mencoba berjuang bagi tegaknya keadilan dan perdamaian. Dia berteriak lantang menyuarakan keadilan bagi korban, baik di Aceh,Papua,Ambon dan dimana saja. Keberanian dan sikap kritisnya terhadap penguasa memang harus dibayar mahal oleh nyawanya sendiri dan juga oleh keluarga yang ditinggalkannya ‘anak dan istrinya’.

Tak mudah bagiku mencerna kehilangan ini. Perlu proses untuk menerima, mengikhlaskan kepergian Munir, dan menerima bahwa ini adalah kehendakNya. Jika Tuhan sudah berkehendak, maka siapa pun dan dengan cara apa pun tidak akan mampu mengelak. Keyakinan bahwa hidup-mati manusia adalah kehendak-Nya itu membuat aku bangkit lagi.

Munir adalah manusia, sama sepertiku dan yang lainnya, yang bisa mati. Kemarin, sekarang atau besok, itu hanya persoalan waktu. Sakit, diracun, atau ditembak itu hanya persoalan cara. Kematian adalah keniscayaan. Suka atau tidak suka, kita tetap harus menghadapinya. Dan kehidupan tidak berhenti. Air mata kepedihan tidak akan pernah mengembalikannya.

Sepenggal doa Sayyidina Ali, sahabat Nabi Muhammad SAW, membuatku bertambah yakin bahwa aku harus bangkit:

“Ketika kumohon kekuatan, Allah memberiku kesulitan agar aku menjadi kuat. Ketika kumohon kebijaksanaan, Allh memberiku masalah untuk kupecahkan. Ketika kumohon kesejahteraan, Allah memberikan aku akal untuk berpikir. Ketika kumohon keberanian, Allah memberiku kondisi bahaya untuk kuatasi. Ketika kumohon sebuah cinta, Allah memberiku orang-orang bermasalah untuk kutolong. Ketika kumohon bantuan, Allah memberiku kesempatan.
Aku tidak pernah menerima apa yang kupinta, tapi aku menerima segala yang kubutuhkan.”

Kucoba untuk merenung. Kuteguhkan hati bahwa ini bukan sekedar takdir, tapi ada misteri yang menyelubungi. Misteri yang harus diungkap. Aku harus berbuat sesuatu. Bersyukur, aku tidak sendirian dalam kedukaan ini. Banyak teman-teman yang peduli kepada kami sekeluarga.

Dua bulan kemudian, tepatnya 11 November 2004, Rachland dari Imparsial menghubungiku. Dia mengabarkan ada wartawan dari Belanda ingin mewawancarai. Dia juga bertanya, apakah aku sudah mengetahui hasil otopsi yang dilakukan pihak Belanda terhadap almarhum Munir. Hasil otopsi itu kabarnya diserahkan kepada pemerintah Indonesia melalui Departemen Luar Negeri.

Aku berharap teman-teman memiliki jaringan ke Departemen Luar Negeri. Tapi, rupanya tidak. Aku pun menelepon 108 –nomor informasi—untuk meminta nomer telepon kantor Departemen Luar Negeri. Teleponku ditanggapi seperti ping-pong. Dioper sana-sini. Sampai akhirnya aku berbicara via telepon dengan Pak Arizal. Dia menjelaskan bahwa semua dokumen otopsi telah diserahkan kepada Kepala Polri, dengan koordinasi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.

Entah, keberanian dari mana yang menyusup dalam diriku pada waktu itu. Aku tanpa ragu menghubungi dan berbicara dengan mereka, semua pejabat itu. Kebetulan, semua nomor telepon pejabat-pejabat penting itu terekam dalam telepon genggam suamiku.

Kepada para petinggi itu, aku bertanya, “Kenapa aku sebagai orang terdekat almarhum tidak diberitahu tentang otopsi? Apa yang terjadi padanya? Apa hasilnya?” Mereka tidak memberikan jawaban. Padahal, sebagai istri korban, aku memiliki hak yang tak bisa diabaikan begitu saja.

Pukul 10.00 malam, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Pak Widodo AS meneleponku. Menurut dia, hasil otopsi telah diserahkan kepada Kepala Bagian Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Pak Suyitno Landung, Markas Besar Polri. Malam itu juga aku menelepon Kabareskrim. Aku meminta bertemu dengan dia esok paginya.

Bersama Al Ar’af dari Imparsial,dan Usman Hamid dari KontraS,Binny Buchori dari Infid,Smita dari Cetro dan beberapa kawan, esok paginya tanggal 12 November 2004 aku mendatangi kantor Kabareskrim. Pagi itu aku menghadapi kenyataan yang menyakitkan. Benarlah dugaanku bahwa ada yang aneh pada kematian Munir. Hasil otopsi itu menjelaskan dengan gamblang bahwa kematian almarhum adalah lantaran racun arsenik. Racun itu ditemukan di lambung, urine, dan darahnya.
Ternyata dia memang dibunuh...!

Keluar dari Mabes Polri, kami sudah diserbu wartawan. Siaran pers pun digelar bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di kantor KontraS. Isinya, mendesak pemerintah untuk segera melakukan investigasi, menyerahkan hasil otopsi kepada keluarga, dan membentuk tim penyelidikan independen yang melibatkan kalangan masyarakat sipil. Desakan serupa dikeluarkan oleh tokoh-tokoh masyarakat di berbagai daerah. Desakan yang ditanggapi dengan janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengusut kasus pembunuhan Munir.

Tak lama pula kami membentuk KASUM (Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir). Banyak organisasi dan individu yang punya komitmen akan pengungkapan kasus ini bergabung. Ini memang bukan hanya persoalan kematian seorang Munir. Lebih dari itu, ini persoalan kemanusiaan yang dihinakan dan kita tidak mau ada orang yang diperlakukan sama seperti dia hanya karena perbedaan pikiran.

Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun sepakat untuk meminta pemerintah membentuk tim independen kasus Munir. DPR juga mendesak pemerintah segera menyerahkan hasil autopsi kepada keluarga almarhum. Pada November 2004, DPR membentuk tim pencari fakta untuk mengusut kasus pembunuhan Munir.

Pada 24 November 2004, Presiden Yudhoyono bertemu denganku. Teman-teman dari Kontras, Imparsial, Demos menemaniku bertemu Presiden. Satu bulan kemudian tepatnya tanggal 23 Desember 2004 Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden untuk pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) Munir yang dipimpin oleh Brigjen pol. Marsudi Hanafi.

Tim ini, di luar dugaan, bekerja efektif menemukan kepingan-kepingan puzzle siapa dibalik pembunuhan Munir. Fakta-fakta temuan tim ini cukup mencengangkan. Fakta yang menunjukkan benang merah pembunuhan keji penuh konspirasi dan penyalahgunaan kekuasaan serta kewenangan di Badan Intelejen Nasional (BIN). Sayangnya TPF tidak diperpanjang lagi setelah dua kali(6 bulan)masa kerjanya.

Adalah Pollycarpus, pilot Garuda, benang merah yang mengurai jaring laba-laba kebekuan dan kerahasiaan yang melingkupi BIN. Polly, sebuah nama yang sangat melekat dibenakku. Sangat dalam maknanya dalam perjalanan menguak kebenaran siapa dibalik kematian Munir, suamiku.

Dia adalah orang yang menelepon suamiku dua hari sebelum berangkat ke Belanda. Polly menanyakan jadwal keberangkatan suamiku dan dia mau mengajak berangkat bersama. Kebetulan waktu itu aku yang menerima telepon itu. Jika tidak, barangkali aku tidak akan pernah tahu keberadaan Polly. Munir mengatakan Polly adalah orang aneh dan sok akrab. “Dia itu orang tidak dikenal tapi tiba-tiba menitipkan surat untuk diposkan di bandara setempat ketika aku hendak ke Swiss,” begitu kata Munir

Terungkap dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sang pilot tidak hanya menerbangkan pesawat. Dia adalah orang yang mempunyai hubungan dengan agen BIN seperti halnya Mayor Jenderal TNI Muchdi PR, Deputi V BIN. Polly disebut sebagai agen non organik BIN yang langsung berada di bawah kendali Muchdi. Berkas dakwaan tersebut juga menyebut adanya pembunuhan berencana terhadap Munir.

Tercatat pula dalam berkas dakwaan untuk Muchdi PR, keduanya –Polly dan Muchdi—berhubungan intensif melalui telepon. Paling tidak 41 kali hubungan telepon antara Muchdi dan Polly yang terjadi menjelang, saat dan sesudah tanggal kematian Munir. Bisa diduga, keduanya berhubungan terkait dengan perencanaan, eksekusi, dan pembersihan jejak.

Kami, aku dan teman-teman KASUM, juga melakukan investigasi. Kami berusaha memetakan jejak sang pilot. Melalui berbagai penelusuran, terungkap bahwa Pollycarpus memiliki hubungan dengan para pejabat BIN. Sosok satu ini diketahui berada di berbagai daerah titik panas seperti Papua, Timor Leste, dan Aceh. Sebuah fakta yang tidak biasa dalam dunia profesi pilot.

Polly sendiri, dalam persidangan, mengaku bahwa dia pernah tinggal cukup lama di Papua. Katanya, dia bertugas sebagai pilot misionaris sebelum bekerja di Garuda. Mungkin kebetulan, mungkin juga tidak, keberadaan Polly di Papua ternyata bersamaan dengan Muchdi PR yang waktu itu menjadi Komandan KODIM 1701 Jayapura pada tahun 1988-1993. Lalu, Muchdi menjadi Kasrem Biak 173/ 1993-1995. Melihat rekam jejak ini, patut diduga, pada periode itulah perkenalan pertama sang pilot dengan sang jenderal.

Indra Setiawan, saat itu menjabat Direktur Utama Garuda, mengakui mengingat nama Pollycarpus karena khas dan unik. Pada 22 November 2004, ketika kami meminta keterangan kepada Indra,

Aku: Apakah ada yang namanya Polly di Garuda?
Indra menjawab dengan cepat: Oh ya. Ada. Namanya Pollycarpus.
Aku : Bapak kok hafal padahal karyawan bapak lebih dari 7000 ?
Indra : Ya, soalnya namanya khas dan unik. Kalau namanya Slamet, saya pasti lupa.

Belakangan, dalam persidangan, baik sebagai saksi atau pun ketika ditetapkan sebagai terdakwa pada tahun 2007, terungkap bahwa Indra mengingat Polly karena alasan khusus. Alasan yang berkaitan dengan BIN. Polly merangkap pilot dan bagian pengamanan penerbangan (aviation security) atas permintaan BIN. Sebuah alasan yang masuk akal. Jika BIN yang meminta, kendati tidak benar secara prosedur, maka pihak Garuda tidak bisa menolak.

BIN mengeluarkan permintaan tersebut dalam surat yang ditandatangani Wakil Kepala BIN As’ad Said Ali. Pada saat itu Kepala BIN dijabat oleh Hendropriyono –sosok yang selama ini sangat dekat dengan berbagai kasus yang diadvokasi almarhum.

Surat yang diteken As’ad patut diduga menjadi petunjuk bahwa rencana pembunuhan Munir melibatkan para petinggi BIN, bukan hanya Muchdi , tapi juga Hendropriyono. Apalagi, sesuai pengakuan agen BIN Ucok alias Empi alias Raden Patma dalam persidangan Peninjauan Kembali, Deputi II Manunggal Maladi dan IV Johannes Wahyu Saronto BIN juga diduga terlibat.

Serangkaian persidangan kasus pembunuhan Munir begitu melelahkan. Tak hanya secara fisik tetapi juga secara mental. Betapa tidak, pada tingkat Mahkamah Agung, Pollycarpus hanya dihukum dua tahun. Polly hanya dinyatakan bersalah melakukan pemalsuan surat, bukan pembunuhan. Semua ini tentu merupakan pukulan sendiri buatku.

Jantungku sakit sekali ketika aku mendengar putusan untuk Polly. Aku merasa kehilangan untuk yang kedua kalinya, kehilangan Munir dan kehilangan keadilan itu sendiri.

Bagaimana mungkin fakta-fakta yang begitu mencolok diabaikan begitu saja oleh hakim-hakim itu? Bagaimana mungkin keadilan hukum bisa kuraih jika dipenuhi oleh manusia tanpa hati nurani?

Dua dari tiga hakim yang membebaskan Pollycarpus dari dakwaan pembunuhan itu memiliki latar belakang sebagai tentara. Keduanya adalah purnawirawan TNI dengan pangkat terakhir mayor jenderal. Tak heran, beberapa pihak menduga, ada semangat korps dalam menangani kasus ini yang menguntungkan Pollycarpus.

Kesedihan sama sekali tidak membuatku surut. Aku yakin pasti masih banyak aparat penegak hukum mempunyai hati nurani. Masih banyak yang peduli pada keadilan dan kebenaran. Ini terbukti dalam putusan pengadilan kasasi pada tanggal 25 Januari 2008 Polycarpus dijatuhi hukuman penjara selama 20 tahun atas dakwaan pembunuhan berencana dan pemalsuan surat tugas.

Selesai? Belum. Misteri pembunuhan Munir masih jauh dari terungkap. Terungkap dari persidangan, juga keputusan pemidanaan Polly, ada mesin intelejen yang bekerja dengan jahat menghabisi nyawa Munir. Ini jauh lebih penting ketimbang sekadar menghukum Polly. Dia hanya pelaku lapangan, bukan orang yang secara sistematis menggunakan kekuasaan dan kewenangan dalam melakukan pembunuhan ini.

Tragisnya, sampai hari ini proses meraih kebenaran dan keadilan siapa di balik pembunuhan Munir masih terseok-seok. Tabir misteri belum tersingkap.

Benar, ada perkembangan baru dengan ditangkapnya Muchdi Purwopranjono 19 Juni 2008. Jenderal bintang dua ini diduga kuat berada di balik pembunuhan Cak Munir. Saat ini proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sedang berlangsung untuk membuktikan dugaan tersebut.

Yah, aku berharap persidangan ini berlangsung adil. Kejahatan para pelaku pelanggar HAM selayaknya dibawa ke pengadilan. Namun, kecemasan selalu hadir. Adakah keadilan akan berpihak kepadaku?

Aku berharap masih ada jaksa dan hakim handal yang mengedepankan hati nurani ada di pengadilan ini. Tentu saja aku juga berharap pelaku sesungguhnya juga segera ditangkap, siapa pun dia.

*****

Perjalanan meraih keadilan begitu berliku. Satu hal yang paling aku syukuri adalah begitu banyak sahabat yang mendukung perjuangan pencarian keadilan ini. Teman-teman di KASUM dan tak sedikit sahabat yang secara pribadi memberiku kekuatan untuk terus berjuang.

Tak jarang teror hadir. Ada ancaman datang dari mereka yang ingin memadamkan pencarian keadilan ini. Bahkan statusku sebagai ibu juga menjadi bagian empuk untuk diserang oleh mereka. Syukurlah, di saat-saat begini, sahabat-sahabatku setia mendampingi dan menguatkanku.

Desakan penuntasan kasus Munir dari dalam negeri cukup kuat. Pada 7 Desember 2006, Tim Munir DPR RI mengeluarkan rekomendasi agar Presiden membentuk Tim Pencari Fakta yang baru. Berbagai kelompok masyarakat sipil pun terus mempertanyakan kasus Munir. Mereka datang dari berbagai kalangan, antara lain LSM, akademisi, petani, buruh, seniman,wartawan dan berbagai profesi lainnya.

Tak hanya dari dalam negeri, dukungan juga datang dari segala penjuru dunia. Pada 9 November 2005, misalnya, 68 anggota Kongres Amerika Serikat mengirimkan surat kepada Presiden Yudhoyono agar segera mempublikasikan laporan TPF. Anggota Kongres AS tersebut mempertanyakan keseriusan pemerintah Indonesia dalam menuntaskan kasus Munir.

Pada September 2006, saat KTT ke-6 ASEM (The Asia-Europe Meeting) di Helsinki, Finlandia, kasus Munir menjadi salah satu sorotan peserta. Presiden Komisi Eropa Jose Manuel Barroso, peserta penting dalam konferensi tersebut, mempertanyakan kelanjutan pengusutan kasus Munir langsung kepada Presiden Yudhoyono.

Philip Alston, UN Special Rapporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions, juga telah menyatakan kesediaannya untuk ikut membantu pemerintah Indonesia dalam mengusut kasus Munir. Pelapor khusus, yakni Hina Jilani (Human Rights Defender) dan Leandro Despouy (Kemandirian Hakim dan Pengacara), juga telah menyatakan keprihatinan akan kasus Munir di hadapan Dewan Hak Asasi Manusia Persatuan Bangsa-Bangsa.

Pada 26 Februari 2008, Deklarasi Parlemen Uni Eropa meminta pemerintah Indonesia serius dalam menuntaskan kasus Munir. Bahkan, 412 anggota parlemen yang menandatangani deklarasi ini meminta Uni Eropa memonitor kasus ini sampai tuntas.

Mengalirnya dukungan tersebut mestinya membuat pemerintah tidak usah ragu. Siapa pun di balik kekejian ini harus diungkap, tak peduli jika penjahatnya itu adalah orang kuat. Dukungan bagi pemerintah telah mengalir, secara hukum dan politik. Tinggal perintah dari sang presiden untuk memastikan kepolisian tetap bekerja mengusut kasus ini sampai terungkapnya sang aktor utama. Presiden juga hanya perlu memerintahkan Jaksa Agung untuk bekerja profesional. Hanya itu....

Presiden Yudhoyono pernah menyatakan bahwa pengusutan kasus pembunuhan Munir adalah ujian bagi sejarah bangsa. “Test of our history,” kata Pak Presiden. Jadi, aku,rakyat Indonesia dan komunitas internasional menunggu bukti perkataan itu. Aku menunggu pengusutan misteri ini sampai pada aktor utamanya, bukan hanya aktor pinggiran saja. Negara harus bertanggung jawab atas semua pelanggaran HAM yang telah terjadi.

****

Bagiku, Munir adalah cahaya yang tidak pernah padam. Kesan ini semakin mendalam terasa setelah kepergiannya. Munir beserta semangatnya telah memecahkan ketakutan yang mencekam, menciptakan budaya demokrasi, memberi harapan penegakan HAM. Semua yang Munir lakukan menjadi inspirasi bagiku dan teman-teman penggerak demokrasi di negeri ini. Niscaya, semangat itu diteruskan oleh para pencinta keadilan dan kebenaran dengan tanpa henti.

Ya Allah, aku bukan Sayidina Ali yang Kau beri kemuliaan. Aku hanya manusia biasa dan aku memohon kepadaMu sebab aku meyakiniMu. Berilah kemudahan bagi kami untuk mengungkap pembunuhan ini. Beri kami kekuatan untuk menjadikan kebenaran sebagai kebenaran sesuai perintahMu. Menjadikan keadilan sebagai tujuanku seperti tujuan menurutMu.

Ya Allah, aku tidak menjadi manusia yang lebih dari yang lain dengan berbagai ujian yang Kau berikan, seperti Kau muliakan Nabi Muhammad dengan berbagai ujianMu. Aku hanya minta menjadi manusia biasa dan dapat mengungkap kasus ini. Amin.

Bekasi, September 2008

Menurut rencana, Suciwati dan beberapa keluarga dari penghilangan orang yang dilakukan oknum pemerintah akan menerbitkan buku berisi suara hati mereka. Dan tulisan ini adalah salah satunya.

Tuesday, November 11, 2008

Hidup Tidak Pernah Simetris

Pacar saya yang filosifis itu selalu bilang kalau hidup tidak pernah simetris. Terutama ketika dia sedang down dan pusing dengan semua realitas yang ada. Awalnya saya tidak setuju, karena saya punya semangat optimis segudang lebih. Buat saya, hidup itu usaha yang diselubungi kepercayaan diri untuk membuat semuanya jadi positif. Jadi persetan dengan kegagalan atau ketidaksempurnaan, selama ada usaha ya itu pergerakan namanya.

Tapi seminggu kemarin, saya mengalami rangkaian peristiwa yang menggelikan untuk dibilang simetris. Mulai dari majalah yang merasa keberatan untuk dikritik dan kemudian membalas kritikan dengan tidak mencari titik temu sama sekali. Ya dia tidak mau, kita juga tidak mau. Padahal apa yang dikritik adalah hal rasional yang diungkapkan hampir seluruh narasumber ketika melihat majalah.

Perjuangan teman-teman selama ini untuk lebih menjadikan profesionalisme sebagai image majalah, dimentahkan hanya karena pertimbangan personal. "Kita masih bisa dapat berita dari tempat lain. Tenang saja." Kutipan itu berasal dari orang yang tidak pernah turun ke lapangan. Kita melontarkan pertanyaan dan pemikiran, tapi tetap pemberi kutipan mengatasnamakan keputusan perusahaan. Perjuangan yang tidak simetris.

Hal lain yang terjadi adalah saya dihianati oleh sahabat saya sendiri. Dia merancang semuanya dengan rapi, walaupun saya diawal-awal saya sudah mengendusnya. Tapi saya dengan bantuan teman yang lain, menepis aroma negatif itu. Sampai akhirnya saya menemukan bukti-bukti dan menghadapkan kepadanya.

"Apa penjelasan lo?" pertanyaan itu dijawab dengan sikap yang defensif. Bahkan cenderung mengalihkan masalah dan membuat saya seolah baru menetas di dunia. Parahnya, saya malah dimarahi abis-abisan dan dia menyatakan kekecewaanya. Padahal kalau mau jujur, segala kebohongannya saya paparkan dengan halus. Tidak dengan melempar ke mukanya tanpa memberi kesempatan bagi dia untuk menjelaskan.

Dia terlalu defensif. Dia terlalu mencari alasan yang dengan mudah saya patahkan. Saya punya bukti dan dia tidak. Ketika ditanya mengenai pembuktiannya, dia kembali membentengi dirinya dengan mengatakan kecewa atas saya. Kalau dia mau jujur, kecewa adalah otonomi saya. Karena dari banyak hal yang saya temukan, semuanya mengecewakan saya. Semua teman saya, sepakat dia melakukan kebohongan tingkat akut.

Ini juga realitas yang tidak simetris. Atas nama persahabatan dan perjuangan bersama, saya percaya dia tidak akan ngadalin saya. Dan atas nama persahabatan, dia membayar saya dengan manipulasi skenario yang terlalu mudah diungkapkan.

Lalu apa artinya selama ini? Apa pertimbangannya melakukan semua itu? Apa pembelaan yang dia punya. "Pokoknya jangan hubungin atau temui gua dulu, gua sakit hati," itu jawaban dari orang yang terbuka kedoknya. Kedok dari penghargaan persahabatan yang asimetris. Saya kecewa dan saya harusnya lebih dari sekedar kecewa, tapi dia mengambil posisi itu untuk membuat saya merasa terpojok. Dia lupa, saya punya alibi dan bukti yang kuat untuk itu.

Maka saya mulai membentuk frame dunia memang tidak simetris dalam kepala saya. Semua yang saya lakukan dibalas dengan kekecewaan dan bahkan balik mencucuk hidung saya. Saya merasa dua orang ini telah melakukan kontaminasi terhadap semangat optimistis dan pikiran positif saya. Saya menangkap bau amis kepentingan dari keduanya. Atas nama uang mereka menjadi tidak malu untuk balik menuduh orang.

Pelan-pelan saya meyakini dunia memang tidak simetris, jadi jangan terlalu menganggap semua positif dan lurus seperti harapan kita. Salah seorang sahabat saya bahkan berkata, "Semua orang berubah Pris. Dan lo tidak bisa berpikir bahwa seseorang yang lo kenal dulu akan selalu dalam sosok yang sama."

"Bahkan pandangan dia mengenai persahabatan akan berubah? Lalu apa artinya selama ini," tanya saya setengah tidak percaya. "Ya iyalah Pris. Orang berubah dan itu merubah semuanya," ucap teman saya coba menyadarkan saya. "Dunia memang tidak simetris," ucap saya pelan. Dan itulah kali pertama saya menambahkan realitas tersebut dalam kamus kehidupan saya.

Sampai sekarang, saya masih mencari cara untuk menghapus cara pernyataan negatif itu. Tapi realitas majalah saya, masih harus diperjuangkan. Sedangkan cerita yang kedua, membutuhkan usaha yang amat panjang. Karena saya sudah kecewa teramat dalam dan saya tidak tahu bagaimana menghadapi teman saya itu.

Seekor kalajengkin, dilahirkan dengan cangkang yang kuat dan berbisa. Dia tidak bisa dilukai terlalu dalam karena yang keluar adalah bisa kekecewaan. Dan butuh penawar yang kuat untuk bisa itu. Karena asimetris dunia memang selalu melahirkan kepahitan. Dan kesiapan kita menetralisir kepahitan itu, butuh kesadaran diri atas arsiran ide simetris dengan realitas asimetris dunia.

Persetan dengan semuanya. Saya bekerja profesional dan ketika itu tidak diapresiasi, maka saya akan mencari yang bisa mengapresiasi. Saya loyal dalam berteman dan ketika itu tidak dihargai, maka saya punya alasan yang bijak untuk membangun kurungan bagi pertemanan itu. Biar dia menjadi eksklusif, karena dunia adalah tempat yang penuh dengan kesendirian. Jadi buat apa untuk selalu bersama?

Friday, November 7, 2008

6 November Yang Kedua

Dua tahun lalu, kami memilih untuk berbagi kasih bersama. Pilihan ini mungkin bagi sebagian teman terbilang nekad, karena saya baru kenal dengannya sekitar dua minggu saja. Pembicaraan yang diawali dengan pertanyaan apakah mungkin Tuhan menciptakan batu yang tidak bisa dilompatinya. Pertanyaan ini saya jawab sekenanya, maklum, saya bukan orang yang terlalu menggambarkan Tuhan sebagai sosok yang kaku. Jadi bisa saja Dia menciptakan batu yang tidak bisa dilompatinya. Walaupun katanya, menurut persepsi banyak orang, Tuhan itu ngga mungkin menciptakan sesuatu yang tidak bermanfaat. Apalagi membuatNya terlihat bodoh.

Lalu saya bertanya padanya, bagaimana mungkin sampai sekarang Syiah dan Sunni masih bersitegang. Dia kemudia bercerita panjang lebar, mulai dari sejarah sampai intrik politik. Dan dia bercerita mengenai mazhab gelap dari sejarah gereja, perang salib. Well there's no differences between it, every religion has their own black history. Satu hari yang singkat namun cukup menciptakan chemistry tersendiri. Kami tertarik satu dengan yang lain, banyak pembicaraan yang membuat kami nyaman untuk bersama.

Selang seminggu, kalau saya tidak salah ingat, dia melontarkan pertanyaan mengenai ice cream. "Ingin merasakan ice cream secara nyata tapi setelah itu tidak akan bisa mengingatnya atau hanya membayangkan nikmatnya ice cream agar sensasinya tetap dapat diingat sepanjang hayat? Yang dua minggu kemudian, dijadikan cara untuk mengajak saya berbagi kasih. Well, pertanyaan ice cream, saya jawab saya ingin menikmatinya secara langsung, perkara setelah itu saya tidak akan punya memori mengenai nikmatnya ice cream adalah hal yang harus dihadapi nanti. Saya berani ambil risiko, ketimbang hanya menghayal bagaimana rasanya ice cream seumur hidup.

Banyak orang bilang, hubungan kita berisiko. Atas nama perbedaan agama, makin lama kami menikmatinya makin banyak orang yang mengingatkan perbedaan tersebut. Mereka bilang, kami hanya menghabiskan waktu. Ada juga yang mengeluarkan pembenaran teologi, "Tidaklah mungkin yang gelap dan terang bersatu." Bahkan kedua keluarga berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan kami pada "jalan yang benar". Mulai dari doa-doa sampai hujan wejangan.

Awalnya, kami merasa lelah karena begitu banyak orang yang kemudian berbicara atas nama Tuhan dan pembenaran sosial. Alhasil kami harus menjelaskan satu per satu, atas perspektif berbagi rasa ketuhanan kami. Tentu tidak diterima, karena kemudian mereka berbicara atas nama anak-anak yang nantinya akan dibingungkan atas status orang tuanya yang beda keyakinan. Jadi, atas nama menyelamatkan "ketenangan sosial" dan "kenyamanan anak", kami diminta untuk benar-benar memikirkan semuanya (baca : mengakhiri hubungan).

Satu yang kami percaya, rasa sayang yang kami punya tidak pernah berhenti. Saya masih merasakan "kejutan listrik" setiap kali dia menjemput saya. Dia masih bilang, "I love you so much," dengan bola mata yang tulus. Saya masih merasakan ada yang aneh ketika kita tidak bersama dan dia merokok. Karena saya tidak suka kalau dia merokok. Bayangkan untuk hal ini saja, saya bisa merasakannya. Dan dia masih sangat panik kalau saya belum kasih kabar, apakah saya sudah sampai dengan selamat di rumah.



Dua tahun kebersamaan, adalah waktu yang jamak. Pertemuan kami terlalu sering, tapi rasa itu tidak memudar. Ini bukan rutinitas, ini sesuatu yang kami lakukan dengan keyakinan. Berbeda sekali rasanya, ini bukan sekedar cerita Galih dan Ratna. Ini keyakinan. Dan ketika kami sampaikan argumentasi ini untuk memberi gambaran kenapa kami masih keras kepala untuk bersama, banyak orang bilang itu hanya bumbu-bumbu asmara.

Entahlah, saya pikir memang tidak ada jawaban matematis untuk sebuah perasaan yang dinikmati dengan ketulusan. Alhasil, kami juga tidak ingin memaksa semua orang mendapat gambaran ini. Karena ini sesuatu yang kami rasakan, orang harus melihatnya dengan jujur bahwa ada keterikatan yang kami bangun hingga semuanya bukan sekedar asmara muda-mudi.

Dan kini, di 6 November Yang Kedua, rasa yang kami punya semakin kuat. Semakin ingin untuk selalu bisa menghabiskan waktu bersama. Semakin percaya bahwa masa depan ada diantara satu dengan lainnya. Dengan ketulusan dan kesederhanaan untuk menciptakan arsiran antara dua manusia, kami hanya berharap serta berusaha tetap bersama.

Perkara jalan yang kami lalui semakin terjal, wejangan semakin kasar, itu adalah sesuatu yang harus dihadapi. Saya tidak ingin menyebutnya sebagai sebuah risiko, karena risiko hanyalah sesuatu hal yang alamiah yang terjadi dalam setiap roda kehidupan. Dan yang perlu dilakukan manusia adalah mempersiapkan diri ketika harus berhadapan dengannya. Semoga apa yang kami rasakan bisa menjadi persiapan yang baik untuk titik risiko yang merupakan penjelmaan kematangan manusia.

Dengan segala kerendahan hati, terima kasih untuk cinta dan kasih sayang yang luar biasa. Dan dengan segala kerendahan hati, selamat menikmati ketulusan saya untuk mencintai serta menyayangi kamu apa adanya. LOVE YOU SO MUCH MY ICE CREAM MAKER :)

Monday, October 27, 2008

Menstruasi, Legitimasi Pernikahan

Seminggu belakangan, seorang Pria asal Semarang yang bernama Pujiono tengah diburu berbagai pihak. Mulai dari wartawan, polisi, hingga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) perempuan dan anak.

Diburu, karena pria berusia 43 tahun itu secara terbuka mengakui telah menikahi seorang anak berusia 11 tahun 8 bulan. Bahkan pemimpin pondok pesantren yang juga pengusaha, ini merasa bahwa apa yang dilakukannya merujuk pada ajaran agama. Alhasil, dirinya menyakini apa yang dilakukannya adalah hal yang benar.

Maka tuntutan Departemen Agama dan LSM, hanya dianggap bumbu-bumbu di awal pernikahan keduanya. Tidak hanya itu, Pujianto yang bergelar Syeh ini pun mengaku akan menikahi dua orang anak lagi. Seorang berumur tujuh tahun dan seorang lagi sembilan tahun. "Saya bersumpah tidak akan menyetubuhi keduanya, sampai mereka menstruasi," ucapnya dengan tegas.

Saya ngeri mendengar ucapannya bahkan saya merasa miris melihat gayanya, ketika diwawancarai wartawan." Pria ini merasa suci sekali," batin saya. Bahkan dengan bangganya, dia mengatakan bahwa salah satu isteri Nabi Muhammad saja dinikahi dalam usia yang muda. "Ah lagi-lagi, laki-laki merasa punya taring dalam mengartikan agama," gumam saya bak tersulut api.

Pria yang konon membagi-bagikan uang hampir Rp 1,3 triliun saat menjelang lebaran itu, bahkan mengadu para pihak yang tidak menyetujui penikahannya untuk bertanya pada isteri belianya apakah merasa dipaksa atau tidak ketika menikah.

Oh my God, apakah dia tahu bahwa anak seusia itu tengah mendefinisikan tubuhnya sendiri. Mengapa setiap sebulan sekali, dia harus mengerang kesakitan saat darah segar mengaliri vaginanya. Tidak kah dia tahu, diusia semuda itu yang ada di kepalanya hanya bermain yang puas. Tapi karena tamu tak diundang yang berwarna merah itu, dia harus berubah menjadi dewasa. Tidak boleh tertawa terlalu berlebihan, berbicara yang lembut, dan pakai pakaian yang tertutup agar selamat dari birahi tidak bertanggung jawab.

Pasti pria tua yang hanya mikir singkat itu tidak merasa merenggut apapun dari anak bawah umur yang yang dinikahinya. Toh dia merasa telah menyelamatkan anak tersebut dari gelapnya kemiskinan. Karena kini, Sang Anak bisa memilih berjalan-jalan dengan mobil mewah yang mana. Astaga Tuhan, murahnya harga sebuah proses kehidupan dan robeknya sebuah vagina, hanya cukup menawarkan jalan-jalan dengan mobil mewah.

Dulu, saat saya pertama kali menstruasi, Ibu saya memberikan petuah. Saya harus menjaga diri, dua kali lipat lebih ketat dari laki-laki. Karena menstruasi tanda kedewasaan saya. Saya ingat betul, ketika itu saya teramat tomboi. Jadi kalau ada yang isengin saya, pasti saya tendang.

Kala itu hari pertama saya pakai pembalut, boro-boro mau nendang temen saya yang iseng. Jalan saja rasanya seperti ada bantal mengganjal. Dan ketika saya menendang, saya panik. Panik pembalut saya mencong dan menyisahkan tanda di rok saya. Bahkan ketika sepupu perempuan saya melihat rok saya terdapat bercak merah, dia menarik saya ke dapur, "Priska ganti pembalutnya. Tembus tuh...malu-maluin." Saya panik dan merasa seluruh dunia menertawai saya. Oh Tuhan, apa sih artinya menstruasi bagi dunia?

Saya juga sangat ingat, ketika pertama kali membeli pembalut. Saya akan mencari warung yang dijaga oleh mba-mba atau ibu-ibu. Pokoknya kelaminnya harus perempuan. Dan lucunya mba-mba atau ibu-ibu itu akan membungkus pembalut dengan koran dan plastik hitam. Seolah ini benda terlarang yang tidak bisa ditangkap mata.

Tapi proses kehidupanlah yang kemudian membuat saya menyadari bahwa menstruasi perempuan sama dengan mimpi basahnya laki-laki. Itu pertanda kematangan hormon dari manusia, ya yang berpenis maupun yang bervagina. Kenapa kalau laki-laki mimpi basah, cukup dimengerti dengan hanya menjemur kasur. Mereka tidak dibebani tuntutan sosial seperti harus berututur kata lembut atau mengenakan pakaian tertutup.

Kenapa kalau anak laki-laki mengalami mimpi basah, tidak dijadikan legitimasi untuk menikah? Kenapa mereka masih diberi waktu lama untuk menentukan kapan pernikahan layak dilakukan?

Seandainya Pujiono bertukar tubuh pada anak berusia 12 tahun yang tengah menghadapi hari pertama menstruasi, apa yang ada dibenaknya? Tidak hanya itu, kutukan sosial ekonomi yang membelenggunya membuat dirinya harus menikah dengan pria yang sama tuanya dengan ayahnya.

Saya rasa, Pujiono enggan bertukar tubuh dengan anak berusia 12 tahun itu. Karena dia ogah merasa kesakitan sebulan sekali. Dan yang paling masuk akal, dia emoh punya vagina berselaput darah. Karena itu hanya akan membuat hidupnya didefinisikan orang lain. Karena vagina dan selaput darah adalah milik sosial untuk "mengkultuskan" wanita. Dunia memang tidak pernah simetris, dimana agama dan seksualitas selalu menjadikan semuanya tambah tak beraturan untuk dikatakan adil.

Sunday, October 26, 2008

I'm such a baby

Entah kenapa,seminggu kemarin, saya merasa dicuekin sama kesayangan saya itu. Faktanya, seminggu kemarin kita berdua memang sama-sama sibuk.

Saya, disibukkan dengan deadline yang tiba-tiba dibuat satu minggu setelah biasanya dua minggu. Ya secara kita majalah dua mingguan. Tapi kemarin karena libur lebaran lebih panjang, jadi kita harus kejar waktu tayang biar konsisten.

Sedangkan, pacar saya itu, sibuk dengan deadline juga. Ditambah, teman satu desknya ditugaskan untuk meliput Asian Beach Game di Bali. Alhasil, dia harus cover halamannya sendirian. Yah mau ngga mau, jadwal padat merayap.

Belum lagi acara keluarga yang harus diselipi diantara deadline, itu membuat saya tidak ingin membebani pacar saya untuk ketemuan. Plus, dari hasil pengamatan saya, tulisan panjang tukang es krimku itu mengenai kebertuhanan jarang di up date. Artinya, dia memang super sibuk. Karena kalau tidak tulisan panjang yang merupakan katarsis pemikiran dan jiwanya itu pasti sudah banyak.

Akhirnya, saya mencoba untuk memberi ruang buat kita berdua. Ya saya tidak menuntut untuk ketemuan atau ditelepon lama-lama. Sehari sampai dua hari, saya masih normal untuk tidak menuntut dia. Tiga hari dan empat hari, saya merasa dia cuek. Lima hari ke enam hari, saya sebel karena dia ngga aktif menghubungi saya. Akhirnya saya pundung yang artinya marah atau ngambek.

Pacar saya cukup peka dengan signal-signal kengambekan saya. Dia telepon saya, tapi saya sedang diangkot dan merasa tidak aman untuk angkat telepon. Dia sms. Setelah sampai rumah, pertanyaan dari smsnya, tidak saya jawab. Saya hanya bilang kalau saya sudah sampai rumah. Dia makin sadar, saya marah.

Dia telepon dan saya jawab sekenanya, akhirnya dengan lembut dia tanya, "Kamu kenapa sih neng?" Saya coba mengelak, tapi dia merayu saya dengan sabar. Akhirnya saya bilang, "Kamu nyuekin aku seminggu ini." "Nyuekin gimana?" tanyanya pelan.

Saya bilang, kalau dia tidak sms kalau saya tidak sms. Dan dia tidak telepon-telepon saya. Hahahaha...OK...I know all of you will say, "Priska you to old for that." Tapi tidak pacar saya, dia justru bilang begini, "Ayo kita runut. Hari Senin, aku telepon kamu pagi-pagi. Tapi kamu masih tidur."

"Selasa, aku juga telepon. Kita ngomong bentar. Kemarin, aku telepon kamu. Dan setiap hari kita kan smsan sayang," penjelasannya membuat saya menelan ludah, malu. Tapi saya kan punya gengsi segudang untuk ngaku saya salah. Dan pacar saya menangkap signal itu. "Sayang, kamu lagi manja ya. Ayolah aku inget kamu terus kok." Terus saya melunak.

Sabtunya kita bertemu. Saya pancing dia dengan hari terbesar kita yang akan berlangsung beberapa hari lagi. Dua minggu lagi tepatnya. Tapi dia coba untuk biasa aja, dan saya jadi bete. Tau apa yang saya lakukan, saya bilang dia nyuekin saya. Tidak seperti awal-awal pacaran, dia selalu menghubungin saya setiap saat. Saya manyun dan pasang aksi diam.

Tau apa yang dia lakukan? Dia peluk saya dan coba buat saya tertawa. Mulai dari kelitikan sampai joke-joke garing yang sayang kalau ngga diketawain...hihihihihhi. Trus dia bilang, "Kamu nih. Aku ngga nyuekin kamu. Gimana aku bisa kasih surprise kalo kamunya gampang ngambek."

"Mau tau surprisesnya apa?" Mendengar ini, saya membatin, Priska oon ngapain pake ngambek ngga jelas. Kan jadi ngga seru lagi. Dan spontan tangan saya menutup kedua telinga saya. Karena saya mau itu tetap jadi surprise. Tapi pacar saya kira, saya marah. Dan dia pelan-pelan buka telinga saya. Dia bilang "Aku mau ********" Maaf untuk alasan keseruan bagi saya, kutipannya harus disensor.

Dan saya menghapus memori saya saat itu juga, saya tidak tahu apa-apa soal surprise itu. Karena saya tahu, pacar saya tidak lupa hehehehe. "Kamu manja banget sih yang, kamu bayi besar tau ngga," ucapnya setelah saya menghapus memori saya. Dan yang terjadi berikutnya, dia kecup kening saya. Pada saat ingin pulang dia bilang, "I love you. You are my life and you are my future." Saya merona dan tahu apa yang saya lakukan untuk menutupi pipi yang memerah? Saya pura-pura budek hahahaaha I'm such a baby.

Pacar saya emang ciamik, makin sabar dan makin lembut kalo nanganin saya yang tiba-tiba berubah jadi bayi. Tapi sebenarnya, setiap kali saya berhasil dirayu, saya berdoa. "My dear Al Mighty, I love this person so much. Please make us love each other so much."

Ayo saudara-saudara sekalian, angkat tangan saudara dan katakan "Haleluyah! Amin!" hihihihihi yang tidak angkat tangan tidak akan masuk surga...wakakaakakaka....

Monday, October 20, 2008

Virginity, is it a woman dignity?




Yesteday I watched The Messenger Joan of Arc movie yesterday. Is a great movie. Is about the rivalry between England and France. Until I saw the virginity test that Joan have to deal with. Because the king's advisor do not believe that Joan is the one they waiting for as a God's messenger.

Ok back to the virginity scene. I couldn't stand to watch it, because is so cruel. With help from a nun, Joan was ask to stand and open her legs. So that the nun could see clearly if there any corruption from the hymen. That thin red membrane always be the answer for the society. And one thing that really scare me a lot is when the bishop pray before nun put her finger into Joan's vagina. It's simbolized that religion always be tools for man (read: human being) to justified women existance in universe.

Women never has privildge to speak in the name of thereself. Because women body is belong to everybody, specially when you talk in the name of holiness. And if you see from the other perspective, you will find that this holiness from virginity really bitingly funy.

Everywomen who still has their virginity perfect enough to sacrifice to completely remove all sins. And in other side, if your hymen membrane is torn a part than you can't do noble thing. Because is man role to control the world. As the great Simone de Beauvoir said, women is the second sex in the universe.

So God, why you give this "special" membrane to women? Why from the prophet era untill now we called it as millenium era, women's dignified related to how important your society keep the record of virginity points. And I hate this idea to death!!!

Monday, October 6, 2008

The Luxurius Woman's Egg

I was shock when reading that woman's egg more expensive than man's sperm. The magazine wrote that, nowadays donating egg become trend in United State. No wonder because super egg can command US$ 50 thousand. How to define super egg? Well your egg have to be check under microscope as an eye for embryologist. Than they will check whether your family has history of genetically related diseases.

The super egg more expensive than sperm, because is not easy to take it. The procedure make the donor have to take medications plus daily hormone injections for several weeks. The medications was meant to stop the menstruation and with the hormone injection, it will stimulate the ovaries to produce more than one egg. If this success you can start calculate the price.





But still, the embryologist will called as risky procedure. Because the drugs and hormone injection will make your weight gain. Not just that, your mood will up and down. So sometime you feel like want to kill someone because a simple mistake and in other time you weep down like a baby crying for mercy. Not just that, there is a risk called ovarian hyperstimulation syndrome that cause complications blood clots and kidney failure.

How exactly they got the egg ? Well you have to face a surgical procedure. With a thin needle inserted through your vagina, it will cross to the ovary and retrieve the eggs from the follicles. It goes another risk, like adverse responses to anesthesia, infection or bleeding.

To be honest, when I'm reading this surgical procedure, specially the thin needle thing, I feel twinge in my vagina. Is it worth it ? I mean with all the risk and pain? Well for some of student in United Stated is worth it. The money they offering is enough to pay student loan. That is why according to the Centers for Disease Control and Prevention, quoting from The New York Times, 5.767 babies were born in 2003 from donor eggs. They even assuming that the number probably much higher because the success rate is low!!

To react from this situation, woman's health advocates said that paying enormous money for risk procedure is not make any sense. That is why lawmakers in Maryland preparing to ban this "baby business". They will make proponents compensation, reference to The American Society for Reproductive Medicine, the appropriate price is US$ 5.000.

And now, I'm imagining ten years from now what would be the face of bio fertility? Maybe someday, I will make announcement in the biggest newspaper looking for fresh young lady who want to donate their eggs. Gosh science always make fun the reality. In one hand they diagnose person with polycystic ovarian syndrome (which is me), who is hard to extracting the egg from follicle. This person, produce a lot of egg but none one of them can get out from the follicle so there is no change to meet the qualify sperm. As you know there are thousand even million sperm running in Fallopian tube but only one survive to fertilize the egg.

In other hand they make young girl to donate their egg with tremendous risk. In the name of helping each other, technology always simplify reality. I mean, is it fair if I'm finally get pregnant and have a baby by jeopardizing others ? Why happiness always related to how much money you spend to this crazy lunatic world.

Before I know I have this polycystic ovarian syndrome, I want to be surrogate mother. The naif idea was, better to torn your hymen by giving birth for a baby...which is impossible that is why now I said, naif idea. I was influence by Phoebe in Friends serial. And I remember that time Ricky, the first man who heard my idea, said is my selfish thought. By doing that surrogate role, I will got extra name. The helping saint mother....And of course that time I don't agree with him. Is not selfish, I'm helping other by torn my hymen in the name of choice. Because in Indonesia is important to keep virgin until your marriage. And to be contrary with, I choose surrogate mother. Cause a baby birth more noble than a penis. Is my way to fight with the society shallow mind.

Well just see how our people will react with this technology? Do the technology success to make fun in Indonesian perspective...

Tuesday, September 30, 2008

Selamat Idul Fitri

Senangnya, Kamis (25/09) kemarin, akhirnya gua, Syifa dan Kiki bisa buka puasa bersama :)




Seneng karena akhirnya kita bisa jalan bareng setelah disibukkan dengan deadline menyambut libur panjang (baca : lebaran). Walaupun bukanya cuman di Rice and Noodle-Arion, yang Syifa sangat tahu bahwa menunya ada nasi dan mie hahahaha, tapi kita senang. Setidaknya setelah buka bersama bisa cipika-cipiki di depan lampu merah sebelum nyeberang. Bayangin siapa yang berani melakukan itu, kecuali KITA....hahahahaha....

Mereka bedua ini adalah pejuang-pejuang perempuan gua yang paling hebat. Ditambah dengan beberapa laki-laki yang berdaya humor luar biasa, segala tantangan di kantor bisa dihadapin bareng-bareng. Mulai dari reumenerasi, hakim agung kali ada reumenerasi, sampai pengalaman menatap negeri asing kita hadapin dengan celaan dan semangat bareng-bareng.



Iya sih, di buka bersama ini, minus cowo-cowo. Tapi gaya dan mental kita cukup mewakili mereka kok. Selamat Idul fitri ya...sucikan hati dan kembali ke fitrah...Tapi gua mah bakal selalu rindu untuk menoleh ke sayap kanan, melihat dua mahluk ini duduk menatap komputer. Mereka teramat menggoda untuk tidak dihampiri....dengan celaan maksudnya hahahahaha...Rindunya aku pada kalian....

Jangan lupa ke kantor ya, meskipun cuti kalian lama, pengen ngerasain rengginang dan kue lebaran enak buatan mamanya Syifa...Miss you girls (baca : gatel pengen nyela)

Wednesday, September 24, 2008

10 Hal Tentang Saya

Senin, 22 September kemarin, teman gila saya, Ika Krismantari meminta untuk membaca blognya. Dia kena tag dari temannya. Ini semacam pesan berantai antar pengguna blog, jadi siapa saja yang kena tag, hukumnya wajib untuk mendeskripsikan dirinya.

Ngga gampang emang mendiskripsikan diri, apalagi kalau disuruh meringkas dalam 10 hal. Tapi buat saya selalu menarik untuk bisa menelisik diri sendiri. Makanya ketika, isteri dari Mas Kelik Wijaksono itu men-tag saya, saya pun menerima undangannya. Undangan yang beraroma tantangan sebenarnya, seberapa berani saya bisa jujur sama diri saya sendiri dan orang yang membaca.

Berikut pembuktiannya :

1. Saya selalu menganalogikan diri saya sebagai kupu-kupu. Bukan karena nge-fans sama Mariah Carey atau penyanyi bahenol yang kemudian berubah nama jadi Mimi. Bukan juga karena ngekor Shanti yang belakangan jadi pemain film yang ngga jelek-jelek amat.
Kupu-kupu, menggambarkan proses metamorfosis yang saya jalani. Dulu sebelum saya kuliah, saya selalu ditempatkan sebagai itik si buruk rupa. Maklum, saya ngga punya prestasi apapun. Ya sekolah ya bakat, kaga ada sama sekali. Saya masih sangat pemalu atau tepatnya minderan ketika itu. Jadi kalau ada acara keluarga, saya selalu "mengumpat". Karena sepupu-sepupu saya punya sesuatu yang dibanggakan. Belum lagi abang saya yang selalu jadi jawara sekolah. Ngga ada yang menarik. Sampai akhirnya saya masuk Unpad dan bertemu dengan perpustakaan Batu Api, di Jatinangor. Perpustakaan itu kepompong saya, mempertemukan saya dengan Nietzsche. Tuhannya para eksistensialis yang membunuh Tuhan habis-habisan. Saya juga bertemu dengan Dunia Sophie, Jalaluddin Rumi, Paulo Coelho. Merekalah yang kemudian merubah saya jadi kupu-kupu. Saya lebih menghargai diri saya sendiri dan mengada untuk dunia. Apapun corak sayap kupu-kupu, orang tetap melihatnya sebagai hewan sempurna. Karena hanya dia yang berhasil pada nirwana kesempurnaan diri.


2. Saya lebih percaya kepada Tuhan ketimbang agama. Dulu saya pernah dibilang sebagai pemeluk humanisasi, karena saya terlalu mempersonifikasikan Tuhan. Saya lebih suka disebut sebagai sahabat Tuhan ketimbang anak Tuhan. Karena kalau jadi anak Tuhan, ada kewajiban, ada harapan yang harus dipenuhi untuk membahagiakan Sang Empunya Anak. Maka jangan heran, kalau saya sering marah-marah sama Dia.

Saya dan Dia (baca : Kita) telah melalui banyak hal. Terlebih ketika kita memutuskan untuk keluar dari persekutuan. Itu adalah pertanda waktu, dimana kita tidak mau berafliasi dengan satu organisasi. Karena persepsi dan hubungan kita akan dibuat sedemikian rupa agar sama dengan organisasi. Ini juga yang membuat saya, suka pemikiran "nyeleneh" tentang agama. Keluar dari jalur, mungkin demikian kebanyakan orang mengartikannya. Tapi bagi kita, inilah cara kami untuk memperkaya arti kedekatan kita.


3. Saya anak perempuan satu-satunya dari keluarga Batak yang totok. Banyak sekali tuntutan menjadi anak perempuan, baik secara sosial masyarakat maupun secara keluarga. Perempuan di Indonesia apalagi dengan garis keluarga patrilineal yang totok seperti Batak, membuat saya mengikrarkan diri sebagai feminis. Saya menemukan banyak ketidakadilan didalamnya dan saya mencoba keluar dari sana. Ketika saya memilih jurusan Jurnalistik, ayah saya bilang itu pekerjaan yang kurang cocok untuk perempuan. Tapi saya ngga peduli. Sewaktu saya sering membaca buku-buku feminis, ayah saya bilang, kajian itu masih belum berkembang di Indonesia. Dan sampai sekarang saya masih membeli Jurnal Perempuan atau buku-buku feminis lainnya.


4. Saya ingin jadi penulis, karenanya saya ambil Jurnalistik sebagai bidang kajian ilmu saya untuk mendapat gelar sarjana. Diam-diam kecintaan saya menulis, saya dapat dari ayah saya. Bapak Siagian ini, suka menulis untuk majalah Koperasi. Maklum, dia kerja di Departemen Koperasi dulunya. Nah waktu itu, sayalah yang kedapetan untung mengetik tulisan dia. Kadang-kadang saya ubah sendiri kata-katanya biar ngga kaku hihiiihi. Saya harus menerbitkan buku, itu cara saya mengisi hari-hari saya di masa depan :) Amin!!!

5. Saya sayang keluarga saya. Mance, Pance, Raymonth, dan Marshall. Walaupun belakangan keluarga saya, menilai saya banyak berubah. Saya semakin susah dibilangin karena saya selalu punya jawaban atas larangan mereka. Tapi, jauh di dalam lubuk hati saya, saya sayang mereka teramat sangat. Karena mulai dari cuman makan indomi pake ikan asin, sampai makan panggang babi, mereka orang-orang yang membuat semuanya jadi luar biasa nikmat. Dari cuman tahun baruan di rumah sampai ke puncak, mereka kehangatan buat hidup saya. Saya selalu rindu untuk cerita-cerita sama mama saya, yang selalu manggil saya adek karena dia ngga punya adek perempuan. Saya tidak perlu takut ngatain bapak saya yang botak, malah dia ikut ketawa. Dan saya mendapatkan ke-boyish-an dari dua saudara laki-laki saya. Tidak jarang saya main gulat-gulatan sama mereka sampai sekarang, seringnya saya kalah. Karena badan saya paling kecil di rumah :(


6. Umumnya teman-teman saya menggerombol. Gank anak gaul bilang. Mulai dari SMP sampai kuliah. Malah pas SMP, saya punya gank namanya Zombie The Proyal Gank. Zombie dipilih karena kita suka menyanyikan lagu Zombie yang dibawakan Cranberries. Tapi ini juga untuk menunjukkan kecadasan gank saya hahahaha. Proyal adalah singkatan dari nama-nama kami, Priska, Rosi, Olivia, Yurisca, Ahaditya, dan Leni. Tapi sumprit kita ngga seperti Gank Naro yang suka namparin cewe-cewe. Meskipun jarak memisahkan, saya masih berhubungan dengan teman-teman saya. Mulai dari teman SMP dan kerja. Malah kadang-kadang kalau perasaan saya lagi ngga enak, dan tiba-tiba kepikiran salah satu dari mereka. Saya akan sms atau telepon, untuk sekedar tanya kabar saya. Seringnya saat itu mereka ketepatan sedang ada sesuatu yang ingin disharingkan. Itu kenapa saya ngga mau lepas dari teman-teman saya.

Saya selalu memiliki keterikatan batin dengan mereka. Dan saya seneng aja kalo ngumpul sama temen-temen saya, sampai pacar saya bilang, temen kamu banyak amat sih. Beruntung temen saya selalu nambah dan rata-rata "gila" semua :)


7. Garang-garang gini, sebenarnya saya manja. Apalagi sama adek dan pacar saya. Saya sering merengek-rengek kalau sama mereka. Kalau adek saya paling manjain saya, setiap kali saya pulang kantor. Remote tipi akan dikasih ke saya seratus persen, kecuali pas acara Mario Teguh. Dia suka banget acara ini. Dan dia akan memberi kecupan malu-malu kucing kalau baru aku kasih barang...hihihiii senang rasanya. Sedangkan pacar saya, dia punya kesabaran sejuta kayanya. Karena hampir setiap hari saya merengek-rengek ngga jelas, cuman untuk denger dia bilang, "Iya neng, yang tenanglah..." hahahahaha.


8. Sewaktu kuliah, saya selalu nongkrong lebih lama di kampus. Untuk mencerahkan mata saya dengan melihat pantat laki-laki yang seksi. Hahahaha. Bicara soal laki-laki, waktu SD saya malu-malu kucing. SMP, saya akan gigih mencari nomer telepon kecengan saya dan meneleponnya. Tapi ngaku dari orang lain. SMA, saya mulai berani mengirim senyuman kalo kecengan saya lewat. Tapi rata-rata adek kelas, kalau yang satu tingkat malah kaga berani. Begitu kuliah, saya ngga hanya kirim senyum. Saya kirim bunga, puding, buat kecengan saya. Dan terang-terangan saya mengakui saya suka mereka. Saya malah ngomporin temen-temen saya untuk melakukan hal serupa, cari temen maksudnya hahahaha. Kebetulan "korban" saya kebanyakan angkatan 97, jadi kalau kebetulan Anda korban dan membaca ini. Saya ucapkan terima kasih untuk petualangannya hahahahaha.

Setelah pacaran, saya terbilang yang setia. Saya ngga mau "berpetualang" sambil pacaran. Karena saya menghargai hubungan saya dengan pacar saya. Dasarnya, keegoisan saya. Ketika saya tidak mau diselingkuhi, maka saya tidak mau selingkuh. Ketika saya menuntut hanya saya seorang buat dia, maka hanya ada dia buat saya. Makanya ketika saya sebulan di Jerman, banyak peluang yang bisa dimanfaatkan. Tapi saya tidak mau menyakiti hati saya, itu aja alasannya.


9. Saya mencintai anak-anak. Malah saya pengen punya anak lima, cowo semua, biar bisa bikin NKOTB!!! Hampir semua sepupu-sepupu saya, senang ketika melihat saya. Karena saya bisa kasih mereka permainan yang beragam. Mulai dari dongeng, tebak-tebakan, tok-tok ubi, sampai melipat-lipatkan tangan. Anak-anak adalah kejujuran buat saya. Mereka polos dan ketika mereka menciumi saya, saya menjadi orang paling beruntung sedunia. Maka sedih rasanya ketika dokter mendiagnosa saya SOPK.
Tapi saya percaya masih banyak anak-anak yang membuat saya beruntung setiap kali Saya dikecup oleh mereka. So...come to mama...!!!


10. Terakhir, saya sedang mati-matian memperbaiki bahasa inggris saya. Karena saya pengen sekolah lagi, pengen ke luar negeri lagi. Persiapan kalau nanti saya tinggal di luar negeri...hahahahaha....hey kita harus punya mimpi kan. Dan mimpi itulah yang membuat saya seperti saya sekarang....Jadi mari kita bermimpi untuk bangun dari tidur dan merealisasikannya. HABIS PERKARA (NAGA BONAR MODE ON).

Dan berikut adalah orang-orang yang saya tantang untuk mengungkapkan siapa dirinya dalam 10 hal. Saya yakin ini menyenangkan, karena ini bisa jadi cara kalian untuk memetakan masa lalu, sekarang, dan akan datang. Jadi berani terima tantangan saya, wahai kau :

- Ita Lismawati Ferdinan Malau
- Siti Paryati
- Basilisa Dengen
- Syifa Amori
- Rizky Pohan
- Hanida
- Suci DH
- dan lain-lain....Siapa aja yang maulah hehehehehe

Monday, September 22, 2008

Malas

Entah kenapa, tapi saya semakin malas bekerja. Mungkin aroma libur lebaran jadi penyebab atau memang sudah saatnya....

Pengen kaya kuliah dulu. Belajar pagi-pagi, siangan dikit nongkrong di kampus sambil liatin sexy butt-nya laki-laki :) Sorean dikit tidur-tiduran di kosan susi atau gua. Maleman dikit hunting makanan sama anak kosan sambil cerita ngapain aja di kampus. Atau berburu kamar siapa aja yang bisa didatangin karena ada makanan dan dvd bagus...

Indahnya masa itu, muda dan tanpa punya banyak masalah hahahaha. Harus cari cara biar sekolah lagi, muda dan tanpa banyak masalah...AMIN!!!!

Tuesday, September 16, 2008

Indicate your religion trough cellular phone

When I was in German, my friends Lauben Muhumuza from Uganda, ask what is the most important thing in my country? "Religion. Nothing more important than that," I answered. "Why," the best talk show man in Uganda asking me again. "Well, we very proud to be called as religious country. That is why, the state obliged their people to have one religion."

Maybe Lauben will shock if he know that during this Ramadhan, one of the biggest CDMA provider launch their Ramadhan cellular phone series. They called it, Hidayah cellular phone. Hidayah mean enlightenment. They provide Al Qur'an in it and the phone even got certification from Indonesian Ulema Council (MUI). So the phone got the brand from those validation.

They design it with green casing. Green is perfect color to describe religious items. Add some religious song as a ring tone, will attract lot of people to buy it. And even the advertising describe how a mobster atone for his sin. You just need Rp 300 thousand to have this spiritual experience. Well don't need a lot of money to built your religious perspective. "Is easy if you know how," will be a perfect tag line for it :)

And I'm really sure this December, they will be launch the Christmas series. Put some Christmas song and bible, with red and green coloring, the provider will collect a lot of money from this holy business.

If Lauben or my other foreign friends asking, why religion became an important thing in Indonesia. I will say, because you can earn a lot of money from it. We are living in this capitalist era...welcome aboard greedy spirituality.

Monday, September 15, 2008

Sindrom Ovarium Polikistik

Sindrom Ovarium Polikistik adalah kumpulan penyakit yang timbul akibat sel telur tidak dapat matang saat tidak dibuahi. Ciri-cirinya sering kali disepelekan oleh kebanyakan perempuan, menstruasi yang tidak teratur. Dan jika dibiarkan dapat menyebabkan infertilitas pada perempuan tersebut.

Tidak banyak yang menyadari bahwa hanya di tiga tahun pertama, jadwal menstruasi tidak teratur. Dan jika hingga sekarang, Anda mengalami jadwal menstruasi yang ajak-ajakan, ada baiknya memeriksakan diri ke dokter. Karena itu bisa jadi pertanda Anda mengalami Sindrom Ovarium Polikistik. Sindrom ini diawali dengan sel telur yang tidak bisa matang karena adanya kelainan endokrin. Endokrin adalah kelenjar yang mengeksresikan hormon untuk dialirkan oleh darah ke seluruh bagian tubuh.

Dan hormon yang mengalami gangguan adalah Luteinizing hormon atau hormon LH. Mereka yang mengidap sindrom ini akan berlebih memproduksi LH sehingga mencegah terjadinya ovulasi atau pengeluaran sel telur. Setiap kali tidak ada pembuahan, sel telur yang matang dengan bantuan follicle stimulating hormone (FSH) harusnya keluar dari indung telur dan menempel di dinding rahim yang kemudian luruh menjadi menstruasi. Untuk mengetahuinya perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan rasio LH/FSH normal adalah 2.5/5.

Akibat dari LH yang berlebih, telur yang matang tidak dapat dikeluarkan dari cangkang indung telur dan membuat menstruasi tidak terjadi. Ketidakseimbangan ini bisa terjadi karena tubuh mengalami resistensi insulin atau keadaan tubuh menolak insulin diserap dalam darah agar bisa disalurkan ke seluruh tubuh. Maka kondisi fisik yang membesar atau obesitas bisa menjadi pertanda yang kasat mata. Atau jika jadwal menstruasi yang tidak beraturan tidak segera diatasi, tubuh akan berisiko mengalami diabetes karena resistensi dibiarkan berlarut-larut.

Dengan kondisi metabolisme tubuh yang terganggu akibat resistensi insulin, penumpukan kalsium menjadi risiko lain yang dapat terjadi. Kalsium yang tidak terurai ini membuat plak-plak pada pembuluh darah dan merujuk penyumbatan pembuluh darah. Belum lagi dengan risiko infertilitas akibat tidak pernah meretasnya sel telur yang sudah matang. Inilah mengapa gangguan hormon kemudian disebut sebagai sindrom, karena berupa kumpulan gejala. Maka penting untuk memeriksakan diri sejak dini.

Entah terlambat atau tidak, tapi sindrom ini menjadi bagian dari hidup saya saat ini. Sebelum saya berkonsultasi dengan dokter saya, saya browsing layaknya setiap kali ingin wawancara dokter. Awal ketertarikan saya untuk melakukan jelajah ala internet itu, karena gangguan menstruasi saya kembali datang. Setelah lima bulan teratur, tiga bulan dengan bantuan obat dan dua bulan natural, saya kembali bertemu dengan realitas kerja tubuh saya.

Ini juga setelah pacar saya membaca di Republika mengenai sindrom secara runut. Akhirnya saya memulai penelusuran referensi melalui dunia maya, karena tadinya saya pikir tidak usah ke dokter lagi. Paling karena saya stress. Membaca dan membaca, entah kenapa saya merasa mempersiapkan diri ketika proses itu berlangsung. Tanpa saya sadari, saya takut untuk ke dokter (lagi) dan coba menghadapinya dengan rileks. "Kamu berobatlah neng, jangan ditunda-tunda," ucap pacar saya. "Berobatlah dek, duitnya dari mama dulu. Biar kita tenang," ungkap ibu saya beberapa malam yang lalu.

Dengan bahan riset yang mencapai lima halaman, saya pun pergi ke dokter. Di rumah sakit yang khusus ibu dan anak-anak itu, saya kembali duduk sendirian di ruang tunggu. Tiba giliran saya dipanggil, dan saya bilang, "Dok, saya belum dapet lagi nih. Padahal dua bulan berhenti minum obat udah teratur." Dengan sangat pelan, dokter yang memiliki rambut sama dengan Adnan Buyung itu berujar dengan pelan, "Itu artinya, Ibu belum sembuh."

"Gitu ya Dok. Dan kemarin saya browsing. Saya kok merasa kalau apa yang saya alami sama dengan Sindrom Ovarium Polikistik ya?" Kembali dengan pelan dokternya bilang," Iya. Karena LH Ibu tinggi sekali, 18.5. Tiga kali lipat dari yang normal."

"So what should I do?" dan saya pun merasakan darah mengalir cepat sekali ke jantung saya. Ruang dokter yang bersih dan terang itu, tiba-tiba terasa redup dan menyesakkan. "Kita minum obat lagi seperti dulu, ya." Kemudian Prof. Ali Baziad, itu nama dokter saya, bilang kalau ada tiga jenis obat untuk mereka yang mengalami sindrom ini. "Berhubung ibu masih nona, kita pakai obat yang biasa saja. Sama dengan kemarin."

Dan nanti saat saya merencanakan kehamilan, "Obatnya kita ganti untuk membantu keluarnya sel telur yang sudah matang. Tapi Ibu beruntung karena taunya jauh-jauh hari, jadi bisa diterapi," ungkapnya menenangkan. "Begini saja, selama kita masih bisa merawatnya dari sekarang itu artinya masih ada peluang untuk hamil."

Lalu saya tanyakan risiko diabetes dan jantung yang sudah saya baca sebelumnya. Ditambah ayah saya punya riwayat diabetes. "Kalau ayah, ibu itu kan namanya genetika. Maka yangn bisa dilakukan hanya menghindari faktor risiko. Ibu harus hidup sehat, terlepas ibu punya sindrom ini atau tidak." Dokter ini bahkan memberikan satu info baru mengenai risiko yang bisa saya alami, kanker ovarium. Mengingat Ibu saya dua kali di operasi tumor jinak, saya bertanya apakah ini akan mempertinggi risiko saya? "Itu juga genetik, ibu harus menerapkan pola hidup sehat."

"Apa saya akan kesulitan untuk punya anak? Karena dari yang saya baca, sindrom ini membuat keguguran berulang," ucap saya lirih. "Yang penting kita obatin dari sekarang. Dan ini pasti pengobatannya akan merujuk pada kebaikan." Karena obat yang saya minum akan membantu menekan hormon LH jadi bisa saja satu waktu LH dan FSH saya seimbang. "Kalau hormon LH saya masih tinggi juga, i have to take the medicine for the rest of my life?" "Yes, you are. Tapi ngga perlu kuatir, semuanya biar seimbang," ucap dokter itu menenangkan.

Sekeluarnya dari ruangan itu, saya sms pacar saya. Karena dia yang menginfokan saya mengenai sindrom ini dari potongan koran. Sesaat kemudian, ring tone Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana yang dinyanyikan Ari-Reda, mengalun di handphoneku. "Dokternya bilang gitu ya neng? Kamu di kasih obat apa? Mau ketemuan?"

Empat puluh lima menit berselang, aku duduk disampingnya. Makan dan minum, seperti biasa. Tapi rasanya tidak biasa. Aku merengek untuk diantar pulang, tidak dengan motor melainkan taksi. Padahal saat itu kelelahan. "Sayang kamu ya neng, jangan sedihlah."

Di depan rumah, ibu saya menunggu dengan cemas. Dia tahu akan mendengar sesuatu dari saya, sesuatu yang baik. Saya langsung peluk dia dan menangis sejadinya. Adik saya sampai kaget, " Si kakak kenapa Ma?" Sebelumnya saya memang cerita dengan detail mengenai hasil riset saya yang mungkin saja terkait dengan apa yang saya alami. "Udah Dek, jangan sedih. Kita minum aja obatnya dan berdoa. Tidak ada yang mustahil buat Tuhan."

Ah Tuhan, biasanya dengan kondisi seperti ini saya sudah sejadi-jadinya menuntut Dia. Tapi ntah kenapa saya ngga punya tenaga untuk melakukan itu. Aku hanya bilang, "Ya terjadilah apa yang menurutMu terjadi." Besoknya saya masih belum bisa percaya dengan semua itu. Ternyata meskipun kita sudah mencari tahu apa dan bagaimana suatu penyakit, pada dasarnya tidak selalu mudah untuk menerimanya sebagai kenyataan.

Kini, saya tidak mau berpikir banyak tentang itu. Saya punya mama yang selalu mencoba tenang, meskipun saya tahu dia panik luar biasa setiap kali ada anaknya yang sakit. Saya punya adik yang langsung ambil tisu begitu tahu saya nangis. Dan saya punya pacar yang menjamin semuanya akan baik-baik saja. "Aku sayang kamu dan bakal nemenin kamu terus."

Dan kepada Sang Empunya Kehidupan, mari bergabung dalam perjuangan kehidupan ini. Dijamin akan mengalami banyak cerita dan pengalaman menarik yang dapat menambah rasa kebersamaan kita. Bukankah Sang Pengatur dan Yang Diatur harus dapat bekerja sama dengan baik. Jadi mari kita bekerja sama :)

Toh ini bukan pilihan "pahit" pertama kita. Jadi untuk apa harus takut...hadapi saja!!

Wednesday, September 3, 2008

If There Is a God

By Smashing Pumpkins





If there is a God
I know he likes to rock

He likes his loud guitars
And his spiders from Mars

And if there is a God
I know he's watching me
He likes what he sees
But there's trouble on the breeze

Who are you this time?
Are you one of us flying blind?
Because we're down here throwing stones
While you're so far from home

And if there is a God (2x)

He's a spy with bedroom eyes
And covers in our sky

Who are you this time?
Are you one of us flying blind?

Because we're down here throwing stones
While you're so far from home

And if there is a God
If there is a God

Tuesday, September 2, 2008

Ketika Pimpinan Tidak Profesional

"ATAS NAMA SERIBU TOPAN BADAI,BEDEBAH!!" Kalimat itu terlintas dengan jelas di kepala, setelah mengetahui kesalahan fatal yang terjadi di majalah anyar saya hanya karena "pemimpin" tidak melakoni perannya dengan baik. Ya, saya memberi tanda kutip untuk menggambarkan bahwa dia jauh dari definisi yang sebenarnya.

Sebagai pemimpin, dia getol marah-marahin bawahannya kalau kerja tidak beres. Sebagai pemimpin dia menuntut kesempurnaan dari kerja anak buahnya, dengan menjatuhkan mental. Padahal, sepengetahuan saya, pemimpin yang ada di baris kedua dari jajaran tertinggi ini tidak punya background menjadi kuli tinta. Jadi modalnya hanya sekedar marah tanpa bisa kasih masukan atau koreksi yang proporsional.

Dan saya semakin yakin untuk menambahkan kutipan di jabatan pemimpinnya, setelah edisi terbaru majalah saya, "pemimpin" itu tidak langsung mengamini kesalahannya.

Kronologisnya seperti ini, saya mewawancarai salah satu petinggi perusahaan minyak dan gas milik pemerintah. Kala itu saya menggandeng fotografer untuk merekam figur orang itu dalam frame kamera yang ciamik. Saya yakin betul fotonya akan maksimal,karena saya selalu percaya dengan skill fotografer.

Setelah transkrip, saya pun menulis profil petinggi itu. Tulisan selesai, saya
masukkan dalam folder rubrik yang saya tangani. Kala itu kita memang punya stok, profil dari perusahaan lain. Al hasil di dalam folder ada dua folder. Folder pertama berisi bahan teman saya, yang senin ini resmi pindah tempat kerja. Folder ini lengkap dengan foto. Dan folder kedua, berisi bahan saya tanpa foto. Karena foto ada di kamera fotografer kami.

Saya memasukkan tulisan, beberapa hari sebelum deadline. Selesai itu adalah bagian redaktur atau "pimpinan" untuk mengedit tulisan saya. Sesuai rapat redaksi yang akan dinaikkan terlebih dulu adalah yang saya wawancara, salah satu petinggi perusahaan minyak dan gas milik negara.

Hari ini (2/9) majalah kami beredar. Di halaman daftar isi, saya sempat menangkap keganjilan. Rubrik saya berisi muka asing, bukan orang yang saya wawancara tapi namanya nama orang yang saya wawancara. Saya pikir mungkin itu stok foto lama, walaupun kemudian saya membatin kenapa mesti pakai foto lama?

Saya membuka halaman demi halaman, apa yang terjadi? Satu foto besar yang
bertuliskan nama orang yang saya wawancara, benar-benar muka asing. Saya mulai deg-degan. Dasar orang Indonesia, saya masih berharap halaman di belakangnya berisi muka yang saya kenal. Hingga saya bisa berkata, "Untung cuman satu foto," seperti kebanyakan orang kita ketika ketiban musibah dan berusaha mencari hikmah.

Untung tidak saya rengguk, karena dua foto sedang dan satu foto lumayan besar, BENAR-BENAR BUKAN MUKA ORANG YANG SAYA WAWANCARA! Sigap saya meraih teman satu tim saya yang duduk di samping saya,"Anjrit ini bukan orangnya! Tulisannya bener kok, tapi fotonya bukan!" Temanku yang hangat itu merespon,"Lapor Pris ke 'Pemimpin' !!"

Saya pun melangkah cepat ke ruangannya yang teramat dekat. "Pa, ini bukan foto yang saya wawancara. Ini orang lain dan saya tidak kenal. Tapi tulisannya benar." "Pimpinan" kaget dan berkata, "Kamu nyetor fotonya tidak?"

"Waktu itu saya ajak fotografer, jadi fotonya ada di mereka."

Tiba-tiba teman saya datang menghampiri, "Itu foto Bapa..." (saya lupa namanya yang pasti itu foto diambil dari folder teman saya yang baru mengundurkan diri, yang saya ceritakan di muka). Saya pun spontan membalas, "Loh itu bukannya orang yang bakal kita turunin di edisi yang sekarang kita garap?"

"Iya Pa, foto itu harusnya untuk edisi yang kita garap. Berarti ada yang ngambil
dari folder yang bukan folder saya. Padahal itukan dua orang yang berbeda," saya mulai punya alasan untuk panik dan terasa ingin teriak.

"Coba saya confirm ke bawah." Beberapa saat ke bawah dia menghampiri saya, "Oiya, fotografer itu belum setor fotonya maka layouter ambil dari folder. Dan saya untuk edisi ini memang tidak memantau layout karena saya ingin pelan-pelan melepaskan mereka."

Oke saya mulai merasa ada usaha pembenaran di sini. Bukankah dia selalu marah kalau ada redaktur yang tidak jaga layout? Kenapa dia tidak jaga layout? Apa yang lebih penting dari itu? Toh setahu saya porsi terbesar dia, ya itu jagain layout. Alasannya ketika dia bercerita harus berjibaku berjam-jam di layout karena dia ingin semuanya sempurna. Ini baru edisi ke empat dan dia sudah mulai pelan-pelan meninggalkan layout.

"Sepertinya besok-besok kalau kita ajak fotografer untuk mengingatkan mereka taruh fotonya langsung di folder. Dulu saya juga tangani itu, tapi karena banyak yang saya urusin akhirnya saya tidak minta lagi."

Apa kerjaan lain yang mendesak ketika itu? Saya pun membatin. Seandainya dia menjaga layout kesalahan itu bisa dikoreksi dengan mudah. Sehingga kategori kesalahan fatal, yang kemudian dia amini juga sebagai kesalahan fatal, bisa dihindari. "Ini fatal sekali, saya jadi tidak enak dengan coorporate communicationnya karena dia pasang iklan lagi."

Jawaban yang aneh. Dia lebih milih ngomong gitu ketimbang bilang, "Coba saya jagain ya Pris, pasti ngga kejadian. Maaf ya." Saya langsung tidak bersemangat kerja.

Saya pun mempertanyakan apa yang akan dilakukan. "Kita akan bikin ralat di edisi terbaru dan menampilkan foto yang benar." Saya merasa tidak jelas kalau hanya menampilkan fotonya saja di edisi terbaru itu. "Ok, mungkin kita bisa tampilkan dua profil di edisi besok. Untuk meralat foto dengan menampilkan foto yang benar di kedua tulisan. Tapi akan dipikirkan lagi."

Lalu saya bertanya apa yang akan saya katakan kepada orang yang saya wawancara. "Nanti saya akan kirim surat permintaan maaf ke kedua belah pihak. Saya juga ngga enak, karena ada iklan mereka di edisi ini."

Entahlah, saya keburu kecewa dengan dia. Terlebih ketika teman setim saya bilang, "Kenapa dia ngga jagain layout-nya. Padahal kita bersusah payah membangun image. Dan ini pasti merusak usaha itu."

Teman saya itu pun menambahkan,"Rupanya selain jadi reporter kita juga harus
ngerjain semuanya. Plus jadi mandor layout yang sebenarnya bukan bagian kita."

Saya merasa campur aduk, tulisan yang menampilkan secara jelas nama saya itu rusak hanya karena keengganan bekerja profesional. Saya ingin sekali seperti "pemimpin" itu yang bisa langsung marah atas nama kesempurnaan. Tapi sebagai kacung kampret saya tidak punya kewenangan untuk sejauh itu bersuara.

Saya pun memilih pulang dengan cepat karena saya sudah tidak konsentrasi bekerja. Saya coba untuk bekerja, tapi tidak bisa. Bahkan bicara saya semakin ngawur dengan suara keras yang satir. Teman-teman tim saya bilang, "Tenang aja Pris, ini bukan kesalahan kamu."

"Iya tapi nama saya ada di sana, bisa jadi nanti setiap kali saya ke perusahaan itu mereka akan bercanda bilang, jangan mau diwawancara dia, nanti mukanya bisa berubah," saya coba untuk tertawa. Tapi rasanya getir karena satir tidak pernah renyah untuk dinikmati.

Saya berusaha setengah mati untuk bisa "hidup" di desk baru ini. Saya percaya setiap penempatan rubrik baru akan membuahkan pembelajaran baru, maka saya berusaha untuk tertarik. Dan ketika saya coba menyelaminya dengan sekuat tenaga, saya dikecewakan.Saya semakin sulit bernafas di bidang yang kata banyak orang ladangnya duit.

Well ladang duit yang ini, tidak menarik perhatian saya. Saya lebih merasa berdaya guna ketika mewawancarai dokter, seniman, atau mereka yang secara profil memberikan pencerahan bagi orang banyak. Aktivis, guru, pekerja sosial misalnya, mereka lebih banyak ilmu filosofi dibanding bos-bos minyak dan tambang. Bos-bos itu lebih sering ngomong untung material.

ATAS NAMA SERIBU TOPAN BADAI, BEDEBAH!!!