Sunday, November 23, 2008

Fire Works + House MD = Addictive

There are two things that steal my awareness. Fire works and House MD. Its two different things. Because the first one is a game that my boyfriend has in his laptop. And the second one, is television serial about ecentric doctor.

Every time I come to my boyfriend's place, the first thing gonna reach my hand was his laptop. I'll stand for hour playing that oriental game. In this game you have to connect the fire to the rocket. The thing that will angered you is, the fuse. You have to arrange it so your fire works will burn up faster.

I've got stress out when hearing the cock-crow. Its mean your time is running out. So you have to fasten your "seat belt" if not the dragon will say, "TIME IS OUT". Until now, I only could reach level 10. In other side, my boyfriend already reach level 15. Of course he can do that, because he has it. So he can practice whenever he want it (denial mode on) :)

And the interesting from House MD television serial, is the other side of meds movie. If you often saw, ER or Operation room as the important scene in the movie. Well is not the same with House MD. The movie is about how a doctor analysis the symptom by discussing it with his team. In this movie you will learn that, sometimes doctor are wrong. That is why they need to observe more from the symptom to cure the illness. And of course the time to observe was limited, by the worst condition, death.

Not just that, you will see how House (Hugh Laurie)can be so arrogant with his internship. But exactly he did that with strong reason to teach them plus saving their patient. Now, every night, before I go to sleep, I have to watch it first.

My addiction level has reach up. Because after playing fire works, my mind can't stop imagining rotate the fuse. The same feeling after watching House MD. I'll imagining what the rare case they have it and guessing how the talented House handle it. And my boyfriend start complaining, because I always put my eyes on his laptop and don't care with every single step he made :)

I don't know how long I'll stay in this condition. I guess I just like it so much and is not dangerous anyway. I just have to wait reach the overwhelming memory. This the stage where you got bored for what exciting before. And your brain asking for the new addiction :)

Monday, November 17, 2008

Hidup Adalah Hari Ini

Pada hari ini, 27 tahun yang lalu, seorang perempuan bernama Nurmala Tambunan melahirkan saya, Priska Cesilia Rosida Siagian. Saya dilahirkan di salah satu rumah sakit pemerintah di Cimahi-Bandung, sekitar pukul 10 pagi.

Ibu saya bercerita, hari kelahiran saya tepat sepuluh hari setelah ayah saya diwisuda. Ayah saya, Marison Siagian, cukup lama kuliah di Universitas Parahyangan maka kelahiran saya adalah bonus tambahan buat mereka.

Ada cerita lucu dibalik nama saya yang panjang itu. Kata ayah saya, nama itu diambil dari salah satu mahasiswi Universitas Parahyangan, jurusan arsitektur dan bisa lulus dalam jangka waktu lima tahun. Kata ayah saya lagi, itu adalah waktu yang cepat. Karena ketika itu tidak ada sistem kredit semester. Maka dari itu, banyak diantara mereka yang jadi mahasiswa abadi. Yang penting bayar kuliah dan lulus.

Secara sepintas, ayah saya berharap agar saya mengikuti jejak Si Empunya Nama. Tapi, boro-boro kepikiran ambil jurusan arsitektur, jadi anak IPA aja bukan cita-cita. Yah tapi lumayanlah, saya hanya butuh waktu 4,5 tahun untuk lulus Universitas Padjadjaran. Lebih cepat setengah tahun dari yang punya nama :D

Saat saya di taman kanak-kanak, adik perempuan saya yang bernama Angela Agustina, meninggal dunia. Dia sakit keras ketika itu, karena jatuh dari tempat tidur dan pembantu saya tidak segera cerita ke orang tua saya. Jadi adik saya yang cantiknya memang seperti malaikat itu, akhirnya mengalami gangguan di otaknya.

Dia dirawat lama sekali di rumah sakit ST.Carolus. Saya ingat, dulu rumah sakit itu ada jerapahnya. Maka setiap kali menjengguk yang saya ingat bukan bau rumah sakit, tapi binatang berleher panjang. Pada malam kepergian adik saya, om saya membawa saya ke rumahnya. Rumah kami dekatan, dan saya melihat semua barang-barang adik saya ditaruh ke dalam mobil. Saya bertanya, "Kenapa barang adek, dibawa semua?" Om saya menjawab, "Ade Angela mau pulang." Saya tersenyum bahagia.

Tapi saya tidak dibawa ke rumah, melainkan ke rumah om saya. Saya diberi susu dan langsung tidur. Esok paginya, rumah om saya sepi sekali. Saya kelaparan dan takut untuk pergi sendiri ke rumah saya. Karena biasanya, saya selalu pergi kemanapun dengan abang saya. Entah angin apa, saya memberanikan diri untuk pulang ke rumah.

Dari kejauhan, saya melihat bendera kuning. Saya ngga begitu mengerti apa artinya, yang saya tahu tetangga-tetangga saya hanya mengusap-usap kepala saya. Sampai di rumah, saya melihat ibu saya meraung-raung begitu sedihnya. Abang saya nagis sesenggukan, begitu juga ayah saya. Saya dekati ibu saya, "Adek kenapa kok tiduran aja?" Mama saya malah menangis sambil peluk saya.

Saya belum mengerti kematian ketika itu. Yang saya tahu, ibu saya sangat bersedih bahkan sampai tidak makan berhari-hari. Konsep kematian ketika itu adalah pergi ke surga. Surga itu tempat yang cantik, makanya kata ibu saya, adik saya harus memakai pakaian terbaiknya agar terlihat cantik di sana.

Beranjak ke kelas tiga Sekolah Dasar, saya sempat merasa bosan menjalani hari-hari saya. Saya ingin mengintip apa yang tengah dilakukan abang saya, ketika saya sedang melakukan aktivitas saya. Saat itu saya bertanya, kenapa sih saya tidak bisa berada di dua tempat?

Saya belum kenal konsep ruang dan waktu ketika itu. Saya belum paham kalau setiap individu hanya mampu merasakan dan menjalani, apa yang sedang dihadapinya saat itu. Kita tidak bisa "mengintip" keberadaan orang lain.

Ruang, waktu, dan kematian, pada akhirnya saya sedikit punya konsep akan hal itu. Pengalaman hidup yang mempertemukan saya dengan definisi-definisi dari kata yang awalnya saya tangkap sebagai momen tertentu dan rasa penasaran. Kini dalam perjalanan yang membuat usia hidup saya semakin bertambah, rasa penasaran saya tidak pernah berhenti. Saya menemukan istilah baru dalam momen baru.

Kekecewaan, dihianati, jatuh cinta, ditolak, belajar, lulus, berkelahi, berdamai, hingga berserah diri, adalah hal-hal lain yang saya alami. Saya bisa terpuruk dan marah sejadinya pada Sang Pengatur momen. Tapi saya juga tidak dilarang untuk menangis dan tertawa, bersama Sang Pemberi Makna.

Saya pernah keluar dari persekutuan, karena saya merasa Sang Penyelamat yang saya kenal tidak sekaku itu. Tapi saya juga pernah menangis dalam doa dan lantunan lagu, karena saya diberi kepercayaan untuk sebebas apapun kepada Sang Sumber Rasa.

Setiap hari yang saya jalani, rasanya tidak ada yang tidak berharga. Ya amarah atau sukacita, setidaknya itu cerita yang terjadi. Dipandang sebelah mata dan diapresiasi, bisa terjadi dalam waktu yang bersamaan. Dan buat saya itu kenikmatan yang harus saya pilih. Karena tanpa itu semua, hidup saya akan flat.

Saya hanya akan menjadi karakter yang mengisi 9.855 hari saya dengan rutinitas. Saya tidak mau seperti itu, karena setiap 24 jam yang saya lalui adalah priviledge saya untuk menjadi ada. Karena itu, saya tidak mau sekedar biasa menghadapi pertambahan umur saya. Sudah menjadi tradisi bagi saya untuk berkontemplasi menjelang hari jadi saya.

Meskipun sudah setua ini, senang rasanya saya masih punya waktu merenungkan semuanya. Dan untuk angka 27, saya memilih dengan membuat rangkaian tulisan mengenai hidup. Semuanya berdasarkan pengalaman saya yang ditambah pengalaman dari perempuan hebat Suciwati. Sebagai pamungkas adalah tulisan ini.

Bahwa hidup adalah hari ini. Karena di hari inilah saya, mengawali semuanya. Saya hidup didunia dan coba menjalani semuanya sebaik mungkin. Bukan kesempurnaan yang saya kejar tapi kenikmatan. Karena hidup hari ini, terlalu berat untuk hanya diukur dalam kesempurnaan. Hidup adalah hari ini, karena semua yang terjadi adalah kepercayaan untuk menikmatinya. Buat apa terlalu pusing memikirkan bagaimana hidup akan berakhir. Jadi, mari nikmati hari ini karena hidup hari ini, terlalu berharga untuk dianggap sekedar rutinitas.

Sunday, November 16, 2008

Hidup adalah Realitas Mimpi

Selepas lulus dari Jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi-Universitas Padjadjaran, saya sempat menganggur hampir setahun. Dan disela-sela menunggu wawancara kerja, saya mengirimkan artikel ke Harian Seputar Indonesia (Sindo).

Kebetulan Susi, sahabat saya, mengasuh rubrik untuk remaja (Saya lupa nama rubriknya). Rubrik ini berisi tentang pengalaman, ide atau pemikiran yang dapat memotivasi remaja untuk lebih baik. Salah satu tema tulisan saya adalah menggapai legenda pribadi. Termotivasi oleh tulisan Paolo Coelho di Sang Alkemis, saya ingin para remaja punya semangat untuk memiliki dan merealisasi legenda pribadinya.

Saya juga mengutip semangat Bob Dylan mengenai konsep Hero, dalam tulisan saya yang berjudul Menjadi Hero ala Bob Dylan. Bahwa setiap orang punya kemampuan untuk menjadi pahlawan, "We could be hero just for one day."

Mengapa tema ini yang saya pilih? Karena saya percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin dalam hidup. Legenda pribadi dan menjadi pahlawan adalah hal-hal yang bisa kita realisasikan.

Kisah nyatanya adalah ketika saya akhirnya memutuskan bekerja di Hongkong and Shanghai Bank Corporation (HSBC) as clerical analysis bankcruptcy account. Saat itu saya pikir, daripada saya nganggur lama-lama. Tapi saya tidak pernah mengubur mimpi saya untuk bekerja di media sebagai awalan menjadi penulis. Bahkan saya masih kirim dua tulisan lagi ke Sindo untuk menambah kepuasan diri saya.

Ada pengalaman menarik dari kirim tulisan ini, salah satu siswa SMA di Yogya memberikan apresiasi terhadap tulisan saya. Dia mengirimkan email kepada saya dan bercerita bahwa tulisan-tulisan saya selalu dinantinya. Itulah kali pertama saya bisa mendeskripsikan bahwa kepuasan diri itu luar biasa wujudnya.

Delapan bulan saya di HSBC, saya pindah ke Harian Jurnal Nasional. Koran yang secara de jure adalah milik bos negeri ini. Koran kepentingan, beberapa teman saya mengolok saya demikian. Tapi saya beragumentasi bahwa, ini hanya cara saya keluar dari HSBC. Karena saya kurang berani untuk keluar dari HSBC dan menganggur. Pengalaman menganggur hampir setahun cukup banyak memberikan rasa ngga enaknya minta uang sama orang tua dan abang saya.

Meskipun saya, sampai sekarang masih merasakan "gejolak" bekerja di tempat ini, tapi saya rasa ini salah satu realitas mimpi saya. Bekerja sebagai wartawan agar dapat terus mengasah diri sebagai penulis. Lagipula, tempat yang sarat kepentingan ini punya begitu banyak guru yang mengajarkan saya bagaimana untuk mengalir dalam menulis.

Banyak yang sudah saya tulis, dan lumayan banyak yang mewakili cita-cita saya dulu. Isu perempuan yang diselipkan dalam tema kesehatan. Profil tokoh-tokoh yang saya kagumi. Tulisan kebudayaan yang sedikit banyak terinfluensi dari buku-buku "gila" saya sewaktu kuliah. Dulunya semua hanya ide, tapi kemudian saya menariknya dalam dunia nyata. Selalu ada medium untuk itu, saya menyakininya.

Dulu bersama Tetty, sahabat yang lahirnya cuman beda seminggu ini, kita pernah bercita-cita untuk ke luar negeri. Duduk di depan perapian, menikmati secangkir coklat panas sambil melihat salju turun. Dua puluh persen dari cita-cita itu terwujud. Ketika kemarin saya ke Jerman, Tetty bilang saya turut mewakili dia untuk membuka jalan bagi realitas cita-cita kita. Yang kita butuh lakukan selanjutnya adalah, pergi ke luar negeri berdua, perapian, salju, dan coklat panas. Sepertinya hanya menunggu waktu, karena 80 persen dibagi dua, bukan hal yang sulit :D

Sebenarnya, saya tidak pernah betul-betul bikin list cita-cita. Saya hanya menyimpannya dalam hati dan kepala saya. Hati, karena disitulah niat bersemayam. Kepala, karena disanalah strategi diluncurkan. Bahkan seringnya, saya teringat bahwa mimpi itu pernah ada ketika telah menjadi realitas.

Ntahlah, mungkin karena saya termasuk orang yang ngga ngoyo. Saya berusaha dan bernegosiasi dengan Sang Empunya Kehidupan. Karena saya percaya, hidup adalah medium untuk membuat segala harapan dan mimpi memiliki wujud nyata. Realitas mimpi adalah pilihan, dan saya memilih untuk menariknya ke dalam wilayah absolut.

Thursday, November 13, 2008

Hidup itu Euforia

Entah kenapa, semalam, tiba-tiba teringat masa-masa SMP dulu. Tepatnya ketika memilih untuk ngefans kepada Nugie. Dengan suara yang berat, gondrong, dan bermain gitar, sepertinya cukup layak untuk saya gandrungi.

Saya beli setiap pria bernama Agustinus Nugraha itu mengeluarkan album baru. Setiap malam saya akan mendengarkan teriakan suara seraknya. Nugie yang juga seorang penyiar radio SK itu, berhasil menyihir saya untuk setia mendengarkan siarannya.

Setiap kali ada majalah yang memuat hasil wawancara dengan Nugie, saya pasti beli. Saya gunting dan kliping. Satu rahasia kecil saja, saya masih menyimpan kliping itu sampai saya kerja :D Rasanya tidak rela untuk membuangnya, hidup memang euforia.

Euforia lain adalah semangat untuk menjalani hidup dengan antusiasme. Kliping Nugie itu contohnya, antusiame menjadi selubung di kepala saya untuk mencari tahu tentang Nugie setiap harinya. Antusiasme mengajarkan saya untuk punya sesuatu yang saya cari dan harus dapatkan setiap harinya.

Dan berbicara mengenai euforia, saya bila sedang menyukai sesuatu saya akan terus mengenakannya. Contohnya baju atau aksesoris, euforia membuat saya akan mengenakannya lumayan sering. Euforia mengajarkan saya untuk nyaman dengan apa yang saya pilih. Saking nyamannya, saya termotivasi untuk membagi rasa itu kepada banyak orang. Dengan mengenakan baju atau aksesoris yang sedang saya gandrungi lebih sering, saya berharap orang lain yang melihatnya bisa merasakan spirit keindahan yang sama.

Euforia memang suatu rasa yang berlebihan dan seringnya dipersepsikan sebagai hal yang tidak masuk akal. Euforia menginduksi setiap orang dengan adrenalin, suatu zat kimiawi yang diproduksi tubuh sebagai respon keluarbiasaan. Adrenalinlah yang kemudian menekan kesadaran kita untuk berpikir masuk akal.

Saya rasa, penting untuk mempersepsikan hidup adalah euforia. Karena kita perlu adrenalin untuk merespon keluarbiasaan misteri kehidupan. Tidak ada diantara kita yang bisa mengetahui apa yang akan terjadi sepersekian detik ke depan, dan perlu adrenalin untuk menghadapinya.

Dengan adrenalin, kita selalu percaya ada yang akan kita dapat dari misteri itu. Maka kita akan selalu tergerak mengumpulkan petunjuk untuk mendapatkan gambaran hidup lebih jelas. Seperti saya mengumpulkan artikel Nugie untuk mendapat gambaran tentang dia.

Dan hidup sudah pasti euforia, karena kadang kita butuh reaksi yang berlebih atas apa yang kita terima dan hadapi. Tanpa semangat ini, psilogis kita jadi kurang matang atas pembelajaran hidup. Maka menurut saya, menjadi kurang masuk akal dalam menyikapi misteri hidup yang setiap detiknya menghadang, kadang kala diperlukan. Karena seringnya kita harus bertindak spontan. Maka perlu asah insting untuk bisa bertindak spontan dengan kematangan psikologis.

Jadi hidup adalah euforia dan semakin lama kita diberi peluang untuk hidup, harusnya sudah cukup lihai untuk menata rasa tersebut. Tapi manusia tidak akan pernah berhenti belajar sampai kemudian kehidupan berakhir. Maka sebelum semuanya berhenti, selamat bereforia dan bereforialah dengan bijak karena usia ada adalah konsekuensi kematangan :D

Hidup adalah Perjuangan

Ini adalah catatan pribadi dari seorang perempuan hebat, Suciwati, isteri dari Pejuang HAM Munir. Atas izin Mba Suci, saya mempostingnya dalam blog saya untuk menularkan semangat perjuangan hidup melawan penghilangan hidup manusia.

"MUNIR, CAHAYA YANG TIDAK PERNAH PADAM": Oleh: Suciwati

“Kenapa Abah dibunuh, Bu?” Mulut mungil itu tiba-tiba bersuara bak godam menghantam ulu hatiku. Gadis kecilku, Diva Suukyi, saat itu masih 2 tahun, menatap penuh harap. Menuntut penjelasan.

Suaraku mendadak menghilang. Airmataku jatuh. Sungguh, seandainya boleh memilih, aku akan pergi jauh. Tak kuasa aku menatap mata tanpa dosa yang menuntut jawaban itu. Terlalu dini, sayang. Belum saatnya kau mengetahui kekejian di balik meninggalnya ayahmu, suamiku, Munir.

Seolah tahu lidah ibunya kelu, Diva memelukku. Tangan kecilnya melingkari tubuhku. ”Ibu jangan menangis…Jangan sedih,” kata-kata itu terus mengiang di telingaku.

Pada 7 September 2004, sejarah kelam itu tertoreh. Munir, suami dan ayah dua anakku –Alif Allende (10) dan Diva Suukyi (6)—meninggal. Siang itu, pukul 2. Usman Hamid dari KontraS menelepon ke rumah. “Mbak Suci ada di mana?” Firasatku langsung berkata ada yang tidak beres. Pasti ada hal yang begitu besar terjadi sampai Usman begitu bingung. Jelas dia menelepon ke rumah, kok masih bertanya aku di mana.

Benar saja. Tergagap Usman bertanya, “Mbak, apa sudah mendengar kabar bahwa Cak Munir sudah meninggal?” Tertegun aku mendengarnya. Seolah aku berada di awang-awang dan kemudian langsung dibanting ke tanah dengan keras. Kehidupan seolah berhenti. Seseorang yang menjadi bagian jiwaku, nyawaku, telah tiada. Kegelapan itu mencengkeram dan menghujamku dalam duka yang tak terperi.


Nyatakah ini? Air mata membanjir. Tubuhku limbung. Perlu beberapa saat bagiku untuk mengumpulkan tenaga dan akal sehat. Aku harus segera mencari informasi tentang Munir. Ya Tuhan, apa yang terjadi pada dia?

Begitu kesadaranku hadir, segera kutelepon berbagai lembaga seperti Imparsial dan kantor Garuda di Jakarta dan di Schipol (Belanda). Begitu pula teman-teman Munir di Belanda. Aku segera mencari kabar lebih lanjut dari kawan-kawan aktivis. Tak ada yang bisa memberikan keterangan memuaskan.

Orang-orang mulai berdatangan untuk menyampaikan bela sungkawa. Aku masih sibuk mencari informasi kesana-kemari. Sebagian diriku masih ngeyel, berharap berita itu bohong semata. Aku hanya akan percaya jika melihat langsung jenazah almarhum.

Pada tragedi ini, pihak Garuda amat tidak bertanggungjawab. Tiga kali aku menelepon kantor mereka di Jakarta, tapi tak satu pun keterangan didapat. Mereka bahkan bilang tidak tahu-menahu soal kabar kematian Munir. Sungguh menyakitkan, pihak maskapai penerbangan Garuda harusnya yang paling bertanggungjawab tidak sekali pun menghubungiku untuk memberi informasi. Padahal, Munir meninggal di pesawat Garuda 974.

Kantor Garuda di Schipol pun sama saja. Pada telepon ketiga, dengan marah aku menyatakan berhak mendapat kabar yang jelas menyangkut suamiku. Barulah informasi itu datang. Yan, nama karyawan Garuda itu, menjelaskan bahwa memang Munir telah meninggal dan dia menyaksikan secara langsung. Yan bahkan berpesan jangan sampai orang mengetahui kalau dia yang memberi kabar itu kepadaku. Ah, apa pula ini? Tuhan, beri aku kekuatan-Mu.

Aku hanya bisa menangis. Si sulung Alif, saat itu baru 6 tahun, melihatku dengan sedih dan ikut menangis. Diva terus bertanya dalam ketidak mengertiannya, “Kenapa Ibu menangis?” Aku merasa seolah jauh dari dunia nyata. Kosong.

Jiwaku hampa. Saat itu, dengan kedangkalanku sebagai manusia, sejuta pertanyaan dan gugatan terlontar kepada Tuhan. “Kenapa bukan aku saja yang Engkau panggil, Ya Allah? Mengapa harus dia? Mengapa dengan cara seperti ini? Mengapa harus saat ini? Mengapa? Ya Allah, Kau boleh ambil nyawaku,hamba siap menggantikannya. Dia masih sangat kami butuhkan, negara ini butuh dia.”

Rumah tiba-tiba dibanjiri manusia. Teman, kerabat, tetangga berdatangan. Bunga berjajar dari ujung jalan sampai ujung satunya. Alif bertanya, “Kenapa bunga itu tulisannya turut berduka cita untuk Abah?” Anakku, aku peluk dia, kukatakan bahwa Abah tidak akan pernah kembali lagi dari Belanda. Abah telah meninggal dan kita tidak akan pernah bertemu lagi dengannya.

Alif menangis dan protes, “Bukannya Abah hanya sekolah? Bukannya Abah akan pulang Desember? Kenapa kita tidak akan ketemu lagi?” Amel, guru yang selama ini melakukan terapi untuk Alif yang cenderung hiperaktif, segera menggendong dan membawa Alif keluar. Maafkan, Nak. Aku tak berdaya bahkan untuk sekedar menjawab pertanyaanmu. Aku tidak mampu.

Teman-teman dari berbagai lembaga juga datang. Antara lain dari Kontras, Imparsial, Infid, HRWG, dan banyak lagi yang tak mungkin aku mengingatnya satu persatu. Semua tumpah ruah. Puluhan wartawan juga datang, tapi aku tak mau diwawancarai mereka. Biarlah kesedihan ini mutlak jadi milikku. Meskipun aku yakin bahwa keluarga korban yang selama ini didampingi almarhum pasti tidak kalah sedih. Sebagian mereka datang dan histeris menangisi kehilangan Munir.

****

Pada 8 September 2004, aku menjemput jenazah suamiku. Bersama Poengky dan Ucok dari Imparsial, Usman dari KontraS, dan Rasyid kakak Munir, aku berangkat ke Belanda. Ya Tuhan, beri aku kekuatan-Mu, begitu doaku sepanjang perjalanan.

Di ruang Mortuarium Schipol, jasad Munir terbujur kaku. Kami tiada tahan untuk tidak histeris. Usman melantunkan doa-doa yang membuat kami tenang kembali.

Sejenak aku ingin hanya berdua dengan suami tercintaku. Aku meminta teman-teman keluar dari ruangan. Aku pandangi Munir dalam derai air mata. Tak tahu lagi apa yang kurasakan saat itu. Sedih, hampa, kosong.

Lalu, kupegang tangannya. Kupandangi dia. Teringat saat-saat indah ketika kami bersama. Tiba-tiba ada rasa lain yang membuat aku menerima kenyataan ini. Aku harus merelakan kepergiannya. Doa-doa kupanjatkan. Ya Allah, berilah suamiku tempat terhomat disisi-Mu. Amien.

Di Batu, 12 September 2004, kota kelahirannya, Munir disemayamkan. Pelayat seolah tiada habisnya datang. Handai taulan, sahabat, teman-teman buruh, petani, mahasiswa, aktivis, wartawan semua ada. Banyak yang tidak tidur menunggu esok hari, saat pemakaman Munir. Umik, ibu Munir, begitu sedih. Aku bahkan tak sanggup melihat kesedihan yang membayang di wajahnya.

Hari itu, masjid terbesar di Batu, tempat Munir disholati, tidak sanggup menampung semua yang hadir. Perlu antre bergantian untuk sholat jenazah. Kota Batu yang selama ini sepi mendadak dipadati manusia. Melimpahnya “tamu” Munir ini bagai suntikan semangat bagiku. Bahwa ternyata bukan aku dan keluarga saja yang merasakan kedukaan ini. Dukungan yang mereka berikan membuatku kuat.

Seperti menanam sesuatu maka kamu akan memanennya,itulah yang aku buktikan hari ini. Aku melihat yang dilakukan Munir selama ini membuktikan apa yang dia perbuat. Munir selalu mencoba berjuang bagi tegaknya keadilan dan perdamaian. Dia berteriak lantang menyuarakan keadilan bagi korban, baik di Aceh,Papua,Ambon dan dimana saja. Keberanian dan sikap kritisnya terhadap penguasa memang harus dibayar mahal oleh nyawanya sendiri dan juga oleh keluarga yang ditinggalkannya ‘anak dan istrinya’.

Tak mudah bagiku mencerna kehilangan ini. Perlu proses untuk menerima, mengikhlaskan kepergian Munir, dan menerima bahwa ini adalah kehendakNya. Jika Tuhan sudah berkehendak, maka siapa pun dan dengan cara apa pun tidak akan mampu mengelak. Keyakinan bahwa hidup-mati manusia adalah kehendak-Nya itu membuat aku bangkit lagi.

Munir adalah manusia, sama sepertiku dan yang lainnya, yang bisa mati. Kemarin, sekarang atau besok, itu hanya persoalan waktu. Sakit, diracun, atau ditembak itu hanya persoalan cara. Kematian adalah keniscayaan. Suka atau tidak suka, kita tetap harus menghadapinya. Dan kehidupan tidak berhenti. Air mata kepedihan tidak akan pernah mengembalikannya.

Sepenggal doa Sayyidina Ali, sahabat Nabi Muhammad SAW, membuatku bertambah yakin bahwa aku harus bangkit:

“Ketika kumohon kekuatan, Allah memberiku kesulitan agar aku menjadi kuat. Ketika kumohon kebijaksanaan, Allh memberiku masalah untuk kupecahkan. Ketika kumohon kesejahteraan, Allah memberikan aku akal untuk berpikir. Ketika kumohon keberanian, Allah memberiku kondisi bahaya untuk kuatasi. Ketika kumohon sebuah cinta, Allah memberiku orang-orang bermasalah untuk kutolong. Ketika kumohon bantuan, Allah memberiku kesempatan.
Aku tidak pernah menerima apa yang kupinta, tapi aku menerima segala yang kubutuhkan.”

Kucoba untuk merenung. Kuteguhkan hati bahwa ini bukan sekedar takdir, tapi ada misteri yang menyelubungi. Misteri yang harus diungkap. Aku harus berbuat sesuatu. Bersyukur, aku tidak sendirian dalam kedukaan ini. Banyak teman-teman yang peduli kepada kami sekeluarga.

Dua bulan kemudian, tepatnya 11 November 2004, Rachland dari Imparsial menghubungiku. Dia mengabarkan ada wartawan dari Belanda ingin mewawancarai. Dia juga bertanya, apakah aku sudah mengetahui hasil otopsi yang dilakukan pihak Belanda terhadap almarhum Munir. Hasil otopsi itu kabarnya diserahkan kepada pemerintah Indonesia melalui Departemen Luar Negeri.

Aku berharap teman-teman memiliki jaringan ke Departemen Luar Negeri. Tapi, rupanya tidak. Aku pun menelepon 108 –nomor informasi—untuk meminta nomer telepon kantor Departemen Luar Negeri. Teleponku ditanggapi seperti ping-pong. Dioper sana-sini. Sampai akhirnya aku berbicara via telepon dengan Pak Arizal. Dia menjelaskan bahwa semua dokumen otopsi telah diserahkan kepada Kepala Polri, dengan koordinasi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.

Entah, keberanian dari mana yang menyusup dalam diriku pada waktu itu. Aku tanpa ragu menghubungi dan berbicara dengan mereka, semua pejabat itu. Kebetulan, semua nomor telepon pejabat-pejabat penting itu terekam dalam telepon genggam suamiku.

Kepada para petinggi itu, aku bertanya, “Kenapa aku sebagai orang terdekat almarhum tidak diberitahu tentang otopsi? Apa yang terjadi padanya? Apa hasilnya?” Mereka tidak memberikan jawaban. Padahal, sebagai istri korban, aku memiliki hak yang tak bisa diabaikan begitu saja.

Pukul 10.00 malam, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Pak Widodo AS meneleponku. Menurut dia, hasil otopsi telah diserahkan kepada Kepala Bagian Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Pak Suyitno Landung, Markas Besar Polri. Malam itu juga aku menelepon Kabareskrim. Aku meminta bertemu dengan dia esok paginya.

Bersama Al Ar’af dari Imparsial,dan Usman Hamid dari KontraS,Binny Buchori dari Infid,Smita dari Cetro dan beberapa kawan, esok paginya tanggal 12 November 2004 aku mendatangi kantor Kabareskrim. Pagi itu aku menghadapi kenyataan yang menyakitkan. Benarlah dugaanku bahwa ada yang aneh pada kematian Munir. Hasil otopsi itu menjelaskan dengan gamblang bahwa kematian almarhum adalah lantaran racun arsenik. Racun itu ditemukan di lambung, urine, dan darahnya.
Ternyata dia memang dibunuh...!

Keluar dari Mabes Polri, kami sudah diserbu wartawan. Siaran pers pun digelar bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di kantor KontraS. Isinya, mendesak pemerintah untuk segera melakukan investigasi, menyerahkan hasil otopsi kepada keluarga, dan membentuk tim penyelidikan independen yang melibatkan kalangan masyarakat sipil. Desakan serupa dikeluarkan oleh tokoh-tokoh masyarakat di berbagai daerah. Desakan yang ditanggapi dengan janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengusut kasus pembunuhan Munir.

Tak lama pula kami membentuk KASUM (Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir). Banyak organisasi dan individu yang punya komitmen akan pengungkapan kasus ini bergabung. Ini memang bukan hanya persoalan kematian seorang Munir. Lebih dari itu, ini persoalan kemanusiaan yang dihinakan dan kita tidak mau ada orang yang diperlakukan sama seperti dia hanya karena perbedaan pikiran.

Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun sepakat untuk meminta pemerintah membentuk tim independen kasus Munir. DPR juga mendesak pemerintah segera menyerahkan hasil autopsi kepada keluarga almarhum. Pada November 2004, DPR membentuk tim pencari fakta untuk mengusut kasus pembunuhan Munir.

Pada 24 November 2004, Presiden Yudhoyono bertemu denganku. Teman-teman dari Kontras, Imparsial, Demos menemaniku bertemu Presiden. Satu bulan kemudian tepatnya tanggal 23 Desember 2004 Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden untuk pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) Munir yang dipimpin oleh Brigjen pol. Marsudi Hanafi.

Tim ini, di luar dugaan, bekerja efektif menemukan kepingan-kepingan puzzle siapa dibalik pembunuhan Munir. Fakta-fakta temuan tim ini cukup mencengangkan. Fakta yang menunjukkan benang merah pembunuhan keji penuh konspirasi dan penyalahgunaan kekuasaan serta kewenangan di Badan Intelejen Nasional (BIN). Sayangnya TPF tidak diperpanjang lagi setelah dua kali(6 bulan)masa kerjanya.

Adalah Pollycarpus, pilot Garuda, benang merah yang mengurai jaring laba-laba kebekuan dan kerahasiaan yang melingkupi BIN. Polly, sebuah nama yang sangat melekat dibenakku. Sangat dalam maknanya dalam perjalanan menguak kebenaran siapa dibalik kematian Munir, suamiku.

Dia adalah orang yang menelepon suamiku dua hari sebelum berangkat ke Belanda. Polly menanyakan jadwal keberangkatan suamiku dan dia mau mengajak berangkat bersama. Kebetulan waktu itu aku yang menerima telepon itu. Jika tidak, barangkali aku tidak akan pernah tahu keberadaan Polly. Munir mengatakan Polly adalah orang aneh dan sok akrab. “Dia itu orang tidak dikenal tapi tiba-tiba menitipkan surat untuk diposkan di bandara setempat ketika aku hendak ke Swiss,” begitu kata Munir

Terungkap dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sang pilot tidak hanya menerbangkan pesawat. Dia adalah orang yang mempunyai hubungan dengan agen BIN seperti halnya Mayor Jenderal TNI Muchdi PR, Deputi V BIN. Polly disebut sebagai agen non organik BIN yang langsung berada di bawah kendali Muchdi. Berkas dakwaan tersebut juga menyebut adanya pembunuhan berencana terhadap Munir.

Tercatat pula dalam berkas dakwaan untuk Muchdi PR, keduanya –Polly dan Muchdi—berhubungan intensif melalui telepon. Paling tidak 41 kali hubungan telepon antara Muchdi dan Polly yang terjadi menjelang, saat dan sesudah tanggal kematian Munir. Bisa diduga, keduanya berhubungan terkait dengan perencanaan, eksekusi, dan pembersihan jejak.

Kami, aku dan teman-teman KASUM, juga melakukan investigasi. Kami berusaha memetakan jejak sang pilot. Melalui berbagai penelusuran, terungkap bahwa Pollycarpus memiliki hubungan dengan para pejabat BIN. Sosok satu ini diketahui berada di berbagai daerah titik panas seperti Papua, Timor Leste, dan Aceh. Sebuah fakta yang tidak biasa dalam dunia profesi pilot.

Polly sendiri, dalam persidangan, mengaku bahwa dia pernah tinggal cukup lama di Papua. Katanya, dia bertugas sebagai pilot misionaris sebelum bekerja di Garuda. Mungkin kebetulan, mungkin juga tidak, keberadaan Polly di Papua ternyata bersamaan dengan Muchdi PR yang waktu itu menjadi Komandan KODIM 1701 Jayapura pada tahun 1988-1993. Lalu, Muchdi menjadi Kasrem Biak 173/ 1993-1995. Melihat rekam jejak ini, patut diduga, pada periode itulah perkenalan pertama sang pilot dengan sang jenderal.

Indra Setiawan, saat itu menjabat Direktur Utama Garuda, mengakui mengingat nama Pollycarpus karena khas dan unik. Pada 22 November 2004, ketika kami meminta keterangan kepada Indra,

Aku: Apakah ada yang namanya Polly di Garuda?
Indra menjawab dengan cepat: Oh ya. Ada. Namanya Pollycarpus.
Aku : Bapak kok hafal padahal karyawan bapak lebih dari 7000 ?
Indra : Ya, soalnya namanya khas dan unik. Kalau namanya Slamet, saya pasti lupa.

Belakangan, dalam persidangan, baik sebagai saksi atau pun ketika ditetapkan sebagai terdakwa pada tahun 2007, terungkap bahwa Indra mengingat Polly karena alasan khusus. Alasan yang berkaitan dengan BIN. Polly merangkap pilot dan bagian pengamanan penerbangan (aviation security) atas permintaan BIN. Sebuah alasan yang masuk akal. Jika BIN yang meminta, kendati tidak benar secara prosedur, maka pihak Garuda tidak bisa menolak.

BIN mengeluarkan permintaan tersebut dalam surat yang ditandatangani Wakil Kepala BIN As’ad Said Ali. Pada saat itu Kepala BIN dijabat oleh Hendropriyono –sosok yang selama ini sangat dekat dengan berbagai kasus yang diadvokasi almarhum.

Surat yang diteken As’ad patut diduga menjadi petunjuk bahwa rencana pembunuhan Munir melibatkan para petinggi BIN, bukan hanya Muchdi , tapi juga Hendropriyono. Apalagi, sesuai pengakuan agen BIN Ucok alias Empi alias Raden Patma dalam persidangan Peninjauan Kembali, Deputi II Manunggal Maladi dan IV Johannes Wahyu Saronto BIN juga diduga terlibat.

Serangkaian persidangan kasus pembunuhan Munir begitu melelahkan. Tak hanya secara fisik tetapi juga secara mental. Betapa tidak, pada tingkat Mahkamah Agung, Pollycarpus hanya dihukum dua tahun. Polly hanya dinyatakan bersalah melakukan pemalsuan surat, bukan pembunuhan. Semua ini tentu merupakan pukulan sendiri buatku.

Jantungku sakit sekali ketika aku mendengar putusan untuk Polly. Aku merasa kehilangan untuk yang kedua kalinya, kehilangan Munir dan kehilangan keadilan itu sendiri.

Bagaimana mungkin fakta-fakta yang begitu mencolok diabaikan begitu saja oleh hakim-hakim itu? Bagaimana mungkin keadilan hukum bisa kuraih jika dipenuhi oleh manusia tanpa hati nurani?

Dua dari tiga hakim yang membebaskan Pollycarpus dari dakwaan pembunuhan itu memiliki latar belakang sebagai tentara. Keduanya adalah purnawirawan TNI dengan pangkat terakhir mayor jenderal. Tak heran, beberapa pihak menduga, ada semangat korps dalam menangani kasus ini yang menguntungkan Pollycarpus.

Kesedihan sama sekali tidak membuatku surut. Aku yakin pasti masih banyak aparat penegak hukum mempunyai hati nurani. Masih banyak yang peduli pada keadilan dan kebenaran. Ini terbukti dalam putusan pengadilan kasasi pada tanggal 25 Januari 2008 Polycarpus dijatuhi hukuman penjara selama 20 tahun atas dakwaan pembunuhan berencana dan pemalsuan surat tugas.

Selesai? Belum. Misteri pembunuhan Munir masih jauh dari terungkap. Terungkap dari persidangan, juga keputusan pemidanaan Polly, ada mesin intelejen yang bekerja dengan jahat menghabisi nyawa Munir. Ini jauh lebih penting ketimbang sekadar menghukum Polly. Dia hanya pelaku lapangan, bukan orang yang secara sistematis menggunakan kekuasaan dan kewenangan dalam melakukan pembunuhan ini.

Tragisnya, sampai hari ini proses meraih kebenaran dan keadilan siapa di balik pembunuhan Munir masih terseok-seok. Tabir misteri belum tersingkap.

Benar, ada perkembangan baru dengan ditangkapnya Muchdi Purwopranjono 19 Juni 2008. Jenderal bintang dua ini diduga kuat berada di balik pembunuhan Cak Munir. Saat ini proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sedang berlangsung untuk membuktikan dugaan tersebut.

Yah, aku berharap persidangan ini berlangsung adil. Kejahatan para pelaku pelanggar HAM selayaknya dibawa ke pengadilan. Namun, kecemasan selalu hadir. Adakah keadilan akan berpihak kepadaku?

Aku berharap masih ada jaksa dan hakim handal yang mengedepankan hati nurani ada di pengadilan ini. Tentu saja aku juga berharap pelaku sesungguhnya juga segera ditangkap, siapa pun dia.

*****

Perjalanan meraih keadilan begitu berliku. Satu hal yang paling aku syukuri adalah begitu banyak sahabat yang mendukung perjuangan pencarian keadilan ini. Teman-teman di KASUM dan tak sedikit sahabat yang secara pribadi memberiku kekuatan untuk terus berjuang.

Tak jarang teror hadir. Ada ancaman datang dari mereka yang ingin memadamkan pencarian keadilan ini. Bahkan statusku sebagai ibu juga menjadi bagian empuk untuk diserang oleh mereka. Syukurlah, di saat-saat begini, sahabat-sahabatku setia mendampingi dan menguatkanku.

Desakan penuntasan kasus Munir dari dalam negeri cukup kuat. Pada 7 Desember 2006, Tim Munir DPR RI mengeluarkan rekomendasi agar Presiden membentuk Tim Pencari Fakta yang baru. Berbagai kelompok masyarakat sipil pun terus mempertanyakan kasus Munir. Mereka datang dari berbagai kalangan, antara lain LSM, akademisi, petani, buruh, seniman,wartawan dan berbagai profesi lainnya.

Tak hanya dari dalam negeri, dukungan juga datang dari segala penjuru dunia. Pada 9 November 2005, misalnya, 68 anggota Kongres Amerika Serikat mengirimkan surat kepada Presiden Yudhoyono agar segera mempublikasikan laporan TPF. Anggota Kongres AS tersebut mempertanyakan keseriusan pemerintah Indonesia dalam menuntaskan kasus Munir.

Pada September 2006, saat KTT ke-6 ASEM (The Asia-Europe Meeting) di Helsinki, Finlandia, kasus Munir menjadi salah satu sorotan peserta. Presiden Komisi Eropa Jose Manuel Barroso, peserta penting dalam konferensi tersebut, mempertanyakan kelanjutan pengusutan kasus Munir langsung kepada Presiden Yudhoyono.

Philip Alston, UN Special Rapporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions, juga telah menyatakan kesediaannya untuk ikut membantu pemerintah Indonesia dalam mengusut kasus Munir. Pelapor khusus, yakni Hina Jilani (Human Rights Defender) dan Leandro Despouy (Kemandirian Hakim dan Pengacara), juga telah menyatakan keprihatinan akan kasus Munir di hadapan Dewan Hak Asasi Manusia Persatuan Bangsa-Bangsa.

Pada 26 Februari 2008, Deklarasi Parlemen Uni Eropa meminta pemerintah Indonesia serius dalam menuntaskan kasus Munir. Bahkan, 412 anggota parlemen yang menandatangani deklarasi ini meminta Uni Eropa memonitor kasus ini sampai tuntas.

Mengalirnya dukungan tersebut mestinya membuat pemerintah tidak usah ragu. Siapa pun di balik kekejian ini harus diungkap, tak peduli jika penjahatnya itu adalah orang kuat. Dukungan bagi pemerintah telah mengalir, secara hukum dan politik. Tinggal perintah dari sang presiden untuk memastikan kepolisian tetap bekerja mengusut kasus ini sampai terungkapnya sang aktor utama. Presiden juga hanya perlu memerintahkan Jaksa Agung untuk bekerja profesional. Hanya itu....

Presiden Yudhoyono pernah menyatakan bahwa pengusutan kasus pembunuhan Munir adalah ujian bagi sejarah bangsa. “Test of our history,” kata Pak Presiden. Jadi, aku,rakyat Indonesia dan komunitas internasional menunggu bukti perkataan itu. Aku menunggu pengusutan misteri ini sampai pada aktor utamanya, bukan hanya aktor pinggiran saja. Negara harus bertanggung jawab atas semua pelanggaran HAM yang telah terjadi.

****

Bagiku, Munir adalah cahaya yang tidak pernah padam. Kesan ini semakin mendalam terasa setelah kepergiannya. Munir beserta semangatnya telah memecahkan ketakutan yang mencekam, menciptakan budaya demokrasi, memberi harapan penegakan HAM. Semua yang Munir lakukan menjadi inspirasi bagiku dan teman-teman penggerak demokrasi di negeri ini. Niscaya, semangat itu diteruskan oleh para pencinta keadilan dan kebenaran dengan tanpa henti.

Ya Allah, aku bukan Sayidina Ali yang Kau beri kemuliaan. Aku hanya manusia biasa dan aku memohon kepadaMu sebab aku meyakiniMu. Berilah kemudahan bagi kami untuk mengungkap pembunuhan ini. Beri kami kekuatan untuk menjadikan kebenaran sebagai kebenaran sesuai perintahMu. Menjadikan keadilan sebagai tujuanku seperti tujuan menurutMu.

Ya Allah, aku tidak menjadi manusia yang lebih dari yang lain dengan berbagai ujian yang Kau berikan, seperti Kau muliakan Nabi Muhammad dengan berbagai ujianMu. Aku hanya minta menjadi manusia biasa dan dapat mengungkap kasus ini. Amin.

Bekasi, September 2008

Menurut rencana, Suciwati dan beberapa keluarga dari penghilangan orang yang dilakukan oknum pemerintah akan menerbitkan buku berisi suara hati mereka. Dan tulisan ini adalah salah satunya.

Tuesday, November 11, 2008

Hidup Tidak Pernah Simetris

Pacar saya yang filosifis itu selalu bilang kalau hidup tidak pernah simetris. Terutama ketika dia sedang down dan pusing dengan semua realitas yang ada. Awalnya saya tidak setuju, karena saya punya semangat optimis segudang lebih. Buat saya, hidup itu usaha yang diselubungi kepercayaan diri untuk membuat semuanya jadi positif. Jadi persetan dengan kegagalan atau ketidaksempurnaan, selama ada usaha ya itu pergerakan namanya.

Tapi seminggu kemarin, saya mengalami rangkaian peristiwa yang menggelikan untuk dibilang simetris. Mulai dari majalah yang merasa keberatan untuk dikritik dan kemudian membalas kritikan dengan tidak mencari titik temu sama sekali. Ya dia tidak mau, kita juga tidak mau. Padahal apa yang dikritik adalah hal rasional yang diungkapkan hampir seluruh narasumber ketika melihat majalah.

Perjuangan teman-teman selama ini untuk lebih menjadikan profesionalisme sebagai image majalah, dimentahkan hanya karena pertimbangan personal. "Kita masih bisa dapat berita dari tempat lain. Tenang saja." Kutipan itu berasal dari orang yang tidak pernah turun ke lapangan. Kita melontarkan pertanyaan dan pemikiran, tapi tetap pemberi kutipan mengatasnamakan keputusan perusahaan. Perjuangan yang tidak simetris.

Hal lain yang terjadi adalah saya dihianati oleh sahabat saya sendiri. Dia merancang semuanya dengan rapi, walaupun saya diawal-awal saya sudah mengendusnya. Tapi saya dengan bantuan teman yang lain, menepis aroma negatif itu. Sampai akhirnya saya menemukan bukti-bukti dan menghadapkan kepadanya.

"Apa penjelasan lo?" pertanyaan itu dijawab dengan sikap yang defensif. Bahkan cenderung mengalihkan masalah dan membuat saya seolah baru menetas di dunia. Parahnya, saya malah dimarahi abis-abisan dan dia menyatakan kekecewaanya. Padahal kalau mau jujur, segala kebohongannya saya paparkan dengan halus. Tidak dengan melempar ke mukanya tanpa memberi kesempatan bagi dia untuk menjelaskan.

Dia terlalu defensif. Dia terlalu mencari alasan yang dengan mudah saya patahkan. Saya punya bukti dan dia tidak. Ketika ditanya mengenai pembuktiannya, dia kembali membentengi dirinya dengan mengatakan kecewa atas saya. Kalau dia mau jujur, kecewa adalah otonomi saya. Karena dari banyak hal yang saya temukan, semuanya mengecewakan saya. Semua teman saya, sepakat dia melakukan kebohongan tingkat akut.

Ini juga realitas yang tidak simetris. Atas nama persahabatan dan perjuangan bersama, saya percaya dia tidak akan ngadalin saya. Dan atas nama persahabatan, dia membayar saya dengan manipulasi skenario yang terlalu mudah diungkapkan.

Lalu apa artinya selama ini? Apa pertimbangannya melakukan semua itu? Apa pembelaan yang dia punya. "Pokoknya jangan hubungin atau temui gua dulu, gua sakit hati," itu jawaban dari orang yang terbuka kedoknya. Kedok dari penghargaan persahabatan yang asimetris. Saya kecewa dan saya harusnya lebih dari sekedar kecewa, tapi dia mengambil posisi itu untuk membuat saya merasa terpojok. Dia lupa, saya punya alibi dan bukti yang kuat untuk itu.

Maka saya mulai membentuk frame dunia memang tidak simetris dalam kepala saya. Semua yang saya lakukan dibalas dengan kekecewaan dan bahkan balik mencucuk hidung saya. Saya merasa dua orang ini telah melakukan kontaminasi terhadap semangat optimistis dan pikiran positif saya. Saya menangkap bau amis kepentingan dari keduanya. Atas nama uang mereka menjadi tidak malu untuk balik menuduh orang.

Pelan-pelan saya meyakini dunia memang tidak simetris, jadi jangan terlalu menganggap semua positif dan lurus seperti harapan kita. Salah seorang sahabat saya bahkan berkata, "Semua orang berubah Pris. Dan lo tidak bisa berpikir bahwa seseorang yang lo kenal dulu akan selalu dalam sosok yang sama."

"Bahkan pandangan dia mengenai persahabatan akan berubah? Lalu apa artinya selama ini," tanya saya setengah tidak percaya. "Ya iyalah Pris. Orang berubah dan itu merubah semuanya," ucap teman saya coba menyadarkan saya. "Dunia memang tidak simetris," ucap saya pelan. Dan itulah kali pertama saya menambahkan realitas tersebut dalam kamus kehidupan saya.

Sampai sekarang, saya masih mencari cara untuk menghapus cara pernyataan negatif itu. Tapi realitas majalah saya, masih harus diperjuangkan. Sedangkan cerita yang kedua, membutuhkan usaha yang amat panjang. Karena saya sudah kecewa teramat dalam dan saya tidak tahu bagaimana menghadapi teman saya itu.

Seekor kalajengkin, dilahirkan dengan cangkang yang kuat dan berbisa. Dia tidak bisa dilukai terlalu dalam karena yang keluar adalah bisa kekecewaan. Dan butuh penawar yang kuat untuk bisa itu. Karena asimetris dunia memang selalu melahirkan kepahitan. Dan kesiapan kita menetralisir kepahitan itu, butuh kesadaran diri atas arsiran ide simetris dengan realitas asimetris dunia.

Persetan dengan semuanya. Saya bekerja profesional dan ketika itu tidak diapresiasi, maka saya akan mencari yang bisa mengapresiasi. Saya loyal dalam berteman dan ketika itu tidak dihargai, maka saya punya alasan yang bijak untuk membangun kurungan bagi pertemanan itu. Biar dia menjadi eksklusif, karena dunia adalah tempat yang penuh dengan kesendirian. Jadi buat apa untuk selalu bersama?

Friday, November 7, 2008

6 November Yang Kedua

Dua tahun lalu, kami memilih untuk berbagi kasih bersama. Pilihan ini mungkin bagi sebagian teman terbilang nekad, karena saya baru kenal dengannya sekitar dua minggu saja. Pembicaraan yang diawali dengan pertanyaan apakah mungkin Tuhan menciptakan batu yang tidak bisa dilompatinya. Pertanyaan ini saya jawab sekenanya, maklum, saya bukan orang yang terlalu menggambarkan Tuhan sebagai sosok yang kaku. Jadi bisa saja Dia menciptakan batu yang tidak bisa dilompatinya. Walaupun katanya, menurut persepsi banyak orang, Tuhan itu ngga mungkin menciptakan sesuatu yang tidak bermanfaat. Apalagi membuatNya terlihat bodoh.

Lalu saya bertanya padanya, bagaimana mungkin sampai sekarang Syiah dan Sunni masih bersitegang. Dia kemudia bercerita panjang lebar, mulai dari sejarah sampai intrik politik. Dan dia bercerita mengenai mazhab gelap dari sejarah gereja, perang salib. Well there's no differences between it, every religion has their own black history. Satu hari yang singkat namun cukup menciptakan chemistry tersendiri. Kami tertarik satu dengan yang lain, banyak pembicaraan yang membuat kami nyaman untuk bersama.

Selang seminggu, kalau saya tidak salah ingat, dia melontarkan pertanyaan mengenai ice cream. "Ingin merasakan ice cream secara nyata tapi setelah itu tidak akan bisa mengingatnya atau hanya membayangkan nikmatnya ice cream agar sensasinya tetap dapat diingat sepanjang hayat? Yang dua minggu kemudian, dijadikan cara untuk mengajak saya berbagi kasih. Well, pertanyaan ice cream, saya jawab saya ingin menikmatinya secara langsung, perkara setelah itu saya tidak akan punya memori mengenai nikmatnya ice cream adalah hal yang harus dihadapi nanti. Saya berani ambil risiko, ketimbang hanya menghayal bagaimana rasanya ice cream seumur hidup.

Banyak orang bilang, hubungan kita berisiko. Atas nama perbedaan agama, makin lama kami menikmatinya makin banyak orang yang mengingatkan perbedaan tersebut. Mereka bilang, kami hanya menghabiskan waktu. Ada juga yang mengeluarkan pembenaran teologi, "Tidaklah mungkin yang gelap dan terang bersatu." Bahkan kedua keluarga berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan kami pada "jalan yang benar". Mulai dari doa-doa sampai hujan wejangan.

Awalnya, kami merasa lelah karena begitu banyak orang yang kemudian berbicara atas nama Tuhan dan pembenaran sosial. Alhasil kami harus menjelaskan satu per satu, atas perspektif berbagi rasa ketuhanan kami. Tentu tidak diterima, karena kemudian mereka berbicara atas nama anak-anak yang nantinya akan dibingungkan atas status orang tuanya yang beda keyakinan. Jadi, atas nama menyelamatkan "ketenangan sosial" dan "kenyamanan anak", kami diminta untuk benar-benar memikirkan semuanya (baca : mengakhiri hubungan).

Satu yang kami percaya, rasa sayang yang kami punya tidak pernah berhenti. Saya masih merasakan "kejutan listrik" setiap kali dia menjemput saya. Dia masih bilang, "I love you so much," dengan bola mata yang tulus. Saya masih merasakan ada yang aneh ketika kita tidak bersama dan dia merokok. Karena saya tidak suka kalau dia merokok. Bayangkan untuk hal ini saja, saya bisa merasakannya. Dan dia masih sangat panik kalau saya belum kasih kabar, apakah saya sudah sampai dengan selamat di rumah.



Dua tahun kebersamaan, adalah waktu yang jamak. Pertemuan kami terlalu sering, tapi rasa itu tidak memudar. Ini bukan rutinitas, ini sesuatu yang kami lakukan dengan keyakinan. Berbeda sekali rasanya, ini bukan sekedar cerita Galih dan Ratna. Ini keyakinan. Dan ketika kami sampaikan argumentasi ini untuk memberi gambaran kenapa kami masih keras kepala untuk bersama, banyak orang bilang itu hanya bumbu-bumbu asmara.

Entahlah, saya pikir memang tidak ada jawaban matematis untuk sebuah perasaan yang dinikmati dengan ketulusan. Alhasil, kami juga tidak ingin memaksa semua orang mendapat gambaran ini. Karena ini sesuatu yang kami rasakan, orang harus melihatnya dengan jujur bahwa ada keterikatan yang kami bangun hingga semuanya bukan sekedar asmara muda-mudi.

Dan kini, di 6 November Yang Kedua, rasa yang kami punya semakin kuat. Semakin ingin untuk selalu bisa menghabiskan waktu bersama. Semakin percaya bahwa masa depan ada diantara satu dengan lainnya. Dengan ketulusan dan kesederhanaan untuk menciptakan arsiran antara dua manusia, kami hanya berharap serta berusaha tetap bersama.

Perkara jalan yang kami lalui semakin terjal, wejangan semakin kasar, itu adalah sesuatu yang harus dihadapi. Saya tidak ingin menyebutnya sebagai sebuah risiko, karena risiko hanyalah sesuatu hal yang alamiah yang terjadi dalam setiap roda kehidupan. Dan yang perlu dilakukan manusia adalah mempersiapkan diri ketika harus berhadapan dengannya. Semoga apa yang kami rasakan bisa menjadi persiapan yang baik untuk titik risiko yang merupakan penjelmaan kematangan manusia.

Dengan segala kerendahan hati, terima kasih untuk cinta dan kasih sayang yang luar biasa. Dan dengan segala kerendahan hati, selamat menikmati ketulusan saya untuk mencintai serta menyayangi kamu apa adanya. LOVE YOU SO MUCH MY ICE CREAM MAKER :)