Friday, October 29, 2010

Matahari untuk Si Pecandu Pagi


Tulisan ini dibuat untuk seorang teman yang baru saja saya kenal, bahkan saya baru bertemunya sekali. Mmm...saya menulis ini untuk menyemangati Norvan Hardian a.k.a Si Pecandu Pagi karena saya tak punya amunisi lain selain tulisan.

Btw nickname yang bagus. Dari awal Hanida Syafriani cerita tentang Pecandu Pagi, saya langsung tertarik dengan nama aliasnya. Sampai pada gelaran Book Fair Jakarta setahun kemarin, saya menerima ajakan Nida untuk menghadiri launching komiknya yang berjudul Pamali, akhirnya saya tahu dari mana asal muasal sebutan Si Pecandu Pagi.

Saya kagum dengan kecintaan dia pada dunia komik. Dari bangku kuliah sudah mulai membuat komik sendiri dengan menggunakan spidol biasa yang kemudian difoto kopi untuk disebarkan ke teman-teman. Idenya sangat fresh, khas bobodoran anak Bandung dengan imajinasi yang tinggi. Bayangin aja, tokohnya punya 6 lubang hidung. Sampai sekarang saya masih suka tertawa geli membayangkannya.

Saya sampai iri karena tidak berhasil mendapatkan komik perdananya. Sedangkan Nida, dapat komiknya gratis plus ditanda-tangani langsung. Hihihihihihi rada-rada aneh mungkin, tapi saat melihat dia bercerita santai mengenai komik pertamanya, saya yakin karakter unik itulah yang bisa membuat dia sukses suatu hari nanti.

Bayangin aja, sewaktu dia diminta duduk di depan sebagai penulis buku, dia dengan tiba-tiba meminjam otopet yang kebetulan saya dapat dari doorprize liputan. Dan waktu itu sang MC, Boim Lebon bertanya, "Ngapain bawa-bawa otopet?" Pecandu pagi hanya menjawab,"Ya itu biar ditanya." Pastilah semua orang tertawa, termasuk saya.

Lalu saya perhatikan, otopet itu tidak sekadar ditenteng untuk memeriahkan suasana, beberapa kali saya lihat dia memandangi otopet dengan serius. "Duh pengen mainin banget deh gua. Buat gua aja boleh ngga?" Dan saya hanya bisa bilang, "Ini kan otopet buat anak-anak, kekecilan juga kali." "Hmmm...iya juga sih," ucapnya dengan wajah memelas. Padahal kalau saya jadi dia, launching buku pertama akan diisi dengan perasaan deg-degan karena mimpi jadi kenyataan. Yah tipe orang santai memang selalu rileks dalam memandang hidup tapi bukan berarti meremehkan.

Sebab dari analisa kilat yang saya lakukan ketika itu, saya menangkap Pecandu Pagi akan menjaga passionnya mati-matian. Apapun dilakukan demi sesuatu yang membuat dia hidup. Lagi-lagi saya percaya ada yang unik dari pribadi ini. Yah saya memang tidak mengenalinya secara utuh tapi buat saya apa yang saya tahu cukup membuat saya tersenyum.

Sampai beberapa hari lalu, Nida cerita kalau ada tumor di pankreasnya. Bahkan hari ini, beritanya lebih dasyat lagi, tumor itu ternyata kanker yang sudah memasuki stadium 4 yang membuat Pecandu Pagi katanya hanya bisa bertahan selama 6 bulan. Berita yang tidak enak untuk didengar, bahkan untuk orang yang tidak begitu akrab dengan Pecandu Pagi seperti saya.

Saya langsung teringat tulisan saya sebelumnya, What if... Bahwa waktu memang hanya bisa kita hitung. Tapi Saya juga disadarkan telah diberi kesempatan untuk mengenal Si Pecandu Pagi. Dan kini waktunya saya memperkenalkannya pada pembaca blog saya (ada kan ya hihihiihi). Anyway, saya merasa Si Pecandu Pagi penting untuk dimasukkan ke dalam salah satu halaman cerita blog (baca:hidup) saya, sebagai wujud apresiasi saya pad orang yang punya passion dalam hidupnya.

Walaupun sebenarnya saya tahu, betapa yang dia alami sekarang sangat berat dan mungkin tulisan ini tak bisa berbuat banyak. Saat Nida cerita tentang 6 bulan, yang pertama kali saya pikirkan adalah,"Kita ajak dia jalan-jalan yuk Nid. Kita ajakin ke Bali aja, ikut rencana gila kita." Tapi saat ini sepertinya pengobatan harus menjadi prioritas, entahlah kita toh belum benar-benar menanyakan langsung pada Si Pecandu Pagi. Lalu saya juga bilang ke Nida, "Kita masih bisa rayu Tuhan kok Nid, 6 bulan itu kan prediksi dokter dan yang punya waktu bukan dokter."

Apa sih yang bisa kita lakukan untuk menyemangatinya? Entahlah saya pun sulit menjawabnya, karena untuk membuat tulisan ini saja saya membaca berulang-ulang. Menghapus beberapa kata dan menggantikan dengan kata yang baru. Judulnya saja, saya ganti beberapa kali. Saya takut ada yang salah dimengerti dari tulisan ini. Padahal dari awal saya ingin sekali menuliskan sesuatu untuk menunjukkan empati saya, lagi-lagi karena saya merasa tulisan adalah satu-satunya amunisi yang saya punya.

"Dia tersinggung ngga ya, kalau gua nulis di blog? Hanya pengen menyemangati aja, takutnya kalau gua SMS, dia ngga inget dan ngerasa aneh," semua rasa segan itu saya ceritakan ke Nida. "Mmmm...karena dia termasuk orang yang gila, gua rasa dia bakal santai-santai aja kalau lu nulis. Ntar gua suruh dia baca deh," Nida coba menenangkan. "Eh ternyata dia masih inget lo, si pemilik otopet," kembali SMS dari Nida menyakinkan saya untuk menulis.

Well Si Pecandu Pagi, if you reading my blog, saya hanya ingin katakan bahwa akan selalu ada matahari yang mengawali pagi. Saya rasa sebagai Pecandu Pagi, lu pasti ngerti banget gimana nikmatnya memiliki rasa penasaran akan seperti apakah sinar matahari hari ini. Ternyata nickname yang lu pilih bukan sekadar unik tapi juga penuh harapan. Nickname ini memberikan terminologi baru dalam memaknai hari baru. Kita harus menjadi pecandu pagi untuk bisa menggilai hidup. Dan rasanya tidak ada yang perlu dikuatirkan dari diagnosa dokter itu, karena Si Pecandu Pagi sudah lebih dulu berani 'menikahi' matahari untuk dapat mengendalikan apa yang akan terjadi hari ini.

Jangan menyerah ya, semua yang terjadi ada untuk kita hadapi.
Jangan berhenti menggilai hidup ya, karena hidup ada untuk diperjuangan sampai titik kenikmatan terakhir.
Apapun nama rintangan itu, dia ada hanya untuk kita lalui dengan amunisi kemenangan yang sudah ada di tangan.
Tak ada kata kalah bagi penggila hidup. Sama seperti tak ada awan gelap bagi pemilik matahari pagi.
Nida dan saya, hanyalah sebagian kecil dari yang diam-diam ikut menatap matahari pagi bersama-sama Si Pecandu Pagi. Karena pagi begitu berharga untuk sekadar dilalui seorang diri.
Jadi, mari kita hadapi sama-sama.

Tak ada hari yang harus dibatasi. Sebab matahari akan selalu ada, tak peduli seberapa lambat atau cepat dunia berputar.
Dan sebagai pendamping hidup matahari, rasanya kita tak perlu takut akan pergantian waktu.
Sebab matahari tak kenal kadarluarsa. Dan hanya orang-orang yang punya nyali yang berani menikahi matahari, dialah para Si Pecandu Pagi.

Saya tidak menjanjikan tulisan ini akan meringankan beban. Tapi saya dan Nida menjanjikan, akan selalu ada energi baru yang siap kami tularkan. Jadi setiap kali menanti pagi, tolong jangan merasa sendiri. Setidaknya ada dua orang yang akan selalu ikut menatap matahari yang sama.

Tetap semangat ya.

Salam hangat dari kupu-kupu yang selalu berani untuk terbang ringan ke angkasa dan si pedestrian yang tidak pernah merasa takut untuk menapaki jalan-jalan panjang tak bertuan.

Mari kita menggilai hidup !!!

Wednesday, October 27, 2010

What if....

Hari ini, semua orang membicarakan bencana, mulai dari Tsunami di Mentawai, Gunung Merapi meletus, sampai banjir di mana-mana. Tiba-tiba semua orang tersadarkan atas betapa semuanya serba tidak pasti. Tidak ada yang bisa memegang waktu yang kita bisa lakukan hanyalah menghitung waktu.

Ada yang bilang, bumi kita semakin tua. Dan ini biasanya diikuti dengan kesadaran untuk mulai melindungi bumi. Bumi meminta kita bertanggung jawab, begitu tulis mereka yang percaya bahwa manusia sudah terlalu serakah. Ada juga yang menyebut semua bencana sebagai kesadaran bahwa semuanya milik Tuhan, tidak ada kepemilikan abadi di dunia ini.

Semua merasa diingatkan akan arti sebuah kehilangan. Tapi berapa lama sih kita bisa menjaga kesadaran akan sedihnya sebuah kehilangan. Pertanyaan sinis saya sih, setelah berbagai peristiwa bencana ini lewat, kita juga akan kembali mabuk kepayang lagi. Terlalu sinis kayanya.

Tapi memang itu yang sering kita lakukan. Kita baru merasa memiliki sesuatu yang berharga setelah kehilangan sesuatu. Menurut saya ini adalah teori kelalaian, iya lalai menghargai hidup. Saya percaya pada teori harapan. Teori ini membuat kita menyadari bahwa apa yang kita miliki sekarang adalah PENTING, tidak perlu tunggu waktu kehilangan untuk memiliki makna tersebut. Karena hidup itu bukan permainan judi yang semuanya tergantung dari berapa besar taruhan yang kita letakkan di muka sang bandar. Hidup juga bukan permainan saham yang butuh modal besar biar untung besar, sebab saham-saham bagus harganya mahal. Jadi relalah menghilangkan sebagian dari apa yang kita punya untuk sesuatu yang (mungkin) memberikan keuntungan besar. Lagian, kalau hidup dilihat sebagai meja judi, kok kayanya kasihan ya Tuhan yang serba bisa itu diartikan sebagai bandar judi yang hanya mikir gimana caranya ngadalin penjudi. 

Sebagai penganut teori hidup adalah harapan membuat saya akan selalu menjaga apapun yang saya punya. Karena buat saya, apa yang saya kerjakan sekarang akan memberikan dampak pada hari-hari yang akan datang, ada atau tanpa saya. Mengapa? Percaya deh, harapan itu ngga bisa mati. Harapanlah yang membuat setiap udara yang kita nikmati menjadi berharga, karena kita percaya setiap apa yang kita kerjakan bermakna, tidak perlu nunggu sampai waktu menghentikan semuanya. Bahwa harapanlah yang membuat kita berjuang untuk membentuk kesempurnaan.

Lalu pertanyaan besar datang menghampiri. What if, today is your last day?

Tenang-tenang, ini bukan posting untuk harakiri. Saya terlalu berharga untuk mengakhiri hidup dengan sekadar bunuh diri demi harga diri semu.

Ok berbicara mengenai kematian, saya yang pecinta hidup ini rada males sebenarnya membahas hal tersebut. Tapi saya punya proses panjang untuk memaknai kematian. Sewaktu adik perempuan saya dikubur, udah lama sih sekitar 25 tahun lalu, saya melihat dia begitu cantik dengan baju kesukaannya. Tubuhnya putihnya terasa damai sekali berbaring dalam peti kayu berwarna cokelat. Lalu petinya ditutup. Saat-saat penutupan peti itulah saya bertanya dalam hati, "Ade ngga sesak napas ya? Dia ngga takut ya sendirian? Dia ngga ngerasa sempit ya di kotak kayu itu?" Dan sebenarnya banyak sekali pertanyaan untuk dia, Angela namanya, cantik secantik orangnya.

Saat tanah mulai menghujani peti kayu itu, pertanyaan-pertanyaan sejenis kembali muncul. "Kenapa mesti ditutup pake tanah, kan kasian ade ngga bisa napas." Pertanyaan-pertanyaan polos anak-anaklah. Dan begitu sampai di rumah, keluarga saya masih berduka. Memandangi baju-baju ade yang tersisa dan mainan yang dulu dia punya. Meskipun sebenarnya mainan kita tidak banyak karena hidup begitu susah ketika itu.

Sampai akhirnya hari ini, saya sudah hidup 1/4 abad lebih dan menyaksikan begitu banyak cerita dukacita. Saya ingat, betapa teman gereja saya meraung sejadi-jadinya ketika mamanya meninggal dunia. Atau seorang teman kuliah yang ibu dan bapaknya meninggal dalam waktu berdekatan bercerita bahwa seharusnya kita kenal dengan orang tuanya. "Bokap dan Nyokap gua tuh orang yang baik banget, harusnya kalian kenal mereka."

Saya tersadar, betapa cerita duka cita tidak pernah memberikan kesan menyenangkan selalu ada air mata. Tapi pernyataan teman saya yang terakhir yang menyadarkan saya. Sebenarnya kami tidak terlalu dekat, hanya sama-sama satu jurusan. Dan saya menghampiri dia untuk memberikan pelukan dukacita, saat itulah dia berkata demikian. "Seharusnya kalian kenal mereka." Saya tertohok karena ketika teman saya berkata demikian yang menderita kerugian bukan yang berduka tapi saya. Kehilangan terbesar ada pada saya, karena tak ada waktu yang menghampiri saya untuk memberikan kesempatan berkenalan dengan orang tuanya.

Lalu saya tersadar, apa yang telah kita lakukan pada orang-orang yang sudah diberi kesempatan untuk menghampiri kita. Apa yang kita lakukan untuk menjaganya? Apa yang kita lakukan untuk membuat orang lain mengenalinya? Teman saya mengajarkan saya untuk tidak menyimpan sendiri. Buat saya, ini masuk dengan teori harapan. Ketika kita membagikan semangat dari orang-orang yang membuat kita lebih berani menghadapi hidup maka harapan itu tidak akan pernah mati.

Dan lagi-lagi teori kehilangan itu bukan selalu berawal dari apa yang kita miliki. Kadang kita justru akan merasa kehilangan ketika kita benar-benar tidak punya waktu untuk memiliki. Suka atau tidak, kepemilikan itu menuntut tanggung jawab. Apa ini artinya tidak memiliki sama dengan tanpa tanggung jawab? Jangan langsung berpikir jadi orang yang mau ngampangnya saja karena tidak memiliki dalam konsep yang diberikan teman saya itu, menyadarkan saya untuk menghargai apa yang belum kita punya. Caranya? Hargai dulu apa yang kita punya. Karena apa yang bisa kita jaga sekarang adalah harapan yang akan menjadi kenyataan, ada atau tanpa kita.   

Lama sekali saya bisa merampungkan tulisan ini. Sampai kemudian pertanyaan ini muncul lagi, "What if today would be our last day on earth?" Apa yang menjadi jawaban kita? Sudahkah kita menjaga orang-orang yang paling kita sayangi dengan benar? Sudahkah kita menghargai waktu yang diberikan untuk mengenali mereka? 

Ayo berhenti menjadi orang rakus dengan meletakkan begitu banyak taruhan di meja judi yang baru menyadari kehilangan hal yang paling berharga setelah bandar mengatakan, "Selamat Anda Kalah!" Karena waktu hanya bisa dihitung dan kita tidak bisa tahu kapan hitungan itu berhenti, bisa sekarang, 2 menit lagi, 2 jam lagi, 2 hari lagi, 2 minggu lagi, 2 bulan lagi, 2 tahun lagi, 20 tahun lagi atau bisa juga 2 kalimat terakhir dari paragraf ini.




Wednesday, October 20, 2010

Perasaan Impulsif Bernama Pelampung

Ini bukan metafora, ini kenyataan.
Ini bukan puisi manis yang dibuat saat tergila-gila
dan menguap bagai buih soda ketika bertemu dengan kelamnya rasa takut.

Seseorang yang kerap menghindar dari ketakutannya sendiri dan berhenti melihat ke belakang.
Sebab di belakangnya, begitu banyak rasa bersalah yang ditinggalkan hanya demi sebuah perasaan impulsif.

Sayangnya perasaan impulsif yang dibuatnya melibatkan individu lain. Bukan seperti buku yang dengan mudah dijejer dalam rak rasa bersalah hingga berdebu. Bukan juga laptop yang harus diganti demi menemukan pelampung baru dengan corak sama. Setelah itu berharap debu bisa menghapus amisnya sebuah penghianatan pada setiap jejak pelampung yang kau pilih.

Perasaan impulsif yang akan dijadikan alat bahwa dirinya berani menghadapi kenyataan.
Tapi cerita hidup akan berulang, sebab kau meninggalkan rasa bersalah di setiap jejak kakimu dan di balik wajah pelampung barumu.
Hingga pada saatnya kau bertemu dengan rasa bersalah yang sama, signal kepala mengeluarkan tanda bahaya untuk menyelamatkan diri.
Tapi karena kau tidak pernah cukup berani untuk menghadapinya, tanda bahaya yang tertangkap adalah waktu untuk menemukan pelampung baru dengan pola mencari yang sama.

Kejar. Buai. Perdaya.
Agar pelampung baru itu mau tenggelam bersama.
Dan saat kesadarannya hilang, baui pelampung baru dengan perjuangan untuk menuju permukaan samudra.
Perlahan kau mendorong pelampungmu untuk mendekati permukaan samudra terlebih dahulu.
Mengamati apa yang diperlukan, menemukan kenyataan yang diinginkan...
Meski ketika itu kau perlahan menenggelamkan diri dalam palung laut yang tak terjamah.
"Bantu aku menemukan permukaan samudra," ucapmu penuh pertolongan pada pelampung yang terlalu lebar membukakan kehangatannya.
"Tak ada yang perlu ditakuti, semua sudah teratasi. Angkatlah kepalamu dan lihatlah samudra ini begitu indah," ucap pelampung lembut.
"Tapi aku tak bisa, aku tersesat," ucapmu lantang, berharap pelampung mau berjuang lebih keras lagi.
Walaupun sebenarnya, dalam hati kau berbisik, "Samudra itu begitu terang menusuk mataku. Aku tak tahu, apakah aku cukup siap berhadapan dengannya lagi. Rasa bersalah yang menusuk tulang belulangku. Rasa bersalah yang kupikir sudah tertutup awan gelap nan abadi. Apakah rasa bersalah itu masih di sana? Atau kah justru pelampung itu yang membawa rasa bersalah." Pergulatan batin panjang untuk sebuah esensi hidup yang sia-sia kau ciptakan.

"Ya, pelampung itu membawa rasa bersalah. Bagaimana mungkin jejak bersalah itu ada dipelampung yang kupilih dengan cepat. Adakah debu rasa bersalah itu tertiup dan menghinggapinya ketika menuju permukaan samudra? Ah mengapa harus menatap samudra jika dalam palung laut yang kelam aku bisa terselamatkan dari jejak-jejak rasa bersalah yang kutinggalkan pada beberapa pelampung." Kau pun semakin kehilangan akan sehat.

Kau lupa, pelampung akan selalu menatap samudra. Kau lupa, kau pilih pelampung untuk menyelamatkan dirimu walaupun sebenarnya kau tidak pernah punya nyali untuk menyelamatkan diri. Lalu kau menatap palung laut yang suram itu. Dingin dan sepi. "Tapi aku tak berani menatap samudra, ada debu jejak rasa bersalah di sana," kau kembali mencari pembenaran.

Palung laut tetap menawarkan warna kesendirian yang dalam dengan aroma keterpurukan yang menyeramkan. "Aku tak bisa sendiri, aku butuh pelampungku," signal impulsifmu mulai terpancing. "Tapi bukankah pelampungku sudah berada di permukaan samudra? Berapa banyak pelampungku yang sudah sampai sana mengapa mereka masih menantiku di permukaan?" kau kembali bermain dengan labirin ketakutan.

"Wahai pelampungku, pergilah dan selamatkan dirimu. Sampaikan salamku pada debu rasa bersalah, aku terpuruk dan tak layak untuk diselamatkan," suaramu lirih dengan mata berkaca tapi dalam tanganmu kau rangkai pelampung baru yang siap mengembang. "Maafkan aku, ini adalah dosa terbesarku. Biar rasa sakit ini aku yang telan hidup-hidup," suaramu makin lirih dan menitikkan air mata, tapi tanganmu mengirimkan denyut nadi pada pelampung baru yang siap terbuai oleh gelapnya palung lautan.

Perlahan kau berbisik pada pelampung baru, "Aku terpuruk, mau kah kau membantuku? Aku akan berikan nafas dan darahku untukmu. Aku akan membuat kau menjadi pelampung terbaik di dalam laut ini," sapamu sambil menebarkan sulur-sulur teori kehidupan. Pelampung baru menatap tajam, "Adakah dia yang kucari? Tapi sulur yang ditawarkannya begitu jujur dan bisikannya begitu lembut di telingaku, sebentar saja aku sudah mau terlelap di nadi tangannya. Ah indahnya kebersamaan ini, aku harus membiarkan kulitku dipompa dengan nafas dan darahnya agar aku menjadi pelampung terbaik di dalam laut ini. Aku harus!!"

Begitu kau melihat pelampung baru menawarkan kulitnya yang bersih, secepat itu juga kau tancapkan euforia kehidupan. "Mungkin semuanya terasa cepat, aku tak peduli. Yang ku tahu aku menggilaimu sekarang," itu yang kau benamkan dalam kulit pelampung barumu yang bersih. "Tapi aku pernah tersakiti, jadi jangan sakiti aku lagi," ucap pelampung baru. Kau tak menjawab karena kau teringat pelampung mu yang lain yang tengah mengulurkan tangan untuk menatap permukaan samudra yang kau tawarkan. "Aku pergi sebentar, ada yang harus aku selesaikan," ucapmu lembut sambil membelai pelampung baru yang mengembang pesat.

Melalui bulir-bulir air laut. Melalui plankton-plankton kecil. Melalui rumput laut yang menjuntai, kau kirimkan pesan pada pelampungmu yang menunggu dengan cemas. Semua bulir laut, plankton-plankton kecil, dan rumput laut yang menjuntai menyampaikan pesan yang sama. "Dia tak berani menghadapi luasnya samudra. Dia tak berani bertemu dengan pelampung-pelampungnya yang lain. Dia tak berani menghapus jejak rasa bersalah yang dia tinggalkan di daratan. Sebaiknya kau berhenti mengulurkan tangan karena dia tengah merajut pelampung barunya."

"Tapi tak ada tanda apa-apa. Dia begitu lembut menggiringku menatap indahnya samudra. Dia masih membelaiku beberapa menit lalu, bahkan dia masih mengirimkan bahasa cintanya? Apa yang terjadi?" Tapi tak ada yang berani menjawab pertanyaan itu, tak juga bulir-bulir air laut, plankton-plankton kecil, dan rumput laut. Sampai akhirnya kau mengirimkan tali tipis bagi pelampung yang tetap menunggumu di permukaan samudra dengan cemas. "Maafkan aku....aku tenggelam dalam pekatnya rasa bersalahku teramat pekat. Apa yang terjadi adalah nyata, tapi aku....maafkan aku," ucap tali yang kau kirim dengan getaran rasa bersalah yang baru.

Di bawah palung laut yang tergelap, pelampung barumu menunggu. Dengan binar-binar mata. Dengan kulit putihnya yang bersih. Dengan benih cinta yang masih tertutup rapat dan siap menetas menjadi pelampung barumu. Tapi sayang, pelampung baru ini tetap memiliki corak yang sama. Corak dari rasa dan ketakutanmu menghadapi amisnya rasa bersalah. "Akan ke mana kita saat ini," tanya pelampung barumu. "Mari menikmati kelamnya palung laut," ucapmu dengan senyum getir.

Jakarta, 20-10-2010




Sunday, October 17, 2010

Fuckin Broken Hearted

Setelah sebulan lebih apa yang dirasakan?

  • Keringet dingin sampai seluruh baju basah karena keringatnya sebesar biji jagung. 
  • Terbangun setiap 3 jam dan merasakan deg-degan tidak jelas.
  • Pikiran negatif ngga mau pergi.
  • Harus merasakan semua itu selama 30 menit - 1 jam. Alhasil, asam lambung ikut naik.
  • Berat badan turun drastis sampai ngga berani nimbang.
  • Banyak pernyataan yang justru menimbulkan pertanyaan baru.
  • Di kantor ngga fokus.
  • Di rumah maunya mematikan lampu sambil mendengar jantung yang berdegup kencang.
Keadaan yang tidak mengenakkan menjelang 1 bulan kelahiran saya. Argh saya hanya mau bilang, kampret, monyet, kambing, biji, SERIBU TOPAN BADAI!!!!!
 

Tuesday, October 12, 2010

Rindu

Saya Rindu
.
.
.
.
.
.

Kangen
.
.
.
.
.
.

Ribang
.
.
.
.
.
.


Apakah kita menatap bulan yang sama?
.
.
.
.
.
.

Apakah kita merasakan hujan yang sama?
.
.
.
.
.
.

Apakah kita menikmati sinar matahari yang sama?
.
.
.
.
.
.

Mengapa begitu sulit menemukan titik-mu.
Dari titik menjadi garis.
Dari garis menjadi bingkai.
Dan adakah kau menatap bingkai rindu yang sama?
.
.
.
.
.
.