Monday, September 20, 2010

Antara Dadu dan Bunda Maria

Saya bertanya pada sahabat baru saya, Benyamin Maengkom. Dia sering memanggil saya, adik kecil yang centil. "Mas Ben, gimana sih cara doa Novena?" Jadi sebulan lalu, dia cerita mau doa novena untuk saya. Tema doanya, biar saya dapat beasiswa dari negara Kangguru. Mas Ben kemudian menjelaskan kalau doa Novena itu adalah berdoa untuk 1 permintaan selama 9 hari berturut-turut. Cara doanya juga unik, di jam yang sama dengan intensitas berdoa yang sama.

Saya tentu terharu ketika mendengar ada orang baru mau berdoa begitu khusuk untuk saya,selama 9 hari berturut-turut. Mas Ben memang orang baik, orang yang akan memberikan perhatian penuh kalau sudah mengikrarkan diri sebagai sahabat.

Lalu tiba-tiba hidup saya kaya wahana Histeria. Naik ke atas dan secepat kilat terhempas ke bawah. Bahkan ketika nafas saya masih tersisa di tenggorokkan untuk di hembuskan, saya sudah nyaris terkapar di emosi paling rendah. Situasi seperti ini oleh saya dan Ita, kita sebut sebagai waktunya Tuhan bermain dadu. Karena Dia menentukan semuanya berdasarkan angka yang keluar pada kocokan dadu. Kalau angkanya bagus, ya ceritanya bagus. Tapi kalau angkanya amburadul...ya definisikan sendirilah :D

Setelah berderai air mata berkali-kali, saya sadar bahwa harus berbicara dengan Sang Penentu Cerita Kehidupan. Saya berdoa sangat khusyuk dan merapal berbagai permohonan dalam pejaman mata yang dalam. Berharap sikap ini bisa dilihat sebagai permohonan untuk berhenti bermain dadu. Dan tiba-tiba saya dapat inspirasi, entah karena saya desperado atau memang penasaran, untuk bertanya kepada Mas Bento bagaimana Doa Novena seharusnya dilakukan.

Sebelum cerita bagaimana ritual itu harus dilakukan, Mas Bento menggambarkan bagaiman Doa Novena bisa ada. Mulai dari mengapa harus 9 hari berturut-turut, awalan dan akhiran doa, sampai sebenarnya doa ini ditujukan kepada siapa. Mengapa 9 hari berturut-turut? Karena berdasarkan pengalaman orang-orang Katolik jaman dulu, ketika mereka berdoa 9 hari berturut-turut ternyata doanya dikabulkan.

Untuk urutannya, lumayan panjang. Doa syafaat, doa Bapa Kami, Salam Maria 3 kali, doa permohonan dan terus diulang-ulang. Saya lupa-lupa ingat urutannya, tapi kurang lebih begitulah. Lalu Mas Ben, bercerita kalau sebenarnya doa ini ditujukan kepada Bunda Maria. "Kenapa Bunda Maria?" tanya Mas Ben untuk menarik perhatian saya. "Karena Bunda Maria adalah Ibu Kehidupan?" Saya menjawab tidak begitu yakin.

Berdoa kepada Bunda Maria karena Yesus selalu mendengarkan permintaan ibuNya. Saya pun tersenyum, ternyata Tuhan ngga main dadu. Kita cuman perlu akrab dengan Ibunya ;D Hihihihihi ini hanyalah pemikiran saya. Pemikiran orang yang selalu kritis kalau ngomongin Tuhan. Tapi lucunya, saat begitu banyak masalah menghampiri, saya hanya membantin,"Tuhan kayanya lagi kangen banget ya? Saking udah lama kita ngga ngobrol, gw dikasih masalah silih berganti tanpa kenal jeda. Jadilah saya selalu berbicara dengan Dia belakangan ini.

Dan ketika saya bertanya-tanya doa apa yang paling efektif, tak ada yang bisa menjawab. Tapi seorang sahabat bercerita, "Gw kalau lagi galau dan ngga tau mau berdoa apa, yang keinget cuman Doa Bapa Kami. Gw berdoa itu dalam hati kaga berhenti sampai benar-benar dapat jawaban."

Akhirnya saya sadar, doa kaga ada rumusnya karena itu bersifat personal. Tapi ketika bicara mengenai doa yang mencakup semuanya, saran teman saya itu masuk akal. Doa Bapa Kami memang paling lengkap. Jadi kalau masih-masih mencari cara paling efektif menggoda "putusan" Tuhan melalui Doa, Novena menampilkan sisi ketekukan dalam berdoa. Kesungguhan dalam meminta sesuatu kepada yang punya segalanya. Sedangkan doa Bapa Kami, mewakilkan kepasrahan seseorang ketika meminta, mengucap syukur, dan memuji Sang Pemilik Kesempurnaan. Jadi pada prinsipnya kedua doa ini bisalah dipilih untuk diterapkan, sesuai kepribadian kita aja :D

Dan atas nama kesempurnaan, saya berdoa :

Our Father, who are in heaven,
Hallowed be Thy Name,
Thy Kingdom come,
Thy will be done, on earth as it is in heaven.

Give us this day, our daily bread
and forgive us our trespasses as we forgive those who trespass against us
and lead us not into temptation
but deliver us from all evil.
For Thine is the Kingdom,
and the Power,
and the Glory, forever
Amen.

Wednesday, September 15, 2010

Berbicara dalam Keheningan

Begini toh rasanya patah hati, gamang, menguraikan berton-ton air mata, memutar semua peristiwa yang pernah dilalui sambil mencoba menemukan di mana letak salahnya. Saya belum pernah patah hati, karena dulu-dulu saya belum pernah officially in a relationship. Apa memang seharusnya saya setia dengan hubungan tanpa status aja ya? Ah tidak, saya tidak pernah menyesali apapun yang terjadi. Yang terjadi biarlah terjadi, ini semua sudah tertulis. Dan rasanya saya sudah menjalani dengan baik. 

Ini pengalaman patah hati yang pertama, officially broken heart. Jadi saya masih bingung apa yang seharusnya saya lakukan. Ada yang bilang, memutuskan hubungan itu harusnya datang dari kedua belah pihak. Karena ketika memilih untuk berhubungan kan yang menjawab pilihan juga dua belah pihak. Tapi ada juga yang bilang, be free Priska and be strong. It's his lost not yours.

Hmmmm....kata-kata yang terakhir terdengar heroik ya. Girl power. Tapi jujur saat ini saya tidak mengerti apa yang harus saya pilih. Maksud saya, sikap saya. Bagaimana saya harusnya saya bersikap. Yang ada di kepala saya saat keputusan itu dijatuhkan, saya butuh waktu sendiri. Saya butuh berbicara dalam keheningan. Tapi emosi saya tak mau diajak kerja sama. Maunya konfrontasi mulu. Mintanya penjelasan mulu, karena yang melintas adalah sekumpulan pertanyaan "Kenapa...kenapa...kenapa?"

Seorang teman mengingatkan saya untuk berpuasa. "Lu selalu melakukan itu ketika harus mengambil keputusan penting dalam hidup Lu. Itu bikin lu sadar." Hmmm...bener juga...setidaknya emosi saya yang meletup bisa diam dengan sendirinya. Alhasil saya berpuasa.

Saya bilang sama Sang Sahabat, oke hari ini kita puasa ya. Kita lihat seberapa tenang menghentikan mulut untuk mengunyah dan minum ini bisa meredam emosi. Sang Sahabat bilang, "Ngapain Lu puasa? Ngerayu Gua?"

Saya jawab, "Buat apa Kau dirayu. Kita kan sama-sama kenal tukang dadunya. Masih suka main dadu kan?". Saya pun berseloroh kepadaNya. "Oke, kita puasa. Tapi bukan berarti lu akan berhenti memikirkan semuanya," Dia cuman mengingatkan. "Iya," jawab saya lirih.

Setelah itu apa yang orang patah hati lakukan? Saya masih tidak tahu. Akhirnya saya memilih untuk menjauh dari peradaban. Memilih tempat yang intelek untuk menyendiri. Eh tempatnya tutup, sial ternyata alam sedang tak tahu kalau saya sedang berpuasa. Atau jangan-jangan mereka tahu ya? Anyway, saya bengong di halte. Memikirkan ke mana lagi saya harus pergi.

Oke tempat yang biasa saya datangi di malam hari. Menikmati gelas dengan pinggiran garam. Tapi kan saya puasa, masa saya ngga mesan apa-apa ke sana? Ah biarin aja kita pesan dan tidak kita makan ;D

Segelas jus jeruk, sebotol aqua, berdiri rapi di depan saya. Dan sebentar lagi saya akan memesan makanan. Lagi-lagi bukan untuk disentuh. Bangku-bangku rotan dan kayu yang dijejer rapi oleh pelayannya masih kosong. Saya bahkan menjadi saksi bangku-bangku ini disusun rapih. Karena saya datang saat mereka belum buka, saya duduk dengan manis. "Maaf ya Mba, kita belum buka," ucap salah satu pelayannya. Ini bukan pelayan yang biasa saya temui, Mas Deden. Mungkin dia shift malam. Kalau Mas Deden yang melayani pasti dia akan bilang, "Yakin ngga mau satu jug?" Tapi untung sih bukan Mas Deden, bingung saya nanti menjelaskannya gimana.

Saya hanya membalas dengan tersenyum, "Ah ngga papa mas. Saya tunggu, santai aja." Tiba-tiba saya tersadar, saya tersenyum. Senang rasanya bisa tersenyum.

Setelah pagar kecil dengan hiasan anggur tiruan itu terbuka, saya memilih bangku rotan yang dekat dengan stop kontak. Yah demi si laptop ini, karena saya harus memantau situs yang saya kelola. Maklum kita buruh kasar, jadi kerja hukumnya wajib. Btw, orang patah hati kerja ngga ya?

Usai memesan minuman yang sampai sekarang tidak saya minum-minum, saya hanya memejamkan mata. Antara ngantuk dan ingin tenggelam dalam kegelapan. Saya berbicara lagi dengan Sang Sahabat, "Trus kalau udah di sini kita ngapain? Nangis? Marah-marah? Atau diem aja?" Dia menjawab, "Tarik napas aja dulu, baru mikir lagi."

Kami menarik napas. "Masih sesak," ucap saya lirih. "Iya, Saya tahu," balasNya bijak. "Sampai kapan ya harus merasakan ini semua?" tanya saya memulai pembicaraan. "Saya ngga tahu, jalani aja nanti juga ada titik akhirnya." "Tidak membantu," jawab saya menggerutu. Dia bilang,"Lah Gua kan cuman nemenin bukan untuk memberikan jawaban."

Tiba-tiba Sang Sahabat bilang,"Eh inget film yang dimainin Kate Winslet bareng Jim Carey?" Saya hanya bengong. "Itu loh film soal menghapus ingatan?" Dia semakin memaksa. "O...ya...ya...inget, kita pernah nonton bareng film itu. Ah ngapain diingetin sih? Bener-bener ngga membantu deh?" saya semakin kesal. "Iya, iseng aja, kalau mesin penghapus ingatan itu benar-benar ada, mau?" tanyaNya serius. Benar-benar serius.

Saya speechless...diam benar-benar diam. Yang saya lakukan berikutnya adalah mengingat bagaimana jalan cerita film itu. Ya film yang bercerita dua karakter yang berbeda jauh. Perempuannya tipe yang sangat ceria dan bebas dalam memandang hidup. Sedangkan laki-lakinya terbilang kaku. Ah saya tiba-tiba teringat dia pernah berucap betapa karakter perempuan itu menggambarkan saya dan dari sana panggilan Tangerine berasal. Saya malas meneruskan ceritanya. Saya kutip dari Wikipedia, mudah-mudahan membantun :


Emotionally withdrawn Joel Barish (Jim Carrey) and unhinged free spirit Clementine Kruczynski (Kate Winslet) strike up a relationship on a Long Island Rail Road train from Montauk, New York. They are inexplicably drawn to each other, despite their radically different personalities.

Although they apparently do not realize it at the time, Joel and Clementine are in fact former lovers, now separated after having spent two years together. After a nasty fight, Clementine hired the New York City firm Lacuna, Inc. to erase all her memories of their relationship. (The term "lacuna" means a gap or missing part; for instance, lacunar amnesia is a gap in one's memory about a specific event.) Upon discovering this, Joel was devastated and decided to undergo the procedure himself, a process that takes place while he sleeps.

Much of the film takes place in Joel's mind. As his memories are erased, Joel finds himself revisiting them in reverse. Upon seeing happier times of his relationship with Clementine from earlier in their relationship, he struggles to preserve at least some memory of her and his love for her. Despite his efforts, the memories are slowly erased, with the last memory of Clementine telling him to "Meet me in Montauk".

In separate but related story arcs occurring during Joel's memory erasure, the employees of Lacuna are revealed to be more than peripheral characters. Patrick (Elijah Wood), one of the Lacuna technicians performing the erasure, is dating Clementine while viewing Joel's memories, and copying Joel's moves to seduce her. Mary (Kirsten Dunst), the Lacuna receptionist, turns out to have had an affair with Dr. Howard Mierzwiak (Tom Wilkinson), the married doctor who heads the company—a relationship which she agreed to have erased from her memory when it was discovered by his wife. Once Mary learns this, she steals the company's records and sends them to all of its clients.

Akhir dari ceritanya sengaja saya tidak tampilkan, mmmm...alasannya....Saya butuh waktu untuk berpikir.  Karena ini film dan film akhirnya selalu bahagia, sedangkan yang saya jalani adalah kehidupan nyata. Jadi kita tenangkan pikiran dan emosi dulu. Saya melirik Sang Sahabat, "Iya kita tenangkan diri dulu. Semuanya terjadi begitu cepat dan itu sama seperti sedang berlari. Itu kenapa yang perlu kita lakukan adalah beristirahat dan mengatur napas dengan baik," ucapnya seraya menawarkan pelukan hangat. Saya memeluk Sang Sahabat dalam pembicaraan hening ini. Ah terharu, berbicara dalam keheningan selalu membuat keharuan. "Sudah ayo kita pindah tempat lagi, kita cari tempat berkontemplasi yang baru," ajakNya seraya mengulurkan tangan.





Jadi cukup untuk hari ini.

Tuesday, September 14, 2010

It's Your Lost Not Mine

Hmmm...sepertinya saya memang lagi naik wahana Histeria. Sesaat berada di ketinggian 60 meter dan sekarang jatuh hingga 20 meter. Luar biasa.

Speechless. He was so sweet to pick me at my office asking for lunch together. And he said that his lost so need a break. Trying to convince him that his not alone. I'll be on his side to conquer all of this obstacles, but the only thing he said just..."I don't know. I'm afraid to hurt you again. I have cheated on you?" Please find another reason just stop running from your fears. Stop being a quitter, be a fighter!!! You are to old to be like that. Time is clicking and all you do just running from your fears? Sorry to say, fears will hunt you where ever you go.

Dan seorang sahabat saya hanya bilang, "Well Pris, it's his lost not yours. Why have to fight for him." Walaupun sebenarnya ngga mudah untuk menghapus semuanya, tapi apa yang dikatakan teman saya ada benarnya juga. It's his lost not mine.

Mudah-mudahan berhasil menemukan kepercayaan diri untuk menghadapi rasa takut ya. Karena believe me, rasa takut itu ngga akan hilang kalau bukan kamu yang ngalahin sendiri.




Monday, September 13, 2010

Si Pencinta Hidup

Sekarang saya punya tempat nongkrong baru, bisa melihat matahari terbenam di tengah-tengah kota Jakarta! Dan kemarin, dengan seorang sahabat saya menikmati warna jingga itu menyusup masuk garis katulistiwa. Indah sekali.

Saya dan sahabat saya itu mengira bisa menikmati proses tenggelamnya matahari dalam hitungan jam, tapi ternyata hanya dalam hitungan menit. Iya menit, karena cepat sekali matahari yang bulat besar berwarna jingga itu menghilang dari langit Jakarta.

Tahu apa yang indah dari sunset atau proses bergantinya siang ke malam itu? Warna jingga yang kuat terasa tidak menusuk mata, lembut sekali. Dan warna jingga ini selalu memberikan aura tersenyum, karena kayanya ngga pas banget kalau kita lihat matahari tenggelam sambil marah-marah. Yang ingin kita lakukan ketika mengantar matahari itu pergi ke peraduannya adalah tersenyum dan itu yang saya lakukan bersama sahabat saya.

Demi matahari berwarna jingga yang bulat sempurna itu, kami menopangkan dagu dengan kedua tangan. Menatap matahari dari tembusan kaca dari mall mahal di Jakarta. Seiring meninggalkan garis katulistiwa, pala kami ikut bergeser, karena posisi duduk kami membuat kami harus melakukan itu agar nikmatnya sempurna. Sampai pada waktunya matahari itu menghilang yang ada tinggal semburat jingga yang meninggalkan salam perpisahan. "Yah kok udahan sih," itu yang terlontar dari mulut kami berdua. Momen yang indah.

Lalu sahabat yang sudah bersama saya sejak kuliah ini, saya pun mulai meracau. "Lu tau ngga, matahari terbenam itu disukai banyak orang kenapa?" "Ngga," jawab sahabat saya sambil menatap sisa-sisa matahari. "Karena auranya positif. Dan lu bisa lihat, betapa matahari yang sangarnya setengah mati kalau jam 12 siang, bisa begitu lembut ketika menutup hari. Udah gitu, meskipun tugas dia kelar hari ini, tapi dia akan selalu mengingatkan orang untuk menikmati detik-detik terakhirnya besok."

Setelah panjang lebar berteori, sahabat saya cuman bilang. "Ho oh." Tapi rupanya dia tidak mau kalah, dia pun mulai meracau. "Lu tau ngga, kenapa gua selalu salut ngeliat lu?" Saya...ya saya kaget lah. "Nih orang ngapa jadi ngomongin gua sih," dalam hati saya nyerocos. Tapi saya sok cool balasnya,"Kenapa lu ngomong gitu?"

Mulailah dia bercerita. Jadi sewaktu kami sama-sama kuliah di Jurnalistik Fikom Unpad, dia pernah mimpi saya melakukan bunuh diri. Dia panik dan di kampus dia langsung mencari saya. Dia cerita dengan penuh semangat sambil pucat pasi. "Gua mimpi lu bunuh diri. Gua kaga inget gimana persisnya lu bunuh diri, pokoknya lu bunuh diri dah." Hahahahaha kalau diinget sekarang lucu ya.

Trus saya jawab dengan santai," Wahai Ita sayang, gua ngga bakal melakukan itu. Karena gua sangat mencintai hidup. Itu kenapa, bunuh diri kaga ada di kamus gua." Dan teman saya pun lega, akhirnya dia punya jawaban bahwa itu hanya mimpi. "Semenjak itu gua kagum sama lu. Elu adalah orang paling positif di dunia yang pernah gua temui," ucap dia sambil mendelikkan matanya.

Mendengar dia bercerita begitu, saya malah kagum dengan saya yang diceritakan Ita. Wow saya keren ;D Bukan...ini bukan tulisan untuk menarsiskan diri. Tapi saya jadi berpikir lagi, kenapa saya bisa yakin kalau saya mencintai hidup. Padahal kata Ita, hidup yang kita jalanin ini ibarat permainan dadu Tuhan. Oiya, saya pernah surat-suratan sama Ita ngebahas bagaiman Tuhan hobi banget mainin dadu untuk menentukan hidup oranng wakakakakaka...masa-masa keemasan dah bahasannya begituan.

Iya hidup memang tidak pernah memberikan warna-warna bahagia. Kaya naik wahana Histeria di Dufan. Dalam hitungan detik kita bisa diangkat hingga ketinggian 60 meter dan sekejap itu juga kita dihempaskan sejauh 30 meter. Kampret itu serem banget. Saya sudah merasakan wahana itu. Tuhan memang suka bermain dadu, tapi saya selalu bilang sama Ita, "Tenang Ta, tukang dadunya gua kenal." Setelah itu kita tertawa terbahak-bahak.

Setelah acara melihat matahari terbenam di Mall yang menyediakan merek-merek mahal, Jakarta diguyur hujan lebat. Akhirnya saya memilih untuk naik taksi, toh suasana lebaran membuat Jakarta masih sepi. Di taksi, saya kembali berpikir, kenapa saya bisa begitu positif ya? Kalau saya terlalu mencintai hidup apa itu berarti saya takut mati? Padahal kalau menurut Rumi, orang yang dekat dengan Tuhan adalah orang yang rindu sekali mati. Karena kematian akan membuat mereka bisa bertemu dengan Sang Penentu Hidup.

Buat saya sih, mengapa saya mencintai hidup karena setiap detik saya bisa embracing life. Matahari terbenam itu misalnya, hitungannya detik dan kita tidak tahu apa yang terjadi di detik berikutnya. Itu kenapa, kita harus memaksimalkan setiap detiknya. Maka jangan heran kalau saya dan Ita rela memiringkan kepala untuk mengantarkan kepergian matahari terbenam. Ini juga yang membuat saya sangat ekspresif, karena saya selalu berpikir, emosi adalah perasaan jujur dan momen untuk mengekspresikan itu hitungan juga detik. Jadi buat apa ditunda-tunda.

Embracing life juga membuat saya akan berjuang demi apapun yang menurut saya membuat saya bahagia. Apapun! Plus proses hidup yang saya lalu memang membentuk saya demikian. Untuk menghapus pandangan sebelah mata dari keluarga besar saya terhadap saya yang tak pernah juara kelas atau berprestasi di sekolah, saya berjuang mati-matian biar keterima di Universitas Negeri. Demi sebuah cita-cita menjadi seorang penulis, saya berani melawan ayah saya dan bilang saya mau ambil Jurusan Jurnalistik.

Dan atas nama idealisme, saya pernah rela nganggur 6 bulan lebih demi bekerja di media. Walaupun pada akhirnya saya kerja di bank, tapi saya tak pernah berhenti mengejar cita-cita saya. Saya mengirimkan tulisan dan dimuat, sampai akhirnya saya diterima bekerja sebagai wartawan. Hidup terlalu sempurna untuk disia-siakan, demikian juga mimpi-mimpi saya.  Jadi jangan heran kalau saya jadi keras kepala, karena saya akan selalu fokus dengan apa yang sudah saya patrikan di kepala saya. Itu konsistensi saya untuk mencintai hidup, memperjuangkan pilihan yang menurut saya tidak sekadar membuat saya bahagia tapi juga menyempurnakan hidup saya.

Jadi nanti ketika Pemilik Hidup bertanya kepada saya, "Apa saja yang kamu nikmati selama kamu hidup di dunia, wahai kamu anak pemberontak?" Oke ini saya dramatisir sedikit biar heboh ;D Lalu saya akan menjawab, "Banyak. Banyak sekali yang sudah saya nikmati dan saya menikmatinya dengan berjuang penuh dengan segala risiko yang ada dan kegagalan yang saya terima bulat-bulat. Sebulat saya mengamini keberhasilan saya." Yah saya ngga tahu sih, apa jawaban seperti itu diterima atau tidak. Tapi setidaknya saya tidak akan mati penasaran mengenai bagaimana definisi menikmati hidup itu seharusnya.

Ya saya bukan superwoman yang bisa dengan cepat mengganti tanggis dengan senyuman. Ada juga kok masanya saya terpuruk dan merasa orang paling sial sedunia. Tapi saya selalu berusaha mencari cara untuk bangkit. Selama saya masih dikesempatan untuk hidup dan menjalani prosesnya, berarti saya masih dikasih kesempatan dan kepercayaan untuk sampai pada cita-cita saya, sesuatu yang saya yakini.

Seorang sahabat saya yang lain, Nida, pernah bilang, kalau saya selalu cepat meninggalkan kesedihan. Walaupun setelah itu saya SMS dia untuk minta dihibur. Iya proses jatuh bangun itu ngga pernah enak, menguras tenaga, emosi, dan memisahkan kita dari kemampuan berpikir objektif. Padahal untuk menyelesaikan masalah kita perlu objektif. Ini yang akan membuat kita bisa see the big picture dan menemukan jalan keluarnya. Bahkan saya tak jarang saking sebelnya menghadapi masalah, saya menggugat Tuhan. Kurang ajar mungkin, tapi saya percaya ada komunikasi spesial antara Dia dengan saya. Saya sih percaya kalau Dia sangat mengerti bagaimana fluktuasi emosi saya, pada akhirnya kami selalu berdamai dan menjadi sahabat baik.

Saya tidak akan menyesal atas setiap pilihan yang saya ambil. Apapun risiko dan bagaimanapun hasilnya, berhasil atau gagal, saya hanya perlu nyoba lagi sambil memperbaiki strategi. Itu kalau pilihan ternyata membuat saya gagal, namun saat situasinya berhasil, saya akan tetap belajar. Belajar untuk menyerap energi positif apa yang saya keluarkan ketika itu. Proses, itulah hidup. Semuanya berproses dan ketika kita bisa menikmati prosesnya setiap detik, rasanya tak ada yang kurang sempurna dari perjalanan hidup. Dan kalau mau diperhatiin, mendekati ulang tahun saya, naik-turun emosinya pasti datang berurutan. Saya selalu merasa Sang Penentu Tanggal Lahir saya ingin mengingatkan, ulang tahun jangan sekadar tiup lilin.

Itu kenapa, saya selalu menanti-nanti hari ulang tahun. Selain menunggu hadiah ;D Saya juga menantikan bersama Pemilik Hidup, pelajaran apa yang kita simpulkan setahun kemarin dan pelajaran apa yang akan kita dapat dipertambahan umur yang ada di depan mata. Jadi sebagai pencinta hidup, saya akan merindukan momen-monen matahari meninggalkan jejaknya sambil menitipkan pesan,"Besok kita ketemu lagi ya Pris," melalui semburat jingga yang positif yang ditinggalkan. Ah indahnya hidup. Selamat menikmati, jangan lupa, sepersekian detik banyak sekali maha karya hidup terjadi dalam perjalanan waktu kita.Yuk kita nikmati bulat-bulat ;D











Sunday, September 12, 2010

Kembali Mengudara

Oke judulnya terinspirasi dari tagline RRI,"Sekali di udara tetap di udara." Alah-alah. Jadi ceritanya begini, beberapa hari lalu, saya coba untuk 'mengunci' blog saya. Alasannya...saya butuh mengalihkan pikiran saya. Tak hanya blog tapi juga Facebook. Tapi setelah dipikir-pikir, kayanya aksi ini bukan saya banget ya. Saya kan orangnya ekspresif dan sangat terbuka. Blog adalah salah satu media untuk mengekspresikan diri. Itu artinya rumus silogisme dari situasi ini adalah saya mengunci blog untuk membatasi diri saya.

Setelah dijalani 2 hari, saya malah tidak suka. Karena saya suka menjadi jujur dengan ekspresi saya. Jadi dengan kesadaran penuh, saya kembali membuka blog ini. Yah sesuai tagline-nya RRi, sekali di udara tetap di udara ;D

Thursday, September 9, 2010

Ketetapan Hati

Buku The Alchemist sebenarnya bukan hanya bicara mengenai legenda pribadi. Karena kalau direnungin dalam-dalam, buku Paolo Coelho juga bercerita tentang ketetapan hati. Seberapa sering sih kita mengambil keputusan dari proses panjang perbincangan dengan hati, diri kita sendiri. Jarang mungkin, sampai benar-benar keputusannya merupakan bagian dari proses hidup yang penting. Padahal saat kita menyertakan yang namanya ketetapan hati, kita memasukkan sebuah terminologi yang dalam, yaitu KEYAKINAN.

Dan kalau sudah bicara soal keyakinan, maka kita berbicara sesuatu yang bersifat surereal. Sesuatu yang tidak bisa digambarkan dengan kasat mata tapi menyertakan kesadaran kita sebagai manusia.

Belakangan saya sering mendengar terminologi ketetapan hati itu. Entah kenapa, terminologi itu membawa saya pada sikap religius.Saya bilang kepada pemilik hidup, bahwa apa yang saya rasakan, bukan sekadar euforia anak muda yang kerjanya mau melawan pemikiran tradisional sekitar. Lagi-lagi ini mengenai keyakinan atau ketetapan hati. Dari awal saya sudah menetapkan hati dan saya percaya tak ada ketetapan hati yang tidak didasari oleh kepercayaan pemilik hidup untuk memilih ketetapan hati tersebut.

Maka beberapa minggu ini saya berdoa. Benar-benar berdoa. Sama seperti Santiago minta diantarkan pada piramid yang telah tinggal dalam alam sadarnya. Santiago mengorbankan segalanya. Hidupnya, pekerjaanya, kenyamanannya demi menjadikan ketetapan hatinya menjadi sesuatu yang nyata. Karena bagi Santiago, kita hidup demi membuat kenyataan hidup sebagai wujud ketetapan hati, bukan sekadar impian yang di simpan dalam bantal setiap kali tidur pulas.

Saya percaya, ketika saya diminta untuk membuat satu ketetapan hati, maka sebenarnya, Sang Penunjuk Keyakinan mempercayai saya untuk berjuang mewujudkan ketetapan hati tersebut. Itu kenapa, dari hari ke hari saya percaya ini bukan sekadar menjalani rutinitas untuk mencintai seseorang tapi lebih dari itu. Saya dipercaya untuk berketetapan hati mencintai dia dengan tulus. Saya akan berjuang demi apa saja untuk menjadikannya kenyataan. Ini bukan euforia dan bukan wujud perlawanan. Tapi lebih kepada ketetapan hati yang dibalut keyakinan dari Sang Khalik. Dan saya berdoa setiap saat dalam setiap tarikan napas untuk mengantarkan kita pada kenyataan dari sebuah ketetapan hati. Piramida itu sudah di depan mata. Sepertinya tak ada alasan untuk tidak mendekati. Mari kita saksikan betapa nyatanya piramida kita.

Dengan segala kerendahan hati, terima kasih Pemilik Hidup untuk terus menguatkan keyakinan saya atas piramida yang mulai terlihat. Terima kasih

Wednesday, September 8, 2010

3 Kata Pembebas Kekhawatiran

Saya hanya ingin bilang,
"Thanks God. Kesabaran itu memang selalu indah."
Ini ekspresi atas terucapnya 3 Kata luar biasa.
Rasanya senang sekali.
Ayo kita berjuang menghadapi semua 'kabut' di depan mata.

Friday, September 3, 2010

I Miss You

Rindu sekali menatap matamu yang lembut.
Rindu sekali melihat wajahmu yang malu.

Apa yang terjadi padamu hari ini?
Apakah kegelisahanmu?
Apa yang tengah menutupi auramu?
Apakah kemuramanmu?

Adakah rasa rindu untukku?
Adakah terselip senyum untukku?
Adakah sentuhan tanganmu untukku?

Aku hanya rindu...
Rindu kamu sayang...
Jika saja hanya 10 menit bisa menghadirkanmu
Aku akan lakukan apa saja demi 10 menit itu.
Sebab katanya, 10 adalah angka kesempurnaan.

Wednesday, September 1, 2010

Merindukan Pelangi


Belakangan Jakarta lagi dihampiri sinar matahari yang mendelik.
Tajam dan menusuk sampai ke sumsum tulang belakang.
Sering kali, saya berlari cepat untuk menghindarinya.
Atau berjalan santai sambil bergumam dalam hati, "Wahai matahari, kenapa kamu begitu bersemangat hari ini?"

Sebenarnya kalau mau ditelisik dari sisi fungsi, sinar matahari yang bersinar cerah itu adalah benar adanya. Karena memang itu lah alasan matahari diciptakan. Tapi ulah manusia membuat lapisan penyaring sinar matahari menjadi bolong-bolong sehingga teriknya terasa seperti matahari menambahkan amunisi.

Lalu saya berbisik dalam hati, apa sinar yang begitu menusuk pertanda hujan akan datang?
Setidaknya itu yang selalu dikatakan banyak orang.
Suhu yang meninggi membuat uap air naik ke udara membentuk awan dan menjatuhkan hujan.

Kembali saya berbisik, jika begitu, saya berharap setelah hujan biarkan matahari tetap ada.
Sebab matahari akan mengundang datangnya pelangi.
Dan saya pun sadar, ternyata matahari ada bukan hanya untuk membuat semua orang menggerutu atas sinarnya yang menerjang kulit, tapi karena dia bisa mendatangkan pantulan warna-warna indah di awan.
Saking indahnya, orang menyebut pelangi sebagai waktunya para dewi-dewi mandi di bumi.

Sebenarnya cerita matahari dan pelangi ini mewarnai cerita hidup saya sebulan terakhir.
Salah satu bulan terberat dalam hidup.
Matahari menusuk tulang saya sampai ke sari-sari terdalamnya.

Ada dua pilihan, berlari dengan cepat untuk berteduh di pemberhentian baru.
Atau menghadapinya dengan tenang sambil bertanya-tanya apa yang terjadi pada matahari.
Mungkinkah lapisan pelindung sinarnya semakin menipis sehingga cahaya yang dulu lembut berubah wujud menjadi merah dan memanas.

Apa yang saya pilih?
Saya pilih menghadapi panasnya.
Saya terus mencari jawaban apa yang terjadi pada sinar lembut saya.
Saya menelisik apa yang terjadi pada lapisan pelindung sinar.
Apa yang harus ditambah untuk kembali membuatnya menghantarkan kehangatan sifat matahari.

Saya terus berusaha karena saya cukup keras kepala untuk menyerah dan berhenti di tempat teduh yang asing.
Saya memilih bertahan karena ketika saya menyentuh matahari, saya tahu dia masih sanggup mendatangkan pelangi.
Ya, saya percaya pelangi itu akan segera datang.
Seperti saya percaya matahari saya adalah identitas kehangatan yang melengkapi keberadaan saya.
Ya, kupu-kupu tak pernah indah meliukkan tubuhnya tanpa hangat sinar matahari yang membentuk siluet tarian kedua sayap saya.

Dan inilah hasil akhirnya, saya menantikan pelangi bukan karena hujan menghapus semua jejak matahari.
Tapi justru karena sinar matahari mampu meneduhkan langit dengan curahan hujan dan menutupnya dengan alur pelangi yang indah.

Jadi saya akan tetap menunggu pelangi bersama matahari.