Tuesday, May 20, 2008

Surat Terbuka untuk Tuhan


Kepada yang terkasih,

Sang empunya kehidupan yang akrab ku sapa, sahabat.

Sahabat,16 Mei kemarin, Kau menghampiriku dengan luar biasa. Kau titipkan sebuah benjolan pada payudara kiri ibuku. Dokter kurang ajar di RS.Cipto Mangunkusumo,hanya berdasarkan hasil mamograf dan usg tanpa biopsi menyatakan benjolan itu ganas.

Ibuku berdoa dengan isak tangis yang dalam, sesaat sebelum aku berangkat pelatihan ke Bogor, menyakini bahwa Kau akan melakukan yang terbaik. Saat itu, aku rasakan ketakutan dan kegelisahannya. Andaikan aku menemaninya,pasti ku damprat dokter kurang ajar itu. Dan saat itu juga,aku mengajukan gugatan terbuka untukMu, sahabatku.

Gugatan itu, adalah gugatan kedua yang pernah ku ajukan. Lima tahun yang lalu, mamaku juga harus dioperasi karena Kau titipkan benjolan di ginjalnya. Kala itu aku berpikir kenapa harus dia, dan ku layangkanlah amarahku yang berwujud gugatan.

Dan kini, hal yang sama Kau sematkan di dadanya. Tentu aku marah, kenapa harus dua kali Kau menaruh hal serupa di tubuhnya. Aku coba untuk mencari jawaban dengan melayangkan gugatan kedua. Tapi saat itu, dalam isakan tangis mama berkata "Saya percaya,Tuhan berikan yang terbaik bagi hidup saya."

Dan aku hanya dapat berkata,"Amin." Karena perempuan inilah yang mengajarkan aku untuk berani menghadapi segala tantangan dan amarah dalam doa. Dia tidak pernah marah, seberapa pun sakitnya rintangan kehidupan yang harus dihadapi. Perempuan ini menyakini imannya seperti yang diajarkan orang tuanya. Maka setiap kesakitan yang dihadapi akan diartikan sebagai kekecewaan Mu terhadap Tuhan. Tapi dia akan selalu menumbuhkan kepercayaannya padaMu. Itu yang membedakan kami berdua, mama terlalu takut untuk mengugatmu. Sedangkan aku...

Sewaktu menemani dia di biopsi, meskipun dengan jarum halus, aku merasakan sakit yang dirasakannya. Tapi kala itu, aku hanya bisa merasakan sakitnya tanpa mengerti bagaimana mendefinisikan amarah yang hendak ku sampaikan padaMu. Belum lagi harus menunggu hasil biopsi dengan gemuruh emosi,sudah cukup banyak mengernyitkan dahi ketika berhadapan denganMu.

Hal yang juga suatu kebetulan, di tengah-tengah perempuanku menglalui itu semua, dia masih harus berhadapan dengan pasangan hidup yang sedikit keras kepala. Hidup terlalu berat untuk dilalui sendirian, jadi adalah sebuah tanda perdamaian dariMu ketika aku dapat menemaninya.

Ah sahabat, Kau terlalu sering bermain dadu. CaraMu menarik perhatianku, kadang terlalu berlebihan hingga aku merasa harus menggugatMu. Belum lagi masalah kantor yang makin hari makin jelas, semakin melengkapi beban di punggu. Kau terlalu menerapkan teori konsistensi karena sekali melempar dadu, Kau lempar dua dadu bersamaan. Dan dua-duanya semakin melengkapi kerugian pertarungan. Bak bermain monopoli, kedua dadu hanya membuat aku selalu masuk penjara.

Sahabat, aku tahu hubungan kita tidak selalu sejuk di hati. Tapi apa yang kita lakukan adalah cara untuk mengikat apa yang sudah bina. Semoga kita tidak terlalu sering gugat menggugat. Karena hidup terlalu berharga kalau hanya dinafasi dengan perkara siapa yang lebih layak menarik perhatian berlebih. Semoga Kau menganggap surat terbuka ini sebagai penegasanku bahwa hidupku tidak akan pernah berhenti berputar selama Kau mempercayai di putaran mana aku harus berhenti. Ya berhenti menggugatMu tentunya.

Dan semoga kita tidak terlalu sibuk berargumentasi untuk menegaskan arsiran eksistensi atara pemberi kehidupan dengan penikmat kehidupan. Semoga gugatan untuk sahabat yang berbentuk surat terbuka ini, semakin menghargai keberadaan masing-masing.

Terima kasih untuk membaca surat ku dan terima kasih untuk menjadi sahabatku.

Tertanda
SahabatMu

Saturday, May 10, 2008

Otoritas Diri

Semakin kita besar, bentukan untuk memiliki otoritas diri semakin kuat. Tapi kenapa otoritas diri pada seorang individu, selalu dikaitkan dengan harapan dan keinginan orang sekitar.

Untuk hal-hal yang sedikit memaksa, orang Indonesia akan menggunakan budaya timur sebagai justifikasi. Setidaknya ini yang terus ditayangkan secara naif di sinetron-sinetron. Tampilan yang seragam dari judul yang beragam justru menimbulkan pertanyaan baru atas budaya timur atau keindonesiaan itu sendiri.

Ada beberapa sinetron yang mengandalkan kisah percintaan yang tidak disetujui. Orang tua pasti akan mengacam, baik dengan pernyataan tegas maupun penjebakan-penjebakan yang bikin pasangan itu akhirnya berpisah. Bahkan di level yang paling tidak masuk akal, di sinetron yang dimainin Naysila Mirdad (Cahaya kalo kaga salah judulnya) nenek dari suaminya meminta timbal balik karena udah nyelamati Naysila. Timbal baliknya perceraian, maklum sang nenek tidak pernah suka dengan Nay yang berperan sebagai cahaya.

Dan dikehidupan nyata, hal nyaris serupa juga terjadi. Rico Ceper diduga melarikan anak di bawah umur, karena kaga disetujui oleh orang tua cewe untuk memadu kasih. Lucunya, ayah dari pacar Rico itu yang menggelandang keduanya ke polisi karena setelah anaknya dua hari kabur, ditemukan bersama Rico.

Dari tayangan infotaiment, sang ayah terlihat tegas bilang ke polisi, "Saya ingin lapor anak saya di bawa kabur." Sang anak hanya bisa tertunduk ketika ayahnya mendekap biar tidak didorong kru infotainment. Sedangkan Rico, hanya mampu menutup wajah dengan topi.

Orang tua sering bilang, adalah harapan untuk melihat anak-anaknya bahagia. Terutama ketika anak-anak menjadi dewasa, harapan bahagian termaktub dalam persetujuan orang tua terhadap jalinan kasih yang dibina anaknya. Dan ketika berbicara mengenai persetujuan, praktis yang ditekankan kriterian orang tua. Karena kalau tidak, capnya anak tidak punya pamrih atau kasarnya durhaka.

Pembelaan yang sering digunakan, adalah membentuk kebahagian keluarga dalam ranah ketimuran Indonesia adalah dapat diterima keluarga besar. Jadi, urusannya bukan hanya libatin otoritas keluarga inti tapi juga keluarga besar. Susah kayanya untuk mencari dimana letak otoritas diri kalau udah sampai pada titik ini.

Padahal otoritas diri adalah modal seorang yang beranjak matang untuk mendefinisikan komitmen. Rasanya cape untuk selalu menjelaskan, betapa otoritas diri adalah wujud tanggung jawab dalam menerima segala konsekuensi pilihan yang diambil.

Maka definisi ketimuran dalam berkeluarga harus bermuara pada seberapa siap keluarga besar menerima perwujudan komitmen yang berada dalam batas wajar mereka. Karena anak-anak budaya timur, dibesarkan untuk mendengarkan apa yang dikatakan orang tua mereka.

Nurut atau patuh adalah simplikasi dari semua ini. Walaupun saat ini, definisi nurut sudah lebih lentur dibanding tiga sampai empat dekade lalu. Tapi untuk urusan milih bibit, bebet, dan bobot, ya nurut masih dalam kondisi yang tidak jauh berbeda dari tiga dekade kemarin.

Tiba-tiba kepikiran untuk aktualisasi otoritas diri tanpa takut diberi predikat tidak pamrih atau malin kundang, alias durhaka. Sampai manakah nurut dan otoritas diri itu berarsiran? Atau jangan-jangan mereka tidak berarsiran? Ada yang bisa jawab?

Thursday, May 8, 2008

Kangen Ubud

Tiba-tiba pengen ngeliat sawah terasering di tanah dewata, Ubud. Kayanya hidup aman sentosa kalo di sana. Bisa ngga ya tinggal di Bali, specially Ubud.

Ada yang mau ngajak saya ke sana? Dijamin tawaran diterima saat itu juga!!!

Ternyata udah 1.5 Tahun

Berkat mimpi aneh soal perselingkuhan, tadi pagi pas mandi gua menghitung sudah berapa lama menikmati perasaan jatuh cinta ini bareng Ary. Itung punya itung, ternyata udah 18 bulan a.k.a 1.5 tahun.

Rada telat sebenarnya ingetnya, karena sekarang udah tanggal 8 padahal momentumnya dua hari lalu. Yah selama tetap inget,gua rasa perlu direnungin juga.

Setelah 1.5 tahun, gw baru tau kalo Ary itu gelian banget. Tapi dia ngeles dengan bilang sakit. Eh sayang, secara logika aja, orang ngelitikin itu cuman diraba doang. Jadi gimana datangnya sakit? Cari alasan yang masuk akal lah 'teng.

Tapi makin ke sini, emang makin seru karena tambah bisa merengek-rengek ala batita (bayi tiga tahun). Terus kemaren dia kasih puisi lagi buat gua, walau dia rada maksa untuk dibilang puisinya mirip karya Jalaluddin Rumi. Tapi terus terang yang, aku kangen dikasih puisi sama kamu kaya waktu awal-awal kamu menyakinkan aku.

Oiya,makin ke sini, Ary juga makin melibatkan gua dalam setiap keputusan. Pernah satu siang dia telepon gua untuk nanya apa yang harus dia lakukan meresponi permintaan seseorang. "Aku harus ngelibatin kamu yang, menurut kamu gimana?" Cie sangat mulai pake pendapatku nih sekarang.

Tapi Ary masih suka ngeledekin gua kalo lagi diskusi. Sok-sok bikin jiper gimana gitu, tapi gua kan punya stok muka sok tau banyak. Jadi cuek aja, yah paling pake jurus ngambek biar dia ngalah. Wakakakak. Emang paling bae nih orang. Eh paling bae apa paling gampang dikerjain ya?

I love u sayang...bahagia bisa barengan kamu terus :D