Saturday, December 4, 2010

Cukup 3 Suku Kata, BE-RA-HI!

Foto dari sini
Belakangan otak saya tak mau berhenti merangkai kata-kata. Semua yang terjadi ingin dideskripsikan dengan analisa dan esai panjang. Dan kali ini, saya mau menyusup masuk ke dalam yang namanya berahi.


Kenapa berahi, karena beberapa waktu lalu saya mendiskusikan ini pada seorang sahabat. "Kenapa sih kita punya berahi?" Pertanyaan standar memang, sama standarnya kaya, "Kenapa sih Tuhan harus ada?" Atau, "Bahagia itu apa sih?"


Dan dari semua pertanyaan standar itu, kita akan selalu bertemu dengan yang namanya psikologi serta eksistensi. Oiya, saya lagi tergila-gila dengan psikologi. Enak kayanya mengklasifikasikan manusia ke dalam kotak-kotak penyimpangannya masing-masing hihihiiii.


Oke kembali ke topik, berahi atau nafsu kalau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

be·ra·hi 1 n perasaan cinta kasih antara dua orang yang berlainan jenis kelamin; 2 a sangat suka; sangat tertarik: 3 n Tern gejala yg timbul secara berkala pd ternak betina sbg perwujudan berahi untuk dikawinkan;


Yang lucu dari definisi di atas adalah, birahi gejala yang timbul secara berkala pada ternak betina sebagai perwujudan berahi untuk dikawinkan. Hahahaha kenapa cuman betina? Bahasanya itu loh, sebagai perwujudan untuk dikawinkan. Jadi seharusnya betina yang aktif dalam proses perkawinan karena berahi adalah gejala yang timbul secara berkala pada BETINA. Kalau masuk dalam klasifikasi binatang, saya yang adalah perempuan adalah betina. Jadi UNTUNG aku BETINA :D


Mari kita lihat bagaimana Oxford Dictionaries mendefinisikannya.

Lust :
noun : strong sexual desire:
[in singular] a passionate desire for something:
(usually lusts) chiefly Theologya sensuous appetite regarded as sinful;
verb : have strong sexual desire for someone or something


Yang menarik adalah kamus Oxford memasukkan terminologi sinful alias tindakan berdosa untuk mendefinisikan berahi atau nafsu. Saya jadi ingat, ketika membahas ini dengan sahabat saya, dia bilang, "Nafsu itu dititipin Tuhan ke manusia untuk memenuhi bumi. Hanya untuk beranak-pinak." Lalu jika memang demikian, mengapa nafsu dikategorikan sebagai sesuatu yang sinful? Bukankah Tuhan yang ingin kita beranak-pinak? Jangan langsung dijawab.


Pernah penasaran ngga sih kenapa kita bisa menyebut sekumpulan rasa jatuh cinta atau gejala naksir orang sebagai nafsu? Atau bahkan pernah bisa dengan jago membedakan nafsu dengan cinta? Coba minta bantuan Om Google untuk mengumpulkan literatur atau penelitian seputar nafsu. 


Ternyata yang membuat kita bisa bernafsu adalah amygdala. Ini adalah pusat segala emosi kita. Mau tau ukurannya sebesar apa? Hanya sebesar KACANG ALMON! Btw, amygdala itu bahasa latin untuk almon.
Iya si kacang almon dalam otak itu bisa membuat seluruh saraf-saraf yang ada di tubuh kita ikut bereaksi ketika merasakan berahi, mulai dari mata berbinar-binar, bibir melembut, payudara memuncah, sampai organ genital siap untuk menerima pasangannya. Dan ada penelitian lebih menarik dari University of Melbourne, mereka bilang, semakin besar 'kacang almon' yang ada di kepala kita maka dorongan berahinya makin besar hahaha entah mengapa saya tertawa geli membaca hasil penelitian itu. 


Ternyata cerita Daud mengalahkan Goliat tak hanya ada pada kitab suci, melainkan dalam sistem otak kita yang begitu rumit dan canggih. Buat saya, si 'kacang almon' dalam otak ini ibarat Daud yang mengalahkan sistem kesadaran manusia. Bayangin aja, dari bagian otak yang gede-gede itu, semuanya menyerah ketika amygdala bekerja dan mengirimkan sinyal untuk waktunya kawin.


Saya jadi mikir, apakah kawin, bersetubuh, bercinta, atau apalah itu sebutannya, menjadi sangat esensial dalam keutuhan manusia. Sebelum kita jawab secara esensial, coba simak bagaimana statistik berbicara soal persetubuhan. 


Seorang Philip Muskin, MD., dari Columbia University, menyebutkan, pasangan menikah ada yang melakukan hubungan seksual sebanyak 68,5 kali dalam setahun. Ini artinya dalam seminggu hanya 1.3 kali. Jadi si Muskin ini dapat datanya dari Newsweek magazine dan mereka menyebut pasangan suami-istri yang masuk dalam kategori itu sebagai sexless marriage. Datanya masih baru, yaitu 2002 dan survei ini dilakukan oleh University of Chicago melalui National Opinion Research Center Report.


Dari data itu akhirnya dibuat pembatasan yang lebih jelas, 15 sampai 20 persen pasangan masuk dalam kategori sexless marriage, hanya karena hubungan seksnya kurang dari 10 kali dalam setahun. Dan ujung dari semua ini adalah kualitas pernikahan yang terus menurun seiring dengan berkurangnya intensitas bercinta. Bercinta dan langgengnya pernikahan...disimpen dulu aja ya analisanya. Kita lihat data berikutnya.


Saat saya melihat data sexless marriage itu, saya bertanya, "Apa iya? Dikit amat" hahahaha. Secara alam bawah sadar, kita terlalu biasa mengaitkan kehangatan cinta dengan skin to skin contact. Tapi bercinta tuh sebenarnya bukan sekadar sentuhan tubuh dengan tubuh kan. Saya ingat beberapa kali menghadiri liputan soal pentingnya kualitas bercinta, pakar-pakar yang dihadirkan cukup jelas bercerita bahwa bercinta itu butuh teknik. Bukan sekadar buka baju dan terlentang. 


Harus paham mood pasangan, sepaham titik-titik rangsang mana saja yang bisa mempermudah kita sampai pada klimaks. Ngga cuman itu, kadang kala bercinta juga menuntut situasi yang nyaman. Dan kenyamanan setiap orang selalu berbeda-beda. Ada yang masuk akal dan pasti ada yang tidak masuk akal (saya ngga mau menjabarkan keduanya, takut jatuhnya menjadi hakim atas teknik bercinta). Yah semuanya sangat tergantung pada kebutuhan dan fantasi orang yang terlibat dalam aktivitas intim yang nama lainnya bercinta. 


Tapi bercinta juga menyangkut harga diri, pride. Pernah dengar, orang merasa malu setengah mati ketika mengalami gangguan seksual. Pakar-pakar seksologi yang saya jumpai di liputan itu selalu dengan lantang mengucapkan, gangguan seksual bukanlah akhir dunia, semua bisa diatasi tapi syaratnya mau ke dokter. Tahu kenapa pakar berbicara seperti itu, karena banyak yang malu memeriksakan diri. Mereka seolah mempertaruhkan harga dirinya ketika tahu ada orang lain (baca : dokter) yang menganalisa masalah seksualnya. Padahal mana yang lebih memalukan dari beli pil perkasa di pinggir jalan atau berkonsultasi dengan orang yang belajar lebih dari 5 tahun untuk memahami mengenai hubungan seksual.


Ya itu, sensasi merasa perkasa dari pasangan adalah kepuasan yang menyelinap dari aktivitas selangkangan. Hubungan seksual memang punya nilai menguasai dan terkuasai. Posisi dan ukuran adalah batasan yang sering kali menjadi tolak ukur kepuasan dalam bercinta. Ini semua berujung pada kebutuhan kita untuk diakui, seperti teorinya Abraham Maslow, pengakuan itu adalah legitimasi bahwa eksistensi kita bukan sekadar titik-titik imajiner. Jadi jangan heran kalau ada yang sampai depresi ketika merasa tidak ada pengakuan keperkasaan seksual dari pasangannya. 

Tapi mana sih yang lebih riil, jatuh cinta atau persetubuhan? Saya pernah dengar sebuah teori yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, tapi lucunya, banyak yang percaya pada keabsahannya.  Teori itu adalah, buat perempuan; tatap mata, berpegangan tangan, dan nyaman berbicara dengan pasangan itu adalah kenikmatan yang lebih dari bercinta. Sedangkan bagi laki-laki, kenikmatan bercinta mengarah pada kualitas bersetubuh.

Yang membuat teori ini muncul dan pelan-pelan diamini oleh banyak orang adalah, sistem sosial kita mengarahkan kita untuk percaya bahwa laki-laki adalah pengendali interaksi dalam persetubuhan. Dalam urusan bercinta, perempuan selalu dianggap yang pasif, tidak boleh berhasrat lebih. Lagi-lagi ini berbicara mengenai pembagian peran siapa yang berkuasa dan dikuasai. Parahnya, persepsi ini membuat banyak diantara masyarakat yang menyakini laki-laki memang paling lemah dalam mengendalikan ‘rudal kecilnya’. “Yah namanya juga laki-laki, paling tidak tahan kalau digoda.” Buat saya, ini adalah kutipan yang menyerah sebelum berperang. Kutipan absurdlah, karena saya percaya, laki-laki juga dikasih nalar. Plus jika kita menerima kutipan itu bulet-bulet, sama artinya kita mengakui bahwa dunia ini memang hanya dikenalikan oleh urusan selangkangan. Buat saya, hidup lebih luas dari sekadar sejengkal di bawah pusar.
Foto dari sini


       Menurut Helen Fisher, PhD., dari Rutgers University, jatuh cinta itu dibagi dalam 3 kategori. Pembagian kategorinya didasarkan pada bagaimana otak mempersepsikan nafsu (lust). Jadi si Fisher mengumumkan kategori itu di depan seluruh psikiater di Amerikan pada acara Pertemuan Tahunan American Psychiatric Association. Penasaran? Ini dia pembagiannya:    
  • Jatuh cinta yang didasarkan pada kebutuhan untuk mendapatkan hubungan seksual sebagai gratifikasi. Ini dikendalikan oleh hormon kita. Ya laki-laki dengan androgennya dan perempuan dengan estrogen. Benar-benar murni karena kita punya nafsu.

  • Jatuh cinta karena ada ketertarikan. Ini jatuhnya lebih kepada cinta yang romantis dan gairah cinta. Ada euphoria di dalamnya. Seperti merasakan ada kupu-kupu dalam perut dan mengalami kekacauan emosi ketika harus berhenti menyintai. Ini dikendalikan oleh kadar hormon dopamin yang tinggi yang juga membuat serotonin merosot. Dopamin adalah hormon yang membuat kita bisa merasakan senang, ini adalah opium alami dalam otak. Dan serotonin adalah hormon yang keluar setiap kali stres. Klasifikasi yang kedua ini mau bilang kalau jatuh cinta karena ketertarikan akan membuat kita secara konstan menstimulasi diri untuk jatuh cinta sama pasangan. Dengan begitu, hormon dopamin alias opium alami akan terus terproduksi sehingga kita merasa sangat euphorik alias mabuk. Tapi saat patah hati, kita akan kecanduan dan merasakan sakaw seperti tubuh kehilangan kendali untuk menjadi sadar.

  • Jatuh cinta muncul karena adanya kasih sayang. Ini jenis cinta yang tenang, damai, dan tetap memiliki rasa nyaman terhadap pasangan dalam waktu yang panjang. Lagi-lagi pengendalinya adalah hormon. Tapi kali ini adalah hormon oksitosin dan vasopressin yang berperan. Ini adalah hormon yang membuat kita merasa terikat (bukan terikat yang terkekang ya tapi lebih ke terikat yang dekat atau attach). 

Buat saya apa yang dibagikan Fisher sangat menarik, walaupun sebenarnya timbul pertanyaan apakah memang jatuh cinta dan nafsu menjadi sangat ilmiah. Ada satu kutipan Fisher yang menarik, “Don’t copulate with people you don’t want to fall in love with.” Karena kata si Fisher, kalau kita tetap nekat untuk bersetubuh dengan orang yang mungkin tidak bisa membuat kita jatuh cinta, maka kita hanya sekadar berada pada kategori pertama. Merasa jatuh cinta hanya karena merasa butuh bersetubuh, demi sebuah penyaluran dorongan hormon.


Lagi-lagi mentoknya ke pilihan. Tapi saya semakin menyadari bahwa semua pilihan yang ada itu selalu diawali dengan kesadaran. Tidak mungkin kita bisa melihat ada pilihan kalau kita tidak sadar ada situasi yang mengarahkan kita untuk memilih. Dan biasanya, kesadaran itu berawal dari stimulasi yang sangat kecil yang kemudian masuk dalam batas nalar untuk mengartikulasikan apa yang terjadi.


Saya lantas teringat salah satu episode di serial Mental yang saya tonton beberapa hari lalu. Serial yang membuai saya dengan isu psikologis dan kejiwaan ini bercerita, ada seorang istri yang tiba-tiba mengalami hiperseks. Di satu sisi, suaminya adalah pengidap obsessive compulsive disorder (ODC). Jadi si suami bersedia untuk dibuka otaknya agar bisa sedikit dibetulkan ‘kabel’ saraf yang membuat dia mengalami ODC. Walaupun sebenarnya operasi pembetulan kabel itu tak akan membuat dia berhenti menjadi pengidap ODC. Suaminya merasa perlu melakukan semua itu agar istrinya tidak jenuh dengan keteraturan suaminya dan bisa kembali membangun rumah tangga yang harmonis.


Nah saat suami tengah dalam pemeriksaan, si istri tiba-tiba menggoda semua orang yang ada di rumah sakit itu. Mulai dari pasien sampai kepala psikiater yang diperanin si ganteng Chris Vance. Tapi justru si Vance yang merasa, nih orang tidak normal dengan segala dorongan seksualnya dan meminta sang istri untuk melakukan MRI. Ternyata emang benar, ada masalah pada amygdala-nya. Ada tumor yang menempel yang membuat amygdala ikut membesar. Tumornya tidak berisiko membuat dia mati, hanya saja dia menjadi ingin bercinta dengan siapa saja. Dan hasrat bercinta itu lah yang mungkin bisa membuat dia mati karena terkena HIV/AIDS.


Singkat cerita, si istri kaga mau dioperasi awalnya. Karena dia menjadi lebih percaya diri ketika berhasil membuat banyak laki-laki menyerah dan menikmati tubuhnya. Dan rasa percaya diri adalah sesuatu yang dia cari selama ini, karena sebelumnya dia tidak merasa menarik sama sekali. Jadi ketika tiba-tiba itu tumor nempel di amygdala-nya ada sensasi berani mengakui diri sehingga sekecil apapun bahasa tubuh yang dia buat, pasti akan ditangkap sebagai sinyal daya tarik oleh lawan jenis.


Tapi si Vance berhasil buat dia sadar. Caranya, dengan membawa dia ke klub murahan yang dipenuhi oleh laki-laki yang secara penampilan fisik tidak bersih dan menarik. Vence bilang, rasa seksi dan percaya diri yang dia nikmatin sekarang bisa jadi membuat dia berkenalan dengan penyakit menular seksual. Dan ketika dia bertemu dengan penyakit menular seksual itu, si Vence ngingetin bahwa tidak akan ada lagi rasa percaya diri. Ya akhirnya si istri meminta Vence untuk menyuruh timnya mengangkat tumor yang ada di amygdala-nya, sambil bilang supaya suaminya tidak usah dioperasi. Alasannya, mengangkat tumor akan benar-benar menyelamatkan dirinya dan pernikahannya. Jadi batas nalarnya dia memilih untuk mau menjadi sadar.


Saya jadi kepikiran, sebenarnya ada kesamaan antara ‘aku cinta kamu’ dengan ‘berahi’. Dua-duanya bertumpu pada angka 3. “It only takes three words to win your heart and that’s words is I Love You,” ini senjata pamungkas semua umat ketika membuat pasangannya untuk terbuai asmara. Dan angka 3 lainnya adalah, “Hanya butuh 3 suku kata untuk membuatmu berbaring dengan pasrah merasakan kulitku, yaitu be-ra-hi.” Hahahahaa maaf kalau rada maksa ya, cuman berusaha membuat penutup yang tidak mengarah pada pilihan apapun. Karena saya percaya, kita semua punya kemampuan untuk menyadari pilihan mana yang membuat kita memanfaatkan bagian otak yang lain, selain amygdala.




No comments: