Monday, November 17, 2008

Hidup Adalah Hari Ini

Pada hari ini, 27 tahun yang lalu, seorang perempuan bernama Nurmala Tambunan melahirkan saya, Priska Cesilia Rosida Siagian. Saya dilahirkan di salah satu rumah sakit pemerintah di Cimahi-Bandung, sekitar pukul 10 pagi.

Ibu saya bercerita, hari kelahiran saya tepat sepuluh hari setelah ayah saya diwisuda. Ayah saya, Marison Siagian, cukup lama kuliah di Universitas Parahyangan maka kelahiran saya adalah bonus tambahan buat mereka.

Ada cerita lucu dibalik nama saya yang panjang itu. Kata ayah saya, nama itu diambil dari salah satu mahasiswi Universitas Parahyangan, jurusan arsitektur dan bisa lulus dalam jangka waktu lima tahun. Kata ayah saya lagi, itu adalah waktu yang cepat. Karena ketika itu tidak ada sistem kredit semester. Maka dari itu, banyak diantara mereka yang jadi mahasiswa abadi. Yang penting bayar kuliah dan lulus.

Secara sepintas, ayah saya berharap agar saya mengikuti jejak Si Empunya Nama. Tapi, boro-boro kepikiran ambil jurusan arsitektur, jadi anak IPA aja bukan cita-cita. Yah tapi lumayanlah, saya hanya butuh waktu 4,5 tahun untuk lulus Universitas Padjadjaran. Lebih cepat setengah tahun dari yang punya nama :D

Saat saya di taman kanak-kanak, adik perempuan saya yang bernama Angela Agustina, meninggal dunia. Dia sakit keras ketika itu, karena jatuh dari tempat tidur dan pembantu saya tidak segera cerita ke orang tua saya. Jadi adik saya yang cantiknya memang seperti malaikat itu, akhirnya mengalami gangguan di otaknya.

Dia dirawat lama sekali di rumah sakit ST.Carolus. Saya ingat, dulu rumah sakit itu ada jerapahnya. Maka setiap kali menjengguk yang saya ingat bukan bau rumah sakit, tapi binatang berleher panjang. Pada malam kepergian adik saya, om saya membawa saya ke rumahnya. Rumah kami dekatan, dan saya melihat semua barang-barang adik saya ditaruh ke dalam mobil. Saya bertanya, "Kenapa barang adek, dibawa semua?" Om saya menjawab, "Ade Angela mau pulang." Saya tersenyum bahagia.

Tapi saya tidak dibawa ke rumah, melainkan ke rumah om saya. Saya diberi susu dan langsung tidur. Esok paginya, rumah om saya sepi sekali. Saya kelaparan dan takut untuk pergi sendiri ke rumah saya. Karena biasanya, saya selalu pergi kemanapun dengan abang saya. Entah angin apa, saya memberanikan diri untuk pulang ke rumah.

Dari kejauhan, saya melihat bendera kuning. Saya ngga begitu mengerti apa artinya, yang saya tahu tetangga-tetangga saya hanya mengusap-usap kepala saya. Sampai di rumah, saya melihat ibu saya meraung-raung begitu sedihnya. Abang saya nagis sesenggukan, begitu juga ayah saya. Saya dekati ibu saya, "Adek kenapa kok tiduran aja?" Mama saya malah menangis sambil peluk saya.

Saya belum mengerti kematian ketika itu. Yang saya tahu, ibu saya sangat bersedih bahkan sampai tidak makan berhari-hari. Konsep kematian ketika itu adalah pergi ke surga. Surga itu tempat yang cantik, makanya kata ibu saya, adik saya harus memakai pakaian terbaiknya agar terlihat cantik di sana.

Beranjak ke kelas tiga Sekolah Dasar, saya sempat merasa bosan menjalani hari-hari saya. Saya ingin mengintip apa yang tengah dilakukan abang saya, ketika saya sedang melakukan aktivitas saya. Saat itu saya bertanya, kenapa sih saya tidak bisa berada di dua tempat?

Saya belum kenal konsep ruang dan waktu ketika itu. Saya belum paham kalau setiap individu hanya mampu merasakan dan menjalani, apa yang sedang dihadapinya saat itu. Kita tidak bisa "mengintip" keberadaan orang lain.

Ruang, waktu, dan kematian, pada akhirnya saya sedikit punya konsep akan hal itu. Pengalaman hidup yang mempertemukan saya dengan definisi-definisi dari kata yang awalnya saya tangkap sebagai momen tertentu dan rasa penasaran. Kini dalam perjalanan yang membuat usia hidup saya semakin bertambah, rasa penasaran saya tidak pernah berhenti. Saya menemukan istilah baru dalam momen baru.

Kekecewaan, dihianati, jatuh cinta, ditolak, belajar, lulus, berkelahi, berdamai, hingga berserah diri, adalah hal-hal lain yang saya alami. Saya bisa terpuruk dan marah sejadinya pada Sang Pengatur momen. Tapi saya juga tidak dilarang untuk menangis dan tertawa, bersama Sang Pemberi Makna.

Saya pernah keluar dari persekutuan, karena saya merasa Sang Penyelamat yang saya kenal tidak sekaku itu. Tapi saya juga pernah menangis dalam doa dan lantunan lagu, karena saya diberi kepercayaan untuk sebebas apapun kepada Sang Sumber Rasa.

Setiap hari yang saya jalani, rasanya tidak ada yang tidak berharga. Ya amarah atau sukacita, setidaknya itu cerita yang terjadi. Dipandang sebelah mata dan diapresiasi, bisa terjadi dalam waktu yang bersamaan. Dan buat saya itu kenikmatan yang harus saya pilih. Karena tanpa itu semua, hidup saya akan flat.

Saya hanya akan menjadi karakter yang mengisi 9.855 hari saya dengan rutinitas. Saya tidak mau seperti itu, karena setiap 24 jam yang saya lalui adalah priviledge saya untuk menjadi ada. Karena itu, saya tidak mau sekedar biasa menghadapi pertambahan umur saya. Sudah menjadi tradisi bagi saya untuk berkontemplasi menjelang hari jadi saya.

Meskipun sudah setua ini, senang rasanya saya masih punya waktu merenungkan semuanya. Dan untuk angka 27, saya memilih dengan membuat rangkaian tulisan mengenai hidup. Semuanya berdasarkan pengalaman saya yang ditambah pengalaman dari perempuan hebat Suciwati. Sebagai pamungkas adalah tulisan ini.

Bahwa hidup adalah hari ini. Karena di hari inilah saya, mengawali semuanya. Saya hidup didunia dan coba menjalani semuanya sebaik mungkin. Bukan kesempurnaan yang saya kejar tapi kenikmatan. Karena hidup hari ini, terlalu berat untuk hanya diukur dalam kesempurnaan. Hidup adalah hari ini, karena semua yang terjadi adalah kepercayaan untuk menikmatinya. Buat apa terlalu pusing memikirkan bagaimana hidup akan berakhir. Jadi, mari nikmati hari ini karena hidup hari ini, terlalu berharga untuk dianggap sekedar rutinitas.

No comments: