Wednesday, November 3, 2010

Menghargai Diri

Senin (1/11) kemarin, saya dan Nida AKHIRNYA menonton Eat, Pray, Love. Penekanan pada kata,AKHIRNYA, karena sudah beberapa kali batal. Sebenarnya ada satu kali, kita bisa saja menonton film itu, tapi yang terjadi malah duduk di depan pintu theather-nya sambil makan semangkuk besar popcorn rasa manis dan asin. Hahahahaha itu pengalaman pertama, tapi sangat menyenangkan. Diliatin mba-mba penjaga tiket dan satpam, karena setelah semua yang menunggu masuk ke theather masing-masing, kami hanya duduk sambil makan popcorn sambil tertawa girang. Konyol? Ngga juga, kami justru sangat menikmatinya.

Tapi sebenarnya, bukan itu yang hendak dibahas pada tulisan kali ini. Jadi, salah satu adegan film itu ada kutipan yang bagus sekali. Tuhan ada di dalam dirimu, sebagaimana adanya dirimu. Muhammad Iqbal pernah mengatakan hal yang sejenis,"Dia yang mengenal dirinya adalah yang mengenal Tuhannya." Bahkan yang tidak kalah hebat adalah Syekh Sitti Jenar yang berucap,"Tuhan adalah kita dan kita adalah Dia." Bayangin apa yang ada di kepala mereka saat itu, sampai bisa mengeluarkan kata-kata penuh daya magis. Saya bahkan masih suka merinding ketika mendengarnya.

Dan saya mengimani hal yang sama. Kalau Alkitab bilang (jangan tanya ayat ya,saya selalu lemah dalam hal ini), Tubuhmu adalah bait suci Tuhan. Kalau bahasa premannya, tubuh kita adalah tempat tinggal Sang Pemilik Hidup. Inilah pesan yang dibuat untuk menggoda manusia agar yakin bahwa sebenarnya Tuhan itu ngga jauh-jauh amat kok.

Tapi buat saya itu benar. Entah karena dari kecil guru sekolah minggu saya selalu bilang, "Tuhan itu ada di dalam hati kita,jadi jangan takut ke mana pun kita pergi, Dia ada." Saya bahkan ingat betul kalau lagi takut yang saya lakukan adalah meletakkan tangan saya tepat di dada saya, sambil bilang,"Tuhan,tolong saya ya. Temenin saya terus, biar saya berani." Tangan di dada itu ibarat mengajak Tuhan bergandengan tangan.

Setelah saya besar ada pendalaman makna dari ucapan kakak sekolah minggu saya itu. Karena Tuhan tinggal dalam hati, maka jangan pernah asing dengan kata hati. Ketika kita mengenal kata hati kita, maka kita mengenali apa yang dikatakan Dia yang tinggal di dalam hati.

Ternyata omongan kakak sekolah minggu saya soal Tuhan tinggal di dalam hati, tidak hanya membuat saya punya kedekatan dengan kata hati saja. Sebab saya jadi mengerti bagaimana menghargai diri saya. Ketika Tuhan yang Maha Hebat itu mau tinggal dalam hati saya, masa saya merendahkan diri saya sendiri. Ada sesuatu yang Tuhan liat yang membuat Dia mau tinggal sebagai kata hati saya.

Ini membuat saya jadi percaya diri. Tidak hanya itu, Saya jadi sangat tulus menjalani apapun. Karena menurut saya, tiap hari saya ditemenin Tuhan, lalu kenapa saya harus takut, toh semua yang terjadi pasti hal yang paling sempurna yang akan saya alami. Tak perlulah itu bertipu muslihat. Wong saya didampingi Tuhan kok.

Efek bola saljunya ngga berhenti sampai sana. Saya jadi sangat menghargai setiap apa yang saya kerjakan. Saya ngga mau mengisi setiap langkah kaki saya dengan pesimisme atau ketakutan. Caranya, buat semua yang saya lakukan berarti.

Kalau diliat sekilas, kok kayanya saya suci banget ya hahahaha. Atau klise bangetlah semuanya. Nggalah, saya pernah juga mengabaikan kata hati atau bahkan berantem sama kata hati. Tapi lagi-lagi ini proses dan saya yang memilih bagaimana menjalani proses tersebut, jadi ya saya bertanggung jawab atas pengabaian dan perkelahian dengan kata hati. Bertanggung jawab maksudnya menerima segala risiko yang ada dari semua pilihan yang diambil. Kalau gagal ya saya ajak kata hati untuk sama-sama belajar agar tidak mengulangi kegagalan yang sama. Sedangkan kalau berhasil, saya cepat-cepat menyelamati kata hati atas kesuksesan yang kita raih.

Dan bicara soal kata hati, hampir 3 bulan ini saya dan kata hati mengalami banyak hal. LUAR BIASA. Penuh air mata, kekecewaan, keterpurukan, sakit hati, keyakinan, keberserahan, sampai kebahagiaan. Meski 3 bulan, inti masalahnya cuman 1 yaitu masalah hati :D

Saya sih tidak pernah menyesal jatuh hati untuk kemudian mengalami patah hati dengan cerita dan intrik yang melebihi sinetron atau opera sabun yang ada di televisi. Mulai dari kehilangan keyakinan terhadap hubungan yang sudah siap disempurnakan, pengalihan pelaku perselingkuhan, sampai perlindungan perselingkuhan. Hahahaha baru sadar ternyata intinya tentang perselingkuhan.

Anyway, saya banyak dihadapkan dengan keping-keping puzzle selama 3 bulan ini. Saya dibuat percaya bahwa kepingan puzzle yang saya punya adalah yang sesungguhnya terjadi. Tapi (untung) saya orangnya penasaran, sehingga merasa tidak cukup puas kalau kepingan puzzle itu belum benar-benar utuh terbentuk. Mungkin ini efek kerjaan saya sebagai kuli tinta. Saya mencari dan terus mencari. Dan hebatnya, kepingan puzzle yang 'hilang' itu datang dengan sendirinya. Boleh dibilang usaha saya adalah keterbukaan saya pada realitas.
Saya bicara pada realitas dengan tutur kata hati, alhasil banyak sekali yang membantu saya. Mulai dari orang-orang yang tidak saya kenal, nyaris kenal, sangat kenal, sampai belajar untuk kenal.

Jika dulu saya bertanya, "Gimana mungkin sih, baru nyadar sekarang kalau kita tidak memiliki kesamaan dalam ritualisasi bertuhan. Pas kenalan kemana aja?" Lalu kemudian pertanyaan berganti, seiring dengan kepingan puzzle baru ditemukan. "Demi perasaan impulsif karena merasa nyaman berbicara mengenai satu pengarang, semua cerita dan mimpi yang dibangun selama ini cuman dianggap titik imajiner yang tak akan pernah bersambung. Kok bisa ya?" Tapi saya beruntung, kepingan puzzle yang diberikan kepada saya sebagai wujud (katanya) penyesalan, akhirnya menjadi energi yang justru mendukung saya.

Sampai kemudian datang kepingan terbesar dari semua ini. Kepingan yang paling jujur dan sebenarnya sangat letih membebani diri membawa kemana-mana kepingan besar itu, demi sebuah...ah entah namanya apa. Biar mereka yang mendefinisikannya, saya tidak peduli.

Dan gambarnya terbuka lebar. Bahkan cukup dengan mengandalkan teknologi yang paling sederhana, disajikan gambar yang utuh. Gambar yang tidak butuh kepingan-kepingan puzzle yang lain. Semuanya terbaca jelas. Walaupun sempat ditutup rapat, entah mengapa kejujuran berpihak pada saya, semuanya terbaca dengan jelas. Sangat teramat jelas.

Saat saya membaca, saya menemukan saya yang dulu. Nyaris sama. Rasa yang diciptakan. Panggilan yang diberikan. Kehangatan yang coba ditawarkan. Tapi nyaris sama, mengapa? Yang saya baca penuh ketertutupan. Serba rahasia. Serba menyudut. Dan serba menunjuk pada orang lain. Apa cerita ini memang dibuat atas dasar kesadaran untuk menjadi salah. Saya tidak menemukan kata hati di dalam sana. Tidak ada ketulusan karena yang ada hanya tipu muslihat.

Dan dengan yakin, kata hati saya mengatakan, "Kita, bukan korban." Ya ketulusan dan kejujuran saya mengatakan demikian. Yang saya lakukan kemudian adalah menganggukkan kepala dengan sangat tegas. Tiba-tiba saya teringat kata-kata seorang teman yang juga pernah dikhianati,"Yang gua tahu, yang salah tak akan pernah bahagia karena kebahagiaan tidak menyertakan kebahagiaan."

Saya merasa sangat luar biasa lega. Tiba-tiba saya merasa karakter saya semakin matang dan kuat. Saya tidak gagal, saya justru berhasil, LUAR BIASA BERHASIL untuk menunjukkan ketulusan dan kejujuran akan selalu memenangkan pergumulan. Selicik dan sekotor apapun pergumulan itu.

Bagaimana mungkin kebahagiaan itu datang menghampiri, jika mereka mengorbankan orang asing demi kesenangan bertipu muslihat. Bahkan mereka mengorbankan orang terdekat dengan iming-iming julukan teman terbaik, demi penghianatan. Lalu saya bertanya, apa yang mereka lakukan dengan kata hati mereka? Terasingkah dia atau terlukakah dia karena dicampakkan begitu saja dari keutuhan dirinya?

Saya tidak akan menyesal menjalani semua ini. Rasa yang dulu saya punya pun tidak akan pernah saya sesali. Itu mengapa, saya tidak menutup blog ini atau coba memproteksinya, bahkan saya tidak berpikir untuk menganti nama blog ini. Karena ini adalah identitas saya dan saya tidak malu akan hal itu. Ini adalah suara hati saya dan saya tidak akan pernah mengasingkan kata hati saya. Semua yang saya catat di sini adalah ketulusan saya menghargai hidup yang sudah diberikan dengan dampingan Pemilik Kata Hati. Jadi, saya tak perlu merasa harus mengalienasikan blog ini. Karena buat saya, cerita dan pemikiran yang ada di dalamnya bukan unidentified flying object yang hanya jadi buah bibir ketika tertangkap mata telanjang yang perlu perdebatan panjang untuk menemukan sisi benarnya.

Dengan segala kerendahan hati, saya sangat bangga karena punya keberanian untuk menghadapi ini semua. Dan saya sangat menghargai setiap orang yang sekadar mampir, singgah, atau memilih menetap dalam hidup saya sambil menyemangati saya. Buat saya, mereka adalah orang-orang penting. Karena saya peduli, maka saya mengajak berbicara dari hati ke hati. Saya mengulurkan tangan karena saya sangat mengasihi. Dan apabila saya berbicara sambil menempatkan tangan di dada, itu tanda saya tengah mendoakan orang-orang tersebut. Iya saya metal, bahkan cenderung radikal plus nekad, tapi saya sangat percaya kuasa doa.

Karena doa, membuat saya punya kekuatan untuk menghadapi semua ini. Dan sumber dari kekuatan saya sangat banyak, teman-teman saya yang luar biasa. Akan selalu beruntung punya banyak teman karena sebenarnya mereka adalah salah satu hadiah dari Tuhan, setelah keluarga. Bahkan kadang kala tanpa kita sadari, orang yang tidak pernah kita duga menjadi teman ternyata adalah salah satu special gift dari Tuhan. Dan saya lebih dari sekadar beruntung untuk memiliki kalian semua.

Dengan segala kerendahan hati, saya sangat ingin berterima kasih untuk semangat, masukan, sentuhan, pelukan, dan doa yang kalian kirim buat saya. Ingin saya menyebutkan satu-satu tapi ada beberapa pihak yang ingin dirahasiakan. Biarlah ini menjadi special gift terindah saya menjelang ulang tahun saya. Tapi percayalah, saya melafalkan nama-nama kalian semua dengan jelas dalam doa saya. Dan saya percaya, SAHABAT HIDUP yang saya punya tidak punya keterbatasan dalam daya ingat, jadi Dia sudah memasukkan teman-teman semua dalam daftar penting arsiran hidup saya.

Melalui tulisan ini, saya ingin mengirimkan pelukan besar dan ketulusan cinta yang saya punya untuk kalian. Ayo kita menikmati hidup dengan menghargai setiap hal yang terjadi sama seperti kita menghargai diri kita. Seperti salah satu kata bijak yang dicatat dunia, Kasihilan sesamamu seperti engkau menghasihi dirimu sendiri :D

Dengan segala kerendahan hati, kalau kalian butuh menambah sedikit ketulusan dalam menikmati semua itu, saya siap hadir karena itu berkat yang saya dapat serta siap saya bagi-bagikan. Plus kalau kalian butuh sedikit 'kegilaan' dalam menikmati hidup, saya siap hadir untuk memberikan keberanian yang saya punya di dalam hati kecil saya. Serta kalau kalian butuh sentuhan dan pelukan kasih sayang untuk membuat hidup sedikit lebih manis, hadirkan saya. Sebab kadang kala dunia bisa begitu dingin jika dihadapi sendirian. Jadi, beginilah tulisan terima kasih saya dari hati yang paling dalam. Kepanjangan, pasti. Hahahahaha...karena saya baru saja melalui proses mematangkan diri dan saya tidak sabar untuk memasuki proses selanjutnya. Tertarik untuk bergabung?

God bless you all my dearest friends. Thank you for being more than friends, all of you are gifts from heaven. And this up coming birthday, I wouldn't ask for more coz I have you all. Dan pelukan besar pun terkirim ;D



Friday, October 29, 2010

Matahari untuk Si Pecandu Pagi


Tulisan ini dibuat untuk seorang teman yang baru saja saya kenal, bahkan saya baru bertemunya sekali. Mmm...saya menulis ini untuk menyemangati Norvan Hardian a.k.a Si Pecandu Pagi karena saya tak punya amunisi lain selain tulisan.

Btw nickname yang bagus. Dari awal Hanida Syafriani cerita tentang Pecandu Pagi, saya langsung tertarik dengan nama aliasnya. Sampai pada gelaran Book Fair Jakarta setahun kemarin, saya menerima ajakan Nida untuk menghadiri launching komiknya yang berjudul Pamali, akhirnya saya tahu dari mana asal muasal sebutan Si Pecandu Pagi.

Saya kagum dengan kecintaan dia pada dunia komik. Dari bangku kuliah sudah mulai membuat komik sendiri dengan menggunakan spidol biasa yang kemudian difoto kopi untuk disebarkan ke teman-teman. Idenya sangat fresh, khas bobodoran anak Bandung dengan imajinasi yang tinggi. Bayangin aja, tokohnya punya 6 lubang hidung. Sampai sekarang saya masih suka tertawa geli membayangkannya.

Saya sampai iri karena tidak berhasil mendapatkan komik perdananya. Sedangkan Nida, dapat komiknya gratis plus ditanda-tangani langsung. Hihihihihihi rada-rada aneh mungkin, tapi saat melihat dia bercerita santai mengenai komik pertamanya, saya yakin karakter unik itulah yang bisa membuat dia sukses suatu hari nanti.

Bayangin aja, sewaktu dia diminta duduk di depan sebagai penulis buku, dia dengan tiba-tiba meminjam otopet yang kebetulan saya dapat dari doorprize liputan. Dan waktu itu sang MC, Boim Lebon bertanya, "Ngapain bawa-bawa otopet?" Pecandu pagi hanya menjawab,"Ya itu biar ditanya." Pastilah semua orang tertawa, termasuk saya.

Lalu saya perhatikan, otopet itu tidak sekadar ditenteng untuk memeriahkan suasana, beberapa kali saya lihat dia memandangi otopet dengan serius. "Duh pengen mainin banget deh gua. Buat gua aja boleh ngga?" Dan saya hanya bisa bilang, "Ini kan otopet buat anak-anak, kekecilan juga kali." "Hmmm...iya juga sih," ucapnya dengan wajah memelas. Padahal kalau saya jadi dia, launching buku pertama akan diisi dengan perasaan deg-degan karena mimpi jadi kenyataan. Yah tipe orang santai memang selalu rileks dalam memandang hidup tapi bukan berarti meremehkan.

Sebab dari analisa kilat yang saya lakukan ketika itu, saya menangkap Pecandu Pagi akan menjaga passionnya mati-matian. Apapun dilakukan demi sesuatu yang membuat dia hidup. Lagi-lagi saya percaya ada yang unik dari pribadi ini. Yah saya memang tidak mengenalinya secara utuh tapi buat saya apa yang saya tahu cukup membuat saya tersenyum.

Sampai beberapa hari lalu, Nida cerita kalau ada tumor di pankreasnya. Bahkan hari ini, beritanya lebih dasyat lagi, tumor itu ternyata kanker yang sudah memasuki stadium 4 yang membuat Pecandu Pagi katanya hanya bisa bertahan selama 6 bulan. Berita yang tidak enak untuk didengar, bahkan untuk orang yang tidak begitu akrab dengan Pecandu Pagi seperti saya.

Saya langsung teringat tulisan saya sebelumnya, What if... Bahwa waktu memang hanya bisa kita hitung. Tapi Saya juga disadarkan telah diberi kesempatan untuk mengenal Si Pecandu Pagi. Dan kini waktunya saya memperkenalkannya pada pembaca blog saya (ada kan ya hihihiihi). Anyway, saya merasa Si Pecandu Pagi penting untuk dimasukkan ke dalam salah satu halaman cerita blog (baca:hidup) saya, sebagai wujud apresiasi saya pad orang yang punya passion dalam hidupnya.

Walaupun sebenarnya saya tahu, betapa yang dia alami sekarang sangat berat dan mungkin tulisan ini tak bisa berbuat banyak. Saat Nida cerita tentang 6 bulan, yang pertama kali saya pikirkan adalah,"Kita ajak dia jalan-jalan yuk Nid. Kita ajakin ke Bali aja, ikut rencana gila kita." Tapi saat ini sepertinya pengobatan harus menjadi prioritas, entahlah kita toh belum benar-benar menanyakan langsung pada Si Pecandu Pagi. Lalu saya juga bilang ke Nida, "Kita masih bisa rayu Tuhan kok Nid, 6 bulan itu kan prediksi dokter dan yang punya waktu bukan dokter."

Apa sih yang bisa kita lakukan untuk menyemangatinya? Entahlah saya pun sulit menjawabnya, karena untuk membuat tulisan ini saja saya membaca berulang-ulang. Menghapus beberapa kata dan menggantikan dengan kata yang baru. Judulnya saja, saya ganti beberapa kali. Saya takut ada yang salah dimengerti dari tulisan ini. Padahal dari awal saya ingin sekali menuliskan sesuatu untuk menunjukkan empati saya, lagi-lagi karena saya merasa tulisan adalah satu-satunya amunisi yang saya punya.

"Dia tersinggung ngga ya, kalau gua nulis di blog? Hanya pengen menyemangati aja, takutnya kalau gua SMS, dia ngga inget dan ngerasa aneh," semua rasa segan itu saya ceritakan ke Nida. "Mmmm...karena dia termasuk orang yang gila, gua rasa dia bakal santai-santai aja kalau lu nulis. Ntar gua suruh dia baca deh," Nida coba menenangkan. "Eh ternyata dia masih inget lo, si pemilik otopet," kembali SMS dari Nida menyakinkan saya untuk menulis.

Well Si Pecandu Pagi, if you reading my blog, saya hanya ingin katakan bahwa akan selalu ada matahari yang mengawali pagi. Saya rasa sebagai Pecandu Pagi, lu pasti ngerti banget gimana nikmatnya memiliki rasa penasaran akan seperti apakah sinar matahari hari ini. Ternyata nickname yang lu pilih bukan sekadar unik tapi juga penuh harapan. Nickname ini memberikan terminologi baru dalam memaknai hari baru. Kita harus menjadi pecandu pagi untuk bisa menggilai hidup. Dan rasanya tidak ada yang perlu dikuatirkan dari diagnosa dokter itu, karena Si Pecandu Pagi sudah lebih dulu berani 'menikahi' matahari untuk dapat mengendalikan apa yang akan terjadi hari ini.

Jangan menyerah ya, semua yang terjadi ada untuk kita hadapi.
Jangan berhenti menggilai hidup ya, karena hidup ada untuk diperjuangan sampai titik kenikmatan terakhir.
Apapun nama rintangan itu, dia ada hanya untuk kita lalui dengan amunisi kemenangan yang sudah ada di tangan.
Tak ada kata kalah bagi penggila hidup. Sama seperti tak ada awan gelap bagi pemilik matahari pagi.
Nida dan saya, hanyalah sebagian kecil dari yang diam-diam ikut menatap matahari pagi bersama-sama Si Pecandu Pagi. Karena pagi begitu berharga untuk sekadar dilalui seorang diri.
Jadi, mari kita hadapi sama-sama.

Tak ada hari yang harus dibatasi. Sebab matahari akan selalu ada, tak peduli seberapa lambat atau cepat dunia berputar.
Dan sebagai pendamping hidup matahari, rasanya kita tak perlu takut akan pergantian waktu.
Sebab matahari tak kenal kadarluarsa. Dan hanya orang-orang yang punya nyali yang berani menikahi matahari, dialah para Si Pecandu Pagi.

Saya tidak menjanjikan tulisan ini akan meringankan beban. Tapi saya dan Nida menjanjikan, akan selalu ada energi baru yang siap kami tularkan. Jadi setiap kali menanti pagi, tolong jangan merasa sendiri. Setidaknya ada dua orang yang akan selalu ikut menatap matahari yang sama.

Tetap semangat ya.

Salam hangat dari kupu-kupu yang selalu berani untuk terbang ringan ke angkasa dan si pedestrian yang tidak pernah merasa takut untuk menapaki jalan-jalan panjang tak bertuan.

Mari kita menggilai hidup !!!

Wednesday, October 27, 2010

What if....

Hari ini, semua orang membicarakan bencana, mulai dari Tsunami di Mentawai, Gunung Merapi meletus, sampai banjir di mana-mana. Tiba-tiba semua orang tersadarkan atas betapa semuanya serba tidak pasti. Tidak ada yang bisa memegang waktu yang kita bisa lakukan hanyalah menghitung waktu.

Ada yang bilang, bumi kita semakin tua. Dan ini biasanya diikuti dengan kesadaran untuk mulai melindungi bumi. Bumi meminta kita bertanggung jawab, begitu tulis mereka yang percaya bahwa manusia sudah terlalu serakah. Ada juga yang menyebut semua bencana sebagai kesadaran bahwa semuanya milik Tuhan, tidak ada kepemilikan abadi di dunia ini.

Semua merasa diingatkan akan arti sebuah kehilangan. Tapi berapa lama sih kita bisa menjaga kesadaran akan sedihnya sebuah kehilangan. Pertanyaan sinis saya sih, setelah berbagai peristiwa bencana ini lewat, kita juga akan kembali mabuk kepayang lagi. Terlalu sinis kayanya.

Tapi memang itu yang sering kita lakukan. Kita baru merasa memiliki sesuatu yang berharga setelah kehilangan sesuatu. Menurut saya ini adalah teori kelalaian, iya lalai menghargai hidup. Saya percaya pada teori harapan. Teori ini membuat kita menyadari bahwa apa yang kita miliki sekarang adalah PENTING, tidak perlu tunggu waktu kehilangan untuk memiliki makna tersebut. Karena hidup itu bukan permainan judi yang semuanya tergantung dari berapa besar taruhan yang kita letakkan di muka sang bandar. Hidup juga bukan permainan saham yang butuh modal besar biar untung besar, sebab saham-saham bagus harganya mahal. Jadi relalah menghilangkan sebagian dari apa yang kita punya untuk sesuatu yang (mungkin) memberikan keuntungan besar. Lagian, kalau hidup dilihat sebagai meja judi, kok kayanya kasihan ya Tuhan yang serba bisa itu diartikan sebagai bandar judi yang hanya mikir gimana caranya ngadalin penjudi. 

Sebagai penganut teori hidup adalah harapan membuat saya akan selalu menjaga apapun yang saya punya. Karena buat saya, apa yang saya kerjakan sekarang akan memberikan dampak pada hari-hari yang akan datang, ada atau tanpa saya. Mengapa? Percaya deh, harapan itu ngga bisa mati. Harapanlah yang membuat setiap udara yang kita nikmati menjadi berharga, karena kita percaya setiap apa yang kita kerjakan bermakna, tidak perlu nunggu sampai waktu menghentikan semuanya. Bahwa harapanlah yang membuat kita berjuang untuk membentuk kesempurnaan.

Lalu pertanyaan besar datang menghampiri. What if, today is your last day?

Tenang-tenang, ini bukan posting untuk harakiri. Saya terlalu berharga untuk mengakhiri hidup dengan sekadar bunuh diri demi harga diri semu.

Ok berbicara mengenai kematian, saya yang pecinta hidup ini rada males sebenarnya membahas hal tersebut. Tapi saya punya proses panjang untuk memaknai kematian. Sewaktu adik perempuan saya dikubur, udah lama sih sekitar 25 tahun lalu, saya melihat dia begitu cantik dengan baju kesukaannya. Tubuhnya putihnya terasa damai sekali berbaring dalam peti kayu berwarna cokelat. Lalu petinya ditutup. Saat-saat penutupan peti itulah saya bertanya dalam hati, "Ade ngga sesak napas ya? Dia ngga takut ya sendirian? Dia ngga ngerasa sempit ya di kotak kayu itu?" Dan sebenarnya banyak sekali pertanyaan untuk dia, Angela namanya, cantik secantik orangnya.

Saat tanah mulai menghujani peti kayu itu, pertanyaan-pertanyaan sejenis kembali muncul. "Kenapa mesti ditutup pake tanah, kan kasian ade ngga bisa napas." Pertanyaan-pertanyaan polos anak-anaklah. Dan begitu sampai di rumah, keluarga saya masih berduka. Memandangi baju-baju ade yang tersisa dan mainan yang dulu dia punya. Meskipun sebenarnya mainan kita tidak banyak karena hidup begitu susah ketika itu.

Sampai akhirnya hari ini, saya sudah hidup 1/4 abad lebih dan menyaksikan begitu banyak cerita dukacita. Saya ingat, betapa teman gereja saya meraung sejadi-jadinya ketika mamanya meninggal dunia. Atau seorang teman kuliah yang ibu dan bapaknya meninggal dalam waktu berdekatan bercerita bahwa seharusnya kita kenal dengan orang tuanya. "Bokap dan Nyokap gua tuh orang yang baik banget, harusnya kalian kenal mereka."

Saya tersadar, betapa cerita duka cita tidak pernah memberikan kesan menyenangkan selalu ada air mata. Tapi pernyataan teman saya yang terakhir yang menyadarkan saya. Sebenarnya kami tidak terlalu dekat, hanya sama-sama satu jurusan. Dan saya menghampiri dia untuk memberikan pelukan dukacita, saat itulah dia berkata demikian. "Seharusnya kalian kenal mereka." Saya tertohok karena ketika teman saya berkata demikian yang menderita kerugian bukan yang berduka tapi saya. Kehilangan terbesar ada pada saya, karena tak ada waktu yang menghampiri saya untuk memberikan kesempatan berkenalan dengan orang tuanya.

Lalu saya tersadar, apa yang telah kita lakukan pada orang-orang yang sudah diberi kesempatan untuk menghampiri kita. Apa yang kita lakukan untuk menjaganya? Apa yang kita lakukan untuk membuat orang lain mengenalinya? Teman saya mengajarkan saya untuk tidak menyimpan sendiri. Buat saya, ini masuk dengan teori harapan. Ketika kita membagikan semangat dari orang-orang yang membuat kita lebih berani menghadapi hidup maka harapan itu tidak akan pernah mati.

Dan lagi-lagi teori kehilangan itu bukan selalu berawal dari apa yang kita miliki. Kadang kita justru akan merasa kehilangan ketika kita benar-benar tidak punya waktu untuk memiliki. Suka atau tidak, kepemilikan itu menuntut tanggung jawab. Apa ini artinya tidak memiliki sama dengan tanpa tanggung jawab? Jangan langsung berpikir jadi orang yang mau ngampangnya saja karena tidak memiliki dalam konsep yang diberikan teman saya itu, menyadarkan saya untuk menghargai apa yang belum kita punya. Caranya? Hargai dulu apa yang kita punya. Karena apa yang bisa kita jaga sekarang adalah harapan yang akan menjadi kenyataan, ada atau tanpa kita.   

Lama sekali saya bisa merampungkan tulisan ini. Sampai kemudian pertanyaan ini muncul lagi, "What if today would be our last day on earth?" Apa yang menjadi jawaban kita? Sudahkah kita menjaga orang-orang yang paling kita sayangi dengan benar? Sudahkah kita menghargai waktu yang diberikan untuk mengenali mereka? 

Ayo berhenti menjadi orang rakus dengan meletakkan begitu banyak taruhan di meja judi yang baru menyadari kehilangan hal yang paling berharga setelah bandar mengatakan, "Selamat Anda Kalah!" Karena waktu hanya bisa dihitung dan kita tidak bisa tahu kapan hitungan itu berhenti, bisa sekarang, 2 menit lagi, 2 jam lagi, 2 hari lagi, 2 minggu lagi, 2 bulan lagi, 2 tahun lagi, 20 tahun lagi atau bisa juga 2 kalimat terakhir dari paragraf ini.