Friday, October 29, 2010

Matahari untuk Si Pecandu Pagi


Tulisan ini dibuat untuk seorang teman yang baru saja saya kenal, bahkan saya baru bertemunya sekali. Mmm...saya menulis ini untuk menyemangati Norvan Hardian a.k.a Si Pecandu Pagi karena saya tak punya amunisi lain selain tulisan.

Btw nickname yang bagus. Dari awal Hanida Syafriani cerita tentang Pecandu Pagi, saya langsung tertarik dengan nama aliasnya. Sampai pada gelaran Book Fair Jakarta setahun kemarin, saya menerima ajakan Nida untuk menghadiri launching komiknya yang berjudul Pamali, akhirnya saya tahu dari mana asal muasal sebutan Si Pecandu Pagi.

Saya kagum dengan kecintaan dia pada dunia komik. Dari bangku kuliah sudah mulai membuat komik sendiri dengan menggunakan spidol biasa yang kemudian difoto kopi untuk disebarkan ke teman-teman. Idenya sangat fresh, khas bobodoran anak Bandung dengan imajinasi yang tinggi. Bayangin aja, tokohnya punya 6 lubang hidung. Sampai sekarang saya masih suka tertawa geli membayangkannya.

Saya sampai iri karena tidak berhasil mendapatkan komik perdananya. Sedangkan Nida, dapat komiknya gratis plus ditanda-tangani langsung. Hihihihihihi rada-rada aneh mungkin, tapi saat melihat dia bercerita santai mengenai komik pertamanya, saya yakin karakter unik itulah yang bisa membuat dia sukses suatu hari nanti.

Bayangin aja, sewaktu dia diminta duduk di depan sebagai penulis buku, dia dengan tiba-tiba meminjam otopet yang kebetulan saya dapat dari doorprize liputan. Dan waktu itu sang MC, Boim Lebon bertanya, "Ngapain bawa-bawa otopet?" Pecandu pagi hanya menjawab,"Ya itu biar ditanya." Pastilah semua orang tertawa, termasuk saya.

Lalu saya perhatikan, otopet itu tidak sekadar ditenteng untuk memeriahkan suasana, beberapa kali saya lihat dia memandangi otopet dengan serius. "Duh pengen mainin banget deh gua. Buat gua aja boleh ngga?" Dan saya hanya bisa bilang, "Ini kan otopet buat anak-anak, kekecilan juga kali." "Hmmm...iya juga sih," ucapnya dengan wajah memelas. Padahal kalau saya jadi dia, launching buku pertama akan diisi dengan perasaan deg-degan karena mimpi jadi kenyataan. Yah tipe orang santai memang selalu rileks dalam memandang hidup tapi bukan berarti meremehkan.

Sebab dari analisa kilat yang saya lakukan ketika itu, saya menangkap Pecandu Pagi akan menjaga passionnya mati-matian. Apapun dilakukan demi sesuatu yang membuat dia hidup. Lagi-lagi saya percaya ada yang unik dari pribadi ini. Yah saya memang tidak mengenalinya secara utuh tapi buat saya apa yang saya tahu cukup membuat saya tersenyum.

Sampai beberapa hari lalu, Nida cerita kalau ada tumor di pankreasnya. Bahkan hari ini, beritanya lebih dasyat lagi, tumor itu ternyata kanker yang sudah memasuki stadium 4 yang membuat Pecandu Pagi katanya hanya bisa bertahan selama 6 bulan. Berita yang tidak enak untuk didengar, bahkan untuk orang yang tidak begitu akrab dengan Pecandu Pagi seperti saya.

Saya langsung teringat tulisan saya sebelumnya, What if... Bahwa waktu memang hanya bisa kita hitung. Tapi Saya juga disadarkan telah diberi kesempatan untuk mengenal Si Pecandu Pagi. Dan kini waktunya saya memperkenalkannya pada pembaca blog saya (ada kan ya hihihiihi). Anyway, saya merasa Si Pecandu Pagi penting untuk dimasukkan ke dalam salah satu halaman cerita blog (baca:hidup) saya, sebagai wujud apresiasi saya pad orang yang punya passion dalam hidupnya.

Walaupun sebenarnya saya tahu, betapa yang dia alami sekarang sangat berat dan mungkin tulisan ini tak bisa berbuat banyak. Saat Nida cerita tentang 6 bulan, yang pertama kali saya pikirkan adalah,"Kita ajak dia jalan-jalan yuk Nid. Kita ajakin ke Bali aja, ikut rencana gila kita." Tapi saat ini sepertinya pengobatan harus menjadi prioritas, entahlah kita toh belum benar-benar menanyakan langsung pada Si Pecandu Pagi. Lalu saya juga bilang ke Nida, "Kita masih bisa rayu Tuhan kok Nid, 6 bulan itu kan prediksi dokter dan yang punya waktu bukan dokter."

Apa sih yang bisa kita lakukan untuk menyemangatinya? Entahlah saya pun sulit menjawabnya, karena untuk membuat tulisan ini saja saya membaca berulang-ulang. Menghapus beberapa kata dan menggantikan dengan kata yang baru. Judulnya saja, saya ganti beberapa kali. Saya takut ada yang salah dimengerti dari tulisan ini. Padahal dari awal saya ingin sekali menuliskan sesuatu untuk menunjukkan empati saya, lagi-lagi karena saya merasa tulisan adalah satu-satunya amunisi yang saya punya.

"Dia tersinggung ngga ya, kalau gua nulis di blog? Hanya pengen menyemangati aja, takutnya kalau gua SMS, dia ngga inget dan ngerasa aneh," semua rasa segan itu saya ceritakan ke Nida. "Mmmm...karena dia termasuk orang yang gila, gua rasa dia bakal santai-santai aja kalau lu nulis. Ntar gua suruh dia baca deh," Nida coba menenangkan. "Eh ternyata dia masih inget lo, si pemilik otopet," kembali SMS dari Nida menyakinkan saya untuk menulis.

Well Si Pecandu Pagi, if you reading my blog, saya hanya ingin katakan bahwa akan selalu ada matahari yang mengawali pagi. Saya rasa sebagai Pecandu Pagi, lu pasti ngerti banget gimana nikmatnya memiliki rasa penasaran akan seperti apakah sinar matahari hari ini. Ternyata nickname yang lu pilih bukan sekadar unik tapi juga penuh harapan. Nickname ini memberikan terminologi baru dalam memaknai hari baru. Kita harus menjadi pecandu pagi untuk bisa menggilai hidup. Dan rasanya tidak ada yang perlu dikuatirkan dari diagnosa dokter itu, karena Si Pecandu Pagi sudah lebih dulu berani 'menikahi' matahari untuk dapat mengendalikan apa yang akan terjadi hari ini.

Jangan menyerah ya, semua yang terjadi ada untuk kita hadapi.
Jangan berhenti menggilai hidup ya, karena hidup ada untuk diperjuangan sampai titik kenikmatan terakhir.
Apapun nama rintangan itu, dia ada hanya untuk kita lalui dengan amunisi kemenangan yang sudah ada di tangan.
Tak ada kata kalah bagi penggila hidup. Sama seperti tak ada awan gelap bagi pemilik matahari pagi.
Nida dan saya, hanyalah sebagian kecil dari yang diam-diam ikut menatap matahari pagi bersama-sama Si Pecandu Pagi. Karena pagi begitu berharga untuk sekadar dilalui seorang diri.
Jadi, mari kita hadapi sama-sama.

Tak ada hari yang harus dibatasi. Sebab matahari akan selalu ada, tak peduli seberapa lambat atau cepat dunia berputar.
Dan sebagai pendamping hidup matahari, rasanya kita tak perlu takut akan pergantian waktu.
Sebab matahari tak kenal kadarluarsa. Dan hanya orang-orang yang punya nyali yang berani menikahi matahari, dialah para Si Pecandu Pagi.

Saya tidak menjanjikan tulisan ini akan meringankan beban. Tapi saya dan Nida menjanjikan, akan selalu ada energi baru yang siap kami tularkan. Jadi setiap kali menanti pagi, tolong jangan merasa sendiri. Setidaknya ada dua orang yang akan selalu ikut menatap matahari yang sama.

Tetap semangat ya.

Salam hangat dari kupu-kupu yang selalu berani untuk terbang ringan ke angkasa dan si pedestrian yang tidak pernah merasa takut untuk menapaki jalan-jalan panjang tak bertuan.

Mari kita menggilai hidup !!!

5 comments:

Anonymous said...

waktu dgr brita ttg kanker ini, smp detik terakhir gw mah berharap klo si Pecandu Pagi akhirnya bilang, "bingo! gw cuma bcanda! hahaha". sayangnya nggak. sbg org yg punya keterbatasan dlm nunjukin emosi dan empati, sumpah gw bner2 gtau msti gimana ngehadepin kenyataan ini. bingung? takut? sedih? sialnya, ga bijak bgt klo nunjukin bingung-takut-sedih ke orang yg kena kanker stadium 4.

gw sangat takut keilangan orang2 d sekeliling gw.bahkan gw slalu berharap,gw 'pergi' duluan ktimbang mesti ngeliat keluarga yg gw 'pergi'.sial,tnyt gw pengecut..

makasih ya priska tulisannya.i think it's one of your best works. Thanks for sending us all the Sun

butterfly menikmati dunia said...

Ah kamu bikin aku berkaca-kaca.
Hey berhenti berpikir, "gw 'pergi' duluan". Bukan kita yang nentuin waktu. Tapi tahu apa privileged yang kita punya, KITA BISA MENIKMATI WAKTU. Ini lebih penting ketimbang mikir, berakhir sekarang atau ngga ya?

Gua pikir, kalau kita sampai pada level menikmati waktu maka setiap itungan detik akan kita buat berharga. Itu namanya menghargai hidup. Hihiihi gua udah kaya pengkotbah yang biasa ngga sengaja gua denger di radio yang ada di kamar mandi gua ;D

Matahari itu dikasih buat kita semua, pilihannya adalah apakah kita ingin menyambutnya dengan rasa penasaran seperti si Pecandu Pagi atau sekadar..."Yah matahari, panas amat sih lu." Semuanya tergantung pilihan.

Dan gua beruntung bisa berani memilih untuk membagikan matahari ke semua orang, termasuk orang gila yang ngga pernah takut nyusurin jalan-jalan tak bertuan...Gua 'mencuri' keberanian untuk menapaki misteri di depan mata gua dari elu...heheheheh...

AYO KITA PELUK BESAR!!!!

Anonymous said...

you 'stole' the courage from me? ah priska, saya jadi malu.heheheheh. PELUK BESAR :D

keykey said...

gue tau si Pecandu pagi ini, dia penulis PAMALI yang gue suka isi komiknya. Dan pertama gue beli buku dia malah bukunya PAMALI 2. Setelah gue cari FB penulis ini dan gue ngobrol di message fb sama dia, sumpah demi tuhan orangnya KONYOL abiiiiisss. Ngakak deh kalo ngbrol sama nih orang. Suka ngawur dan superduper konyol tingkat tinggi.
Tapi gue barusan aja buka FB dia, gara2 gue liat foto primnya yang botak. Tapi setelah gue liat2 status updated dan terlebih karena dia share blogs ini. Gue KAGET dan nggak nyangka. Huhhh... yang ternyata dia bisa kena penyakit ini. Sedih tapi ngeliat dia yang nulis status updated selalu konyol jadi nggak pengen sedih. Bukannya nggak peduli, tapi setidaknya dia yang sakit kanker stadium 4 aja bisa seseger orang sehat, knpa gue yg baca malah sedih. Seharusnya gue bisa bikin dia semangat. GUE YAKIN DIA BISA LEWATIN MASA INI. SEMANGAT KANG!!!!!

butterfly menikmati dunia said...

Hey Keykey...terima kasih sudah mampir ;D Iya si Pecandu Pagi emang masih semangat...malah kata Nida, dia lagi mempersiapkan komik tentang kanker...selalu kagum liat orang yang ngga pernah takut memperjuangkan hidup.

Nice to know you Key ;D