There are two things that steal my awareness. Fire works and House MD. Its two different things. Because the first one is a game that my boyfriend has in his laptop. And the second one, is television serial about ecentric doctor.
Every time I come to my boyfriend's place, the first thing gonna reach my hand was his laptop. I'll stand for hour playing that oriental game. In this game you have to connect the fire to the rocket. The thing that will angered you is, the fuse. You have to arrange it so your fire works will burn up faster.
I've got stress out when hearing the cock-crow. Its mean your time is running out. So you have to fasten your "seat belt" if not the dragon will say, "TIME IS OUT". Until now, I only could reach level 10. In other side, my boyfriend already reach level 15. Of course he can do that, because he has it. So he can practice whenever he want it (denial mode on) :)
And the interesting from House MD television serial, is the other side of meds movie. If you often saw, ER or Operation room as the important scene in the movie. Well is not the same with House MD. The movie is about how a doctor analysis the symptom by discussing it with his team. In this movie you will learn that, sometimes doctor are wrong. That is why they need to observe more from the symptom to cure the illness. And of course the time to observe was limited, by the worst condition, death.
Not just that, you will see how House (Hugh Laurie)can be so arrogant with his internship. But exactly he did that with strong reason to teach them plus saving their patient. Now, every night, before I go to sleep, I have to watch it first.
My addiction level has reach up. Because after playing fire works, my mind can't stop imagining rotate the fuse. The same feeling after watching House MD. I'll imagining what the rare case they have it and guessing how the talented House handle it. And my boyfriend start complaining, because I always put my eyes on his laptop and don't care with every single step he made :)
I don't know how long I'll stay in this condition. I guess I just like it so much and is not dangerous anyway. I just have to wait reach the overwhelming memory. This the stage where you got bored for what exciting before. And your brain asking for the new addiction :)
Sunday, November 23, 2008
Monday, November 17, 2008
Hidup Adalah Hari Ini
Pada hari ini, 27 tahun yang lalu, seorang perempuan bernama Nurmala Tambunan melahirkan saya, Priska Cesilia Rosida Siagian. Saya dilahirkan di salah satu rumah sakit pemerintah di Cimahi-Bandung, sekitar pukul 10 pagi.
Ibu saya bercerita, hari kelahiran saya tepat sepuluh hari setelah ayah saya diwisuda. Ayah saya, Marison Siagian, cukup lama kuliah di Universitas Parahyangan maka kelahiran saya adalah bonus tambahan buat mereka.
Ada cerita lucu dibalik nama saya yang panjang itu. Kata ayah saya, nama itu diambil dari salah satu mahasiswi Universitas Parahyangan, jurusan arsitektur dan bisa lulus dalam jangka waktu lima tahun. Kata ayah saya lagi, itu adalah waktu yang cepat. Karena ketika itu tidak ada sistem kredit semester. Maka dari itu, banyak diantara mereka yang jadi mahasiswa abadi. Yang penting bayar kuliah dan lulus.
Secara sepintas, ayah saya berharap agar saya mengikuti jejak Si Empunya Nama. Tapi, boro-boro kepikiran ambil jurusan arsitektur, jadi anak IPA aja bukan cita-cita. Yah tapi lumayanlah, saya hanya butuh waktu 4,5 tahun untuk lulus Universitas Padjadjaran. Lebih cepat setengah tahun dari yang punya nama :D
Saat saya di taman kanak-kanak, adik perempuan saya yang bernama Angela Agustina, meninggal dunia. Dia sakit keras ketika itu, karena jatuh dari tempat tidur dan pembantu saya tidak segera cerita ke orang tua saya. Jadi adik saya yang cantiknya memang seperti malaikat itu, akhirnya mengalami gangguan di otaknya.
Dia dirawat lama sekali di rumah sakit ST.Carolus. Saya ingat, dulu rumah sakit itu ada jerapahnya. Maka setiap kali menjengguk yang saya ingat bukan bau rumah sakit, tapi binatang berleher panjang. Pada malam kepergian adik saya, om saya membawa saya ke rumahnya. Rumah kami dekatan, dan saya melihat semua barang-barang adik saya ditaruh ke dalam mobil. Saya bertanya, "Kenapa barang adek, dibawa semua?" Om saya menjawab, "Ade Angela mau pulang." Saya tersenyum bahagia.
Tapi saya tidak dibawa ke rumah, melainkan ke rumah om saya. Saya diberi susu dan langsung tidur. Esok paginya, rumah om saya sepi sekali. Saya kelaparan dan takut untuk pergi sendiri ke rumah saya. Karena biasanya, saya selalu pergi kemanapun dengan abang saya. Entah angin apa, saya memberanikan diri untuk pulang ke rumah.
Dari kejauhan, saya melihat bendera kuning. Saya ngga begitu mengerti apa artinya, yang saya tahu tetangga-tetangga saya hanya mengusap-usap kepala saya. Sampai di rumah, saya melihat ibu saya meraung-raung begitu sedihnya. Abang saya nagis sesenggukan, begitu juga ayah saya. Saya dekati ibu saya, "Adek kenapa kok tiduran aja?" Mama saya malah menangis sambil peluk saya.
Saya belum mengerti kematian ketika itu. Yang saya tahu, ibu saya sangat bersedih bahkan sampai tidak makan berhari-hari. Konsep kematian ketika itu adalah pergi ke surga. Surga itu tempat yang cantik, makanya kata ibu saya, adik saya harus memakai pakaian terbaiknya agar terlihat cantik di sana.
Beranjak ke kelas tiga Sekolah Dasar, saya sempat merasa bosan menjalani hari-hari saya. Saya ingin mengintip apa yang tengah dilakukan abang saya, ketika saya sedang melakukan aktivitas saya. Saat itu saya bertanya, kenapa sih saya tidak bisa berada di dua tempat?
Saya belum kenal konsep ruang dan waktu ketika itu. Saya belum paham kalau setiap individu hanya mampu merasakan dan menjalani, apa yang sedang dihadapinya saat itu. Kita tidak bisa "mengintip" keberadaan orang lain.
Ruang, waktu, dan kematian, pada akhirnya saya sedikit punya konsep akan hal itu. Pengalaman hidup yang mempertemukan saya dengan definisi-definisi dari kata yang awalnya saya tangkap sebagai momen tertentu dan rasa penasaran. Kini dalam perjalanan yang membuat usia hidup saya semakin bertambah, rasa penasaran saya tidak pernah berhenti. Saya menemukan istilah baru dalam momen baru.
Kekecewaan, dihianati, jatuh cinta, ditolak, belajar, lulus, berkelahi, berdamai, hingga berserah diri, adalah hal-hal lain yang saya alami. Saya bisa terpuruk dan marah sejadinya pada Sang Pengatur momen. Tapi saya juga tidak dilarang untuk menangis dan tertawa, bersama Sang Pemberi Makna.
Saya pernah keluar dari persekutuan, karena saya merasa Sang Penyelamat yang saya kenal tidak sekaku itu. Tapi saya juga pernah menangis dalam doa dan lantunan lagu, karena saya diberi kepercayaan untuk sebebas apapun kepada Sang Sumber Rasa.
Setiap hari yang saya jalani, rasanya tidak ada yang tidak berharga. Ya amarah atau sukacita, setidaknya itu cerita yang terjadi. Dipandang sebelah mata dan diapresiasi, bisa terjadi dalam waktu yang bersamaan. Dan buat saya itu kenikmatan yang harus saya pilih. Karena tanpa itu semua, hidup saya akan flat.
Saya hanya akan menjadi karakter yang mengisi 9.855 hari saya dengan rutinitas. Saya tidak mau seperti itu, karena setiap 24 jam yang saya lalui adalah priviledge saya untuk menjadi ada. Karena itu, saya tidak mau sekedar biasa menghadapi pertambahan umur saya. Sudah menjadi tradisi bagi saya untuk berkontemplasi menjelang hari jadi saya.
Meskipun sudah setua ini, senang rasanya saya masih punya waktu merenungkan semuanya. Dan untuk angka 27, saya memilih dengan membuat rangkaian tulisan mengenai hidup. Semuanya berdasarkan pengalaman saya yang ditambah pengalaman dari perempuan hebat Suciwati. Sebagai pamungkas adalah tulisan ini.
Bahwa hidup adalah hari ini. Karena di hari inilah saya, mengawali semuanya. Saya hidup didunia dan coba menjalani semuanya sebaik mungkin. Bukan kesempurnaan yang saya kejar tapi kenikmatan. Karena hidup hari ini, terlalu berat untuk hanya diukur dalam kesempurnaan. Hidup adalah hari ini, karena semua yang terjadi adalah kepercayaan untuk menikmatinya. Buat apa terlalu pusing memikirkan bagaimana hidup akan berakhir. Jadi, mari nikmati hari ini karena hidup hari ini, terlalu berharga untuk dianggap sekedar rutinitas.
Ibu saya bercerita, hari kelahiran saya tepat sepuluh hari setelah ayah saya diwisuda. Ayah saya, Marison Siagian, cukup lama kuliah di Universitas Parahyangan maka kelahiran saya adalah bonus tambahan buat mereka.
Ada cerita lucu dibalik nama saya yang panjang itu. Kata ayah saya, nama itu diambil dari salah satu mahasiswi Universitas Parahyangan, jurusan arsitektur dan bisa lulus dalam jangka waktu lima tahun. Kata ayah saya lagi, itu adalah waktu yang cepat. Karena ketika itu tidak ada sistem kredit semester. Maka dari itu, banyak diantara mereka yang jadi mahasiswa abadi. Yang penting bayar kuliah dan lulus.
Secara sepintas, ayah saya berharap agar saya mengikuti jejak Si Empunya Nama. Tapi, boro-boro kepikiran ambil jurusan arsitektur, jadi anak IPA aja bukan cita-cita. Yah tapi lumayanlah, saya hanya butuh waktu 4,5 tahun untuk lulus Universitas Padjadjaran. Lebih cepat setengah tahun dari yang punya nama :D
Saat saya di taman kanak-kanak, adik perempuan saya yang bernama Angela Agustina, meninggal dunia. Dia sakit keras ketika itu, karena jatuh dari tempat tidur dan pembantu saya tidak segera cerita ke orang tua saya. Jadi adik saya yang cantiknya memang seperti malaikat itu, akhirnya mengalami gangguan di otaknya.
Dia dirawat lama sekali di rumah sakit ST.Carolus. Saya ingat, dulu rumah sakit itu ada jerapahnya. Maka setiap kali menjengguk yang saya ingat bukan bau rumah sakit, tapi binatang berleher panjang. Pada malam kepergian adik saya, om saya membawa saya ke rumahnya. Rumah kami dekatan, dan saya melihat semua barang-barang adik saya ditaruh ke dalam mobil. Saya bertanya, "Kenapa barang adek, dibawa semua?" Om saya menjawab, "Ade Angela mau pulang." Saya tersenyum bahagia.
Tapi saya tidak dibawa ke rumah, melainkan ke rumah om saya. Saya diberi susu dan langsung tidur. Esok paginya, rumah om saya sepi sekali. Saya kelaparan dan takut untuk pergi sendiri ke rumah saya. Karena biasanya, saya selalu pergi kemanapun dengan abang saya. Entah angin apa, saya memberanikan diri untuk pulang ke rumah.
Dari kejauhan, saya melihat bendera kuning. Saya ngga begitu mengerti apa artinya, yang saya tahu tetangga-tetangga saya hanya mengusap-usap kepala saya. Sampai di rumah, saya melihat ibu saya meraung-raung begitu sedihnya. Abang saya nagis sesenggukan, begitu juga ayah saya. Saya dekati ibu saya, "Adek kenapa kok tiduran aja?" Mama saya malah menangis sambil peluk saya.
Saya belum mengerti kematian ketika itu. Yang saya tahu, ibu saya sangat bersedih bahkan sampai tidak makan berhari-hari. Konsep kematian ketika itu adalah pergi ke surga. Surga itu tempat yang cantik, makanya kata ibu saya, adik saya harus memakai pakaian terbaiknya agar terlihat cantik di sana.
Beranjak ke kelas tiga Sekolah Dasar, saya sempat merasa bosan menjalani hari-hari saya. Saya ingin mengintip apa yang tengah dilakukan abang saya, ketika saya sedang melakukan aktivitas saya. Saat itu saya bertanya, kenapa sih saya tidak bisa berada di dua tempat?
Saya belum kenal konsep ruang dan waktu ketika itu. Saya belum paham kalau setiap individu hanya mampu merasakan dan menjalani, apa yang sedang dihadapinya saat itu. Kita tidak bisa "mengintip" keberadaan orang lain.
Ruang, waktu, dan kematian, pada akhirnya saya sedikit punya konsep akan hal itu. Pengalaman hidup yang mempertemukan saya dengan definisi-definisi dari kata yang awalnya saya tangkap sebagai momen tertentu dan rasa penasaran. Kini dalam perjalanan yang membuat usia hidup saya semakin bertambah, rasa penasaran saya tidak pernah berhenti. Saya menemukan istilah baru dalam momen baru.
Kekecewaan, dihianati, jatuh cinta, ditolak, belajar, lulus, berkelahi, berdamai, hingga berserah diri, adalah hal-hal lain yang saya alami. Saya bisa terpuruk dan marah sejadinya pada Sang Pengatur momen. Tapi saya juga tidak dilarang untuk menangis dan tertawa, bersama Sang Pemberi Makna.
Saya pernah keluar dari persekutuan, karena saya merasa Sang Penyelamat yang saya kenal tidak sekaku itu. Tapi saya juga pernah menangis dalam doa dan lantunan lagu, karena saya diberi kepercayaan untuk sebebas apapun kepada Sang Sumber Rasa.
Setiap hari yang saya jalani, rasanya tidak ada yang tidak berharga. Ya amarah atau sukacita, setidaknya itu cerita yang terjadi. Dipandang sebelah mata dan diapresiasi, bisa terjadi dalam waktu yang bersamaan. Dan buat saya itu kenikmatan yang harus saya pilih. Karena tanpa itu semua, hidup saya akan flat.
Saya hanya akan menjadi karakter yang mengisi 9.855 hari saya dengan rutinitas. Saya tidak mau seperti itu, karena setiap 24 jam yang saya lalui adalah priviledge saya untuk menjadi ada. Karena itu, saya tidak mau sekedar biasa menghadapi pertambahan umur saya. Sudah menjadi tradisi bagi saya untuk berkontemplasi menjelang hari jadi saya.
Meskipun sudah setua ini, senang rasanya saya masih punya waktu merenungkan semuanya. Dan untuk angka 27, saya memilih dengan membuat rangkaian tulisan mengenai hidup. Semuanya berdasarkan pengalaman saya yang ditambah pengalaman dari perempuan hebat Suciwati. Sebagai pamungkas adalah tulisan ini.
Bahwa hidup adalah hari ini. Karena di hari inilah saya, mengawali semuanya. Saya hidup didunia dan coba menjalani semuanya sebaik mungkin. Bukan kesempurnaan yang saya kejar tapi kenikmatan. Karena hidup hari ini, terlalu berat untuk hanya diukur dalam kesempurnaan. Hidup adalah hari ini, karena semua yang terjadi adalah kepercayaan untuk menikmatinya. Buat apa terlalu pusing memikirkan bagaimana hidup akan berakhir. Jadi, mari nikmati hari ini karena hidup hari ini, terlalu berharga untuk dianggap sekedar rutinitas.
Sunday, November 16, 2008
Hidup adalah Realitas Mimpi
Selepas lulus dari Jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi-Universitas Padjadjaran, saya sempat menganggur hampir setahun. Dan disela-sela menunggu wawancara kerja, saya mengirimkan artikel ke Harian Seputar Indonesia (Sindo).
Kebetulan Susi, sahabat saya, mengasuh rubrik untuk remaja (Saya lupa nama rubriknya). Rubrik ini berisi tentang pengalaman, ide atau pemikiran yang dapat memotivasi remaja untuk lebih baik. Salah satu tema tulisan saya adalah menggapai legenda pribadi. Termotivasi oleh tulisan Paolo Coelho di Sang Alkemis, saya ingin para remaja punya semangat untuk memiliki dan merealisasi legenda pribadinya.
Saya juga mengutip semangat Bob Dylan mengenai konsep Hero, dalam tulisan saya yang berjudul Menjadi Hero ala Bob Dylan. Bahwa setiap orang punya kemampuan untuk menjadi pahlawan, "We could be hero just for one day."
Mengapa tema ini yang saya pilih? Karena saya percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin dalam hidup. Legenda pribadi dan menjadi pahlawan adalah hal-hal yang bisa kita realisasikan.
Kisah nyatanya adalah ketika saya akhirnya memutuskan bekerja di Hongkong and Shanghai Bank Corporation (HSBC) as clerical analysis bankcruptcy account. Saat itu saya pikir, daripada saya nganggur lama-lama. Tapi saya tidak pernah mengubur mimpi saya untuk bekerja di media sebagai awalan menjadi penulis. Bahkan saya masih kirim dua tulisan lagi ke Sindo untuk menambah kepuasan diri saya.
Ada pengalaman menarik dari kirim tulisan ini, salah satu siswa SMA di Yogya memberikan apresiasi terhadap tulisan saya. Dia mengirimkan email kepada saya dan bercerita bahwa tulisan-tulisan saya selalu dinantinya. Itulah kali pertama saya bisa mendeskripsikan bahwa kepuasan diri itu luar biasa wujudnya.
Delapan bulan saya di HSBC, saya pindah ke Harian Jurnal Nasional. Koran yang secara de jure adalah milik bos negeri ini. Koran kepentingan, beberapa teman saya mengolok saya demikian. Tapi saya beragumentasi bahwa, ini hanya cara saya keluar dari HSBC. Karena saya kurang berani untuk keluar dari HSBC dan menganggur. Pengalaman menganggur hampir setahun cukup banyak memberikan rasa ngga enaknya minta uang sama orang tua dan abang saya.
Meskipun saya, sampai sekarang masih merasakan "gejolak" bekerja di tempat ini, tapi saya rasa ini salah satu realitas mimpi saya. Bekerja sebagai wartawan agar dapat terus mengasah diri sebagai penulis. Lagipula, tempat yang sarat kepentingan ini punya begitu banyak guru yang mengajarkan saya bagaimana untuk mengalir dalam menulis.
Banyak yang sudah saya tulis, dan lumayan banyak yang mewakili cita-cita saya dulu. Isu perempuan yang diselipkan dalam tema kesehatan. Profil tokoh-tokoh yang saya kagumi. Tulisan kebudayaan yang sedikit banyak terinfluensi dari buku-buku "gila" saya sewaktu kuliah. Dulunya semua hanya ide, tapi kemudian saya menariknya dalam dunia nyata. Selalu ada medium untuk itu, saya menyakininya.
Dulu bersama Tetty, sahabat yang lahirnya cuman beda seminggu ini, kita pernah bercita-cita untuk ke luar negeri. Duduk di depan perapian, menikmati secangkir coklat panas sambil melihat salju turun. Dua puluh persen dari cita-cita itu terwujud. Ketika kemarin saya ke Jerman, Tetty bilang saya turut mewakili dia untuk membuka jalan bagi realitas cita-cita kita. Yang kita butuh lakukan selanjutnya adalah, pergi ke luar negeri berdua, perapian, salju, dan coklat panas. Sepertinya hanya menunggu waktu, karena 80 persen dibagi dua, bukan hal yang sulit :D
Sebenarnya, saya tidak pernah betul-betul bikin list cita-cita. Saya hanya menyimpannya dalam hati dan kepala saya. Hati, karena disitulah niat bersemayam. Kepala, karena disanalah strategi diluncurkan. Bahkan seringnya, saya teringat bahwa mimpi itu pernah ada ketika telah menjadi realitas.
Ntahlah, mungkin karena saya termasuk orang yang ngga ngoyo. Saya berusaha dan bernegosiasi dengan Sang Empunya Kehidupan. Karena saya percaya, hidup adalah medium untuk membuat segala harapan dan mimpi memiliki wujud nyata. Realitas mimpi adalah pilihan, dan saya memilih untuk menariknya ke dalam wilayah absolut.
Kebetulan Susi, sahabat saya, mengasuh rubrik untuk remaja (Saya lupa nama rubriknya). Rubrik ini berisi tentang pengalaman, ide atau pemikiran yang dapat memotivasi remaja untuk lebih baik. Salah satu tema tulisan saya adalah menggapai legenda pribadi. Termotivasi oleh tulisan Paolo Coelho di Sang Alkemis, saya ingin para remaja punya semangat untuk memiliki dan merealisasi legenda pribadinya.
Saya juga mengutip semangat Bob Dylan mengenai konsep Hero, dalam tulisan saya yang berjudul Menjadi Hero ala Bob Dylan. Bahwa setiap orang punya kemampuan untuk menjadi pahlawan, "We could be hero just for one day."
Mengapa tema ini yang saya pilih? Karena saya percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin dalam hidup. Legenda pribadi dan menjadi pahlawan adalah hal-hal yang bisa kita realisasikan.
Kisah nyatanya adalah ketika saya akhirnya memutuskan bekerja di Hongkong and Shanghai Bank Corporation (HSBC) as clerical analysis bankcruptcy account. Saat itu saya pikir, daripada saya nganggur lama-lama. Tapi saya tidak pernah mengubur mimpi saya untuk bekerja di media sebagai awalan menjadi penulis. Bahkan saya masih kirim dua tulisan lagi ke Sindo untuk menambah kepuasan diri saya.
Ada pengalaman menarik dari kirim tulisan ini, salah satu siswa SMA di Yogya memberikan apresiasi terhadap tulisan saya. Dia mengirimkan email kepada saya dan bercerita bahwa tulisan-tulisan saya selalu dinantinya. Itulah kali pertama saya bisa mendeskripsikan bahwa kepuasan diri itu luar biasa wujudnya.
Delapan bulan saya di HSBC, saya pindah ke Harian Jurnal Nasional. Koran yang secara de jure adalah milik bos negeri ini. Koran kepentingan, beberapa teman saya mengolok saya demikian. Tapi saya beragumentasi bahwa, ini hanya cara saya keluar dari HSBC. Karena saya kurang berani untuk keluar dari HSBC dan menganggur. Pengalaman menganggur hampir setahun cukup banyak memberikan rasa ngga enaknya minta uang sama orang tua dan abang saya.
Meskipun saya, sampai sekarang masih merasakan "gejolak" bekerja di tempat ini, tapi saya rasa ini salah satu realitas mimpi saya. Bekerja sebagai wartawan agar dapat terus mengasah diri sebagai penulis. Lagipula, tempat yang sarat kepentingan ini punya begitu banyak guru yang mengajarkan saya bagaimana untuk mengalir dalam menulis.
Banyak yang sudah saya tulis, dan lumayan banyak yang mewakili cita-cita saya dulu. Isu perempuan yang diselipkan dalam tema kesehatan. Profil tokoh-tokoh yang saya kagumi. Tulisan kebudayaan yang sedikit banyak terinfluensi dari buku-buku "gila" saya sewaktu kuliah. Dulunya semua hanya ide, tapi kemudian saya menariknya dalam dunia nyata. Selalu ada medium untuk itu, saya menyakininya.
Dulu bersama Tetty, sahabat yang lahirnya cuman beda seminggu ini, kita pernah bercita-cita untuk ke luar negeri. Duduk di depan perapian, menikmati secangkir coklat panas sambil melihat salju turun. Dua puluh persen dari cita-cita itu terwujud. Ketika kemarin saya ke Jerman, Tetty bilang saya turut mewakili dia untuk membuka jalan bagi realitas cita-cita kita. Yang kita butuh lakukan selanjutnya adalah, pergi ke luar negeri berdua, perapian, salju, dan coklat panas. Sepertinya hanya menunggu waktu, karena 80 persen dibagi dua, bukan hal yang sulit :D
Sebenarnya, saya tidak pernah betul-betul bikin list cita-cita. Saya hanya menyimpannya dalam hati dan kepala saya. Hati, karena disitulah niat bersemayam. Kepala, karena disanalah strategi diluncurkan. Bahkan seringnya, saya teringat bahwa mimpi itu pernah ada ketika telah menjadi realitas.
Ntahlah, mungkin karena saya termasuk orang yang ngga ngoyo. Saya berusaha dan bernegosiasi dengan Sang Empunya Kehidupan. Karena saya percaya, hidup adalah medium untuk membuat segala harapan dan mimpi memiliki wujud nyata. Realitas mimpi adalah pilihan, dan saya memilih untuk menariknya ke dalam wilayah absolut.
Subscribe to:
Posts (Atom)