Monday, March 26, 2007

Bila Suasana Hati antara Dua Kutub Ekstrem

Kata bipolar dipakai karena umumnya penderita mengalami dua kutub ekstrem dari emosinya.

Priska Siagian
priska@jurnas.com

BAGI penderita bipolar disorder (gangguan bipolar), gangguan emosi yang dirasakannya bagaikan menaiki roller coaster. Depresi dan euforia silih berganti menderanya, maka gangguan kejiwaan ini sering disebut mood swings.

Pada saat mereka tak bisa menerima realita dan meresponsnya dengan emosi berlebihan, tidak jarang mereka lebih memilih kematian sebagai jalan untuk mengakhiri deritanya. Penderita gangguan bipolar bisa merasa sangat depresi ketika tidak bisa melakukan aktivitas sederhana, misalnya tidur. Kali lain mereka merasa sangat kreatif dan penuh energi. Perubahan suasana hati yang silih berganti ini bisa berlangsung selama 20 hingga 30 tahun. Rentang waktu gangguan yang panjang ini salah satunya karena kebanyakan orang masih menganggap penyakit mental bukanlah masalah yang patut dibicarakan atau dikonsultasikan kepada seseorang.

Gangguan bipolar sering disebut manic depression. Menurut Akademi Psikiater Keluarga Amerika Serikat, kata bipolar dipakai karena umumnya penderita mengalami dua kutub ekstrem dari emosinya. Penderita gangguan ini mengalami satu masa fluktuasi emosi yang disebut episode. Dalam satu episode, mereka akan mengalami depresi, mania, hipomania (mania dalam kadar ringan), dan suasana hati campuran atau mixed mood yang silih berganti dalam satu hari. Kesemuanya akan berujung pada percobaan bunuh diri.
Memang tidak semua orang berkarakter kuat untuk menghadapi setiap masalah dalam hidupnya. Menurut psikolog, Winarini W Dahlan, PhD, dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, awalnya penderita gangguan bipolar mengalami depresi yang berlebihan atau major depressive disorder. “Umumnya gangguan ini diawali satu peristiwa krisis dalam hidupnya dan mereka tidak bisa menghadapinya dengan berpikir positif. Maka mereka akan menarik diri, tidak bisa makan dan minum, hingga kehilangan semangat hidup,” tuturnya kepada Jurnal Nasional beberapa waktu lalu di kantornya.
Pada tingkatan mania, gejala ditandai dengan energi berlebihan sehingga mereka bisa sangat kreatif dan cekatan dalam menyelesaikan pekerjaannya. Namun, menurut Winarini, pada tahap ini umumnya penderita menjadi tidak fokus terhadap apa yang dikerjakan.
Hal ini karena mereka hanya membutuhkan penyaluran energi yang secara tiba-tiba memenuhi kepalanya. Salah satu maestro seni lukis yang mengalami hal ini adalah Van Gogh.

Meskipun penyakit ini termasuk dalam kategori penyakit seumur hidup, tapi pada dasarnya bisa disembuhkan. Dengan kata lain, dapat membebaskan penderitanya dari keinginan bunuh diri. Winarini mengatakan, pembentukan pikiran positif dalam diri setiap orang merupakan kunci utama membebaskannya dari penyakit mental ini. Pola berpikir seperti itu merupakan proses yang memengaruhi pembentukan karakter seseorang untuk lebih realistis dalam memandang dirinya, hidupnya, baik yang terjadi saat ini maupun pada masa datang.

“Penanganan gangguan bipolar dapat dilakukan dengan obat dan terapi. Obat yang baik adalah serotonin karena efeknya lebih ringan dibandingan obat jenis lainnya,” katanya. Obat yang mengandung serotin akan berfungsi sebagai modulator kapasitas kerja otak, termasuk juga regulasi stabilitas emosi, daya tangkap, bahkan selera makan. Di samping itu, oleh tubuh obat ini akan diubah menjadi hormon melatonin yang berefek relaksasi.

Penanganan gangguan bipolar harus dilengkapi cognitive-behavioral therapy (CBT). Terapi ini menurut Winarini akan membantu pasien menyadari kesalahan pola berpikirnya sehingga berpikir positif terhadap segala hal yang tengah atau akan dihadapinya. Bila penderita bisa berpikir positif, maka akan mampu menangani masalahnya lebih efektif. “Mereka akan diikutsertakan dalam satu grup sharing, kemudian diedukasi melalui napak tilas proses pembentukan pola berpikir mereka. Dalam grup tersebut mereka juga akan terbiasa memberi dan menerima kritikan atau masukan, sehingga mereka dapat lebih realistis menghadapi lingkungannya,” ucap psikolog yang secara langsung mengikuti pelatihan CBT di Australia ini.

Winarini mengingatkan, karena pola berpikir positif merupakan satu rentangan proses yang dimulai sejak kecil hingga dewasa, maka hal tersebut akan dipengaruhi oleh bagaimana orangtua menumbuhkan rasa percaya diri pada anaknya. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa gangguan mental yang diderita seseorang tidak disebabkan oleh faktor tunggal semata, tapi juga dipengaruhi faktor genetika dan sosial. Berbicara mengenai genetika, artinya ada kerentanan neurotransmiter di otak yang diwariskan orangtua kepada anak-anaknya. Sedangkan dari sisi social, lebih kepada bagaimana pendefinisian peran seseorang baik yang berhubungan dengan jender maupun tidak, yang secara stimultan menjadi pemicu penyakit ini.

“Kesemuanya terangkum pada bagaimana orangtua sebagai manusia pertama yang dipercaya anak mampu membentuk rasa aman mereka. Bila mereka merasa nyaman dengan lingkungannya, maka mereka akan merasa aman pula terhadap apa pun yang terbentuk dalam diri mereka. Jadi jangan pernah menuntut anak-anak untuk menggapai apa yang tak berhasil diraih orangtua. Biarkan mereka mempercayai setiap bakat dan minatnya,” kata Winarini.

No comments: