Saturday, June 12, 2010

Mengapa Kami Memilih Untuk Percaya


Kita pasti sering mendapat nasehat,"Hati-hati dengan ucapanmu!" atau "Ucapan itu adalah doa, jadi berpikirlah sebelum mengatakan sesuatu."

Dulu sewaktu saya masih kuliah dan memutuskan keluar dari kepompong, saya tiba-tiba jatuh cinta dengan pluralisme dan inklusifitas. Garis saya tak sejajar dengan pikiran orang yang mengatakan keberagaman hanya bisa dimaknai masuk akal ketika levelnya hanya sebagai warna dalam kehidupan sosial. Tapi begitu masuk level rumah tangga, harus seragam karena itu yang ideal.

Mengapa itu ideal? (Menurut kebanyakan orang) keseragaman dalam rumah tangga membuat semuanya jadi lebih mudah. Iya mudah, karena kalau menikah dengan yang satu suku bisa memperkecil proses belajar perbedaan budaya. Dan ketika menikah dengan yang satu agama, akan jelas mengikuti libur hari raya yang mana. Oke, saya terdengar sarkastik mungkin, tapi itulah yang saya tangkap dari mengapa pluralisme sedikit rumit masuk pada dunia pernikahan.

Lalu apa yang saya pilih? Saya menaksir orang-orang yang berbeda agama dan suku. Alasannya sederhana, hanya untuk melawan pikiran orang. Hahahaha...iya saya termasuk orang yang suka membangkang. Saya ingat, ketika kuliah pernah menaksir laki-laki yang 3 tahun di atas saya. Anaknya terkenal soleh, pintar, dan sangat sederhana. Tau apa yang saya lakukan? Setiap kali dia datang ke kampus, saya akan memilih posisi duduk yang memungkinkan saya untuk melihatnya lekat-lekat.

Dia melihat saya, sekali, dua kali, karena unsur ketidaksengajaan. Tapi lama-lama dia menyadari, bahwa saya menatapinya lekat-lekat. Kami beradu mata, beberapa menit tapi selalu dia yang 'menyerah'. Oke sama laki-laki ini saya hanyalah his secret admirer, namun saya berniat membuat novel tentang kami.

Ya, saya memfiksikan kami berdua dalam cerita yang saya karang. Dia menikahi saya. Di kamar kami, ruang yang sangat pribadi, ada dua kitab suci. Alkitab dan Al Qu'ran. Saya menjadi penulis, dia pekerja kantoran. Dia sholat subuh, saya baru saja terlelap usai menulis semalam suntuk. Dan dicerita ini, saya melukiskan, kami tidak disetujui oleh keluarga.

Itu pemberontakan saya pertama kali melalui pikiran. Kala itu, saya menjadikan dia sebagai media untuk mengkristalisasi keyakinan saya bahwa pluralisme dalam pernikahan itu bisa kok. Asal mau dan berani menerima konsekuensinya ;D

Di kehidupan nyata, saya mendekati dua laki-laki sekaligus. Yang pertama, awalnya sahabat tapi entah kenapa cupid melemparkan mantranya pada saya, hingga saya jatuh cinta pada sahabat saya. Saya tak langsung mengatakannya, saya pendam bertahun-tahun, karena saya menghargai hubungannya dengan kekasihnya yang di pulau seberang. Tapi akhirnya, dia putus. Saya tak langsung mengekspresikan perasaan, padahal saya terkenal sangat ekspresif, adalah teman saya yang memberitahu pada laki-laki ini.

Kedekatan kami naik satu level, dan saya cerita pada ibu saya. Reaksi pertamanya, jangan...jangan sama yang batak itu...dengan berbagai alasan yang dia sampaikan. Iya, kami sama-sama orang batak, tapi ternyata belum cukup. Harus dari jenis batak yang sama. Saya mencoba mengerti, walaupun saya dongkol dan merasa tak masuk akal.

Pada laki-laki yang satunya lagi, saya sempat berbicara panjang lebar dengannya ditelepon hingga subuh datang. Kami pergi berdua beberapa kali untuk mencoba lebih mengenali satu sama lain. Hingga pada akhirnya, ayah saya bereaksi. Dia bukan batak dan katolik, jadi jangan (Ya kira-kira beginilah reaksinya, saya hanya mencoba memotong cerita saja).

Apa yang saya lakukan, saya marah dan dongkol setengah mati. Akhirnya saya menulis cerpen pendek soal ini. Judulnya Sekar vs Kebencian. Dan semenjak itu, saya semakin mencintai pluralisme dan mencoba untuk tidak berdiri di satu pemikiran. Saya memilih bebas dan melawan.

Beberapa tahun berlalu. Tanpa sengaja, saya bertemu dengan pacar saya yang sudah saya pacari kurang lebih 3 tahun belakangan. Dia muslim jawa yang dibesarkan dengan kekentalan Muhammadiah yang tidak bisa dipertanyakan lagi. Dia lulusan Sejarah Islam-IAIN Jakarta. Komplit kan ;D

Di awal-awal kami pacaran, begitu banyak yang harus diyakinkan bahwa ini bukan sekadar gita cinta anak muda. Paling utama menyakinkan orang tua dan kerabat, karena teman-teman saya hanya berujar bahwa saya menjalani apa yang selama ini saya yakini dalam pikiran.

Dan tanpa disengaja, beberapa teman saya pun menjalani pacaran lintas agama. Ya rasa senasib dan sepenanggungan itu ada. Tapi beberapa waktu lalu, salah satu teman kita yang pacaran lintas agama, mengakhiri hubungannya. Justru katanya, setelah kekasihnya membaca blog saya.

Saya shock luar biasa. Saya coba mengingat-ingat, bagian mana yang membuat dia berpikir harus putus. Saya merasa tak enak dan ingin bertanggung jawab. Aneh memang, tapi saya ingin sekali berbicara dengannya. Tapi karena saya hanya kenal pihak laki-lakinya, saya kemudian memutuskan untuk menulis posting ini dan berharap dia membaca.

Saya bertanya pada pacar saya, apa yang membuat mereka tidak yakin dan kita yakin. Dia bilang, mereka masih terlalu muda dan kita sudah cukup matang. Buat saya, usia bukan batasan itu hanya penanda berapa banyak waktu yang sudah kita lalui.

Lalu saya bertanya lagi, apakah di awal-awal kita yakin? Well jujur, alasan saya memilih pacaran sama dia...karena dia pintar dan nge-klik aja ketika saya ajak bicara soal agama, filsafat, dan meminta dia bercerita mengenai Islam Sunni dan Syiah. Saya merasa dia mengikuti alur pikiran saya, padahal waktu itu kita baru bertemu pagi dan malamnya berdiskusi.

Dan dalam waktu 2 minggu perkenalan, kami merasa siap. Bagaimana dengan perbedaan yang ada...yah nekat aja dulu. Itu dari sisi saya, karena toh dari dulu saya tida pernah merasa takut dengan perbedaan agama dalam level pernikahan, apalagi pada level pacaran. Walaupun saya tahu, kedua orang tua saya sangat kaku. Saya hanya menyakini saya sayang dia dan radar saya cukup baik untuk menangkap mana laki-laki yang serius dan tidak. Yah setidaknya setelah 2 kali HTS-an wakakakakak.

Kalau dari sisi pacar saya, saya ingat dia pernah bertanya, "Gimana dengan perbedaan kita?" Yah saya jawab, "Ngga ada masalah dengan itu kan." Tapi waktu saya bertanya lagi (karena kejadian teman kita yang putus itu) apakah ketika itu dia yakin, jawabnya dia yakin. "Aku justru tidak yakin sama kamu ketika itu, karena kamu cuman nekat." Hahahahahaha...

Lalu apa yang merubah semuanya?

Waktu. Terdengar klise mungkin, tapi perjalanan waktu membuat saya mengerti mengapa harus dia yang saya pilih. Mengapa harus dia yang harus saya perjuangkan. Berbagai canda tawa, emosi, dan tangisan, membuat saya mengerti bagaimana dia menenangkan saya. Tak hanya itu, waktu juga membuat saya selalu berdoa setiap malam agar Sang Entitas Agama, membuat segalanya indah pada waktunya.

Saya kemudian teringat, betapa dulu sewaktu kuliah saya selalu mengompori teman saya untuk menyatakan perasaannya pada laki-laki yang diincar. "Ngga ada yang salah dengan rasa cinta kita. Dan ngga ada ruginya mengekspresikan perasaan diri sendiri. Kalau kita udah ngga percaya dengan perasaan kita, maka kita tidak bisa menyakini apa-apa. Karena keyakinan itu adalah bagaimana menjadi jujur terhadap diri sendiri." Hahaha teman-teman saya akhirnya memberanikan diri untuk menembak targetnya masing-masing.

Ya buat saya, kenapa saya memilih yakin, karena saya ingin jujur terhadap diri saya. Bahwa apa yang saya pilih sekarang adalah kondisi logis dari apa yang saya yakini mengenai pluralisme. Tidak ada yang salah dengan agama atau suku, sama seperti tak ada yang salah dengan rasa cinta. Yang salah adalah bagaimana orang mempersepsikan agama dan cinta.

Dan menurut pacar saya, apa yang membuat kita yakin adalah karena kita tidak pernah memberi pretensi apa-apa terhadap identitas yang melatarbelakangi semuanya. Kita hanya percaya, cinta itu ada dan cinta itu yang menguatkan kita untuk sampai pada titik keyakinan. Seperti keyakinan terhadap Pemilik Kehidupan, we just believe He exist..

Buat seorang teman yang mungkin sedang membaca tulisan ini, pengen banget ngobrol langsung. Bukan untuk merubah pikiranmu atas keputusan yang sudah dibuat tapi mengenai bagaimana serunya punya teman baru ;D

Monday, May 3, 2010

Jika Saya Bukanlah Saya!

Entah bagaimana ceritanya, saat lagi menikmati Burger King bersama pacar saya, terlontar pertanyaan dari dia mengapa saya mau menjadi jurnalis. Tapi bukannya menjawab pertanyaan, saya malah bertanya, kira-kira hidup akan seperti apa jika kita tak memilih jalan hidup yang sekarang?

Yang terbayang, saya akan jadi perawat karena ibu saya ingin sekali jadi perawat. Sewaktu SMP, saya sudah diarahkan menjadi perawat karena lebih mudah mencari pekerjaan. Tapi karena saya merasa butuh cerita masa-masa SMP, seperti film-film Indonesia era 80-an, saya berhasil merayu mama saya untuk masuk perawat setelah lulus SMA.

Ternyata, masa SMA membuat saya tertarik dengan komunikasi. Untungnya mama saya tak pernah memaksa, bahkan mama yang mendorong saya untuk mencoba komunikasi.

Dan seandainya saya jadi perawat, yang pasti saya tak akan ketemu dengan pacar saya. Saya menikah muda. Menikah dengan orang Batak yang totok dan tak akan pernah berpikir untuk memiliki persepsi di luar orang kebanyakan.

Sedangkan pacar saya, saya membayangkan dia akan menjadi ulama atau guru ngaji yang menikahi isteri berjilbab. Menjadi orang yang pasrah karena tak pernah mengkritisi apa yang terjadi.

Lalu saya membayangkan lagi, mungkin saya kita bertemu tapi dalam konteks yang berbeda. Bisa jadi sebagai sesama pengunjung mall atau konsumen restoran junk food. Bahkan sangat mungkin kami duduk bersebelahan tapi saling mencibir.

Hihihihihihhi..Lucu ya kalau kita membahas apa yang terjadi jika kita memilih untuk tidak menjadi kita yang sekarang. Mungkin saya tak akan memilih menjadi feminis, menggilai dunia tulis menulis, dan mengikuti ajaran Kristen tanpa mengkritisi apapun.

Bahkan saya bisa jadi tak pernah keluar negeri. Dan diumur sekarang sudah dipusingkan dengan anak yang lebih dari satu. Yang pasti hidup saya akan berubah 360 derajat. Tapi apa iya?

Sebab dalam ilmu perjodohan, apapun yang terjadi sudah digariskan. Karena kalau memang saya dan pacar ditakdirkan untuk bertemu, apapun bentuk pertemuaannya tetaplah bagian dari perjalanan waktu yang harus dilalui. Sebab sebenarnya inti dari jodoh atau tidak adalah pertemuan. Dan ketika jodoh itu masuk pada level yang lebih dalam, maka sesi pertemuan tak hanya terjadi sekali atau dua kali tapi selamanya. Seperti kita tak menonton film mengenai kembali ke masa lalu dari masa depan, pasti ada hal-hal yang tak bisa diubah.

Tapi kalau mau jujur, saya merasa jika saya tak menjadi diri saya yang sekarang, pasti dunia saya sangat monoton. Serba teratur dan serba sesuai dengan tanggapan banyakan orang. Buat saya sih kurang seru, karena saya mungkin hanya melakukan apa yang menurut orang lain harus saya lakukan.

Dan sekarang, saya merasa sangat bersyukur sekali untuk setiap proses yang telah saya lalui. Bahkan untuk proses yang akan dilalui yang wujudnya belum jelas, sebab konsekuensi memilih untuk menjadi beda dari orang kebanyakan, saya percaya perjalanan waktu saya akan lebih dinamis. Bukannya saya mau bilang menjadi perawat akan monoton, tapi lebih kepada hal berbeda apa yang akan terjadi pada saya jika memilih tidak menjadi saya yang sekarang.

Hal lain yang juga saya prediksi tidak seru akan terjadi ketika saya menjadi yang lain dari sekarang adalah tidak punya pacar yang baiknya luar biasa. Dengan kesabaran yang dia punya, saya yakin dia jodoh saya :D Ini semakin menyakinkan saya, bahwa pilihan saya tak pernah salah. Terima kasih Pemberi Pilihan yang senantiasa membuat saya mendengar kata hati saya. Sebab kata hati adalah lentera penunjuk jalan kehidupan yang penuh teka-teki.

Saturday, April 3, 2010

Belum Sekarang, Tapi Segera!


Selasa (31/3) kemarin, saya dapat pesan yang mengejutkan pada account Facebook saya. Seorang teman yang tidak sengaja membaca blog ini mengirimkan berita menggembirakan.

Sebagai awalan, saya akan menceritakan sedikit mengenai pemberi berita. Namanya Nung Nurchasanah, kalau tidak salah 1,5 tahun lalu, dia meninggalkan comment di Sindrom Ovarium Polikistik. Karena ternyata kami sama-sama mengalami gangguan ini.

Alhasil, kami berbicara di yahoo messenger. Bertukar informasi dan saling menyemangati. Dari situlah kami berkenalan. Saya tahu, Nung bekerja di penerbitan buku. Dan saya sempat bertanya, mengenai pekerjaanya. Maklum, saya tergila-gila dengan dunia tulis menulis dan saya ingin mengabdikan hidup saya pada dunia ini. Jadi ada beberapa aspek yang membuat kami seperti berada dalam "garis" yang sama.

Lama tak saling bicara, tiba-tiba Nung mengirimkan message di FB dengan subjek, Minta Nomer Hape". Saya membukanya usai liputan launching ensiklopedia parenting di Kemang. Saya senang luar biasa membaca message Nung, DIA MEREKOMENDASIKAN SAYA KE PENERBITNYA!! Penerbitnya tengah mencari penulis untuk tema kesehatan.

Dan lucunya, Nung minta maaf karena sudah terlalu lancang merekomendasikan saya. Hihihiih to be honest, saya ngga melihat itu sebagai kelancangan sama sekali. Itu kabar gembira yang harus saya ucapkan terima kasih berkali-kali. Karena saya ngga pernah menyangka, kesempatan itu datang dari seseorang yang kebetulan membaca blog saya. Well you never know when the opportunity shows up :D And Nung, you made my day runs perfect :D

Esoknya, saya membuka email yahoo saya dan menemukan salah seorang teman Nung memberikan penawaran. Saya segera membalas dengan memberikan nomer saya. Tapi di sore harinya, rekan Nung mengatakan, penulis lain lebih cepat memberi respon. Ntah mengapa saya tidak sedih, karena saya pikir nomer telepon yang sudah saya berikan akan jadi "pintu" sendiri buat saya untuk kesempatan yang lain.

Sebenarnya pesan singkat Nung ini, menyadarkan saya akan segera mewujudkan mimpi saya. Jangan menunggu waktu lama, sudah waktunya untuk bergerak. Sudah waktunya untuk menciptakan kesempatan sendiri. Karena itu, pesan Nung jadi energi tersendiri buat saya. Bahwa legenda pribadi itu sudah tidak sabar untuk ditemui. Dan waktunya adalah SEKARANG!! Terima kasih Nung untuk pesan singkatnya yang memercik api semangat di kepala, dada, dan tanganku. Doa terbaik untuk kamu dan keluargamu :D

Saya pun semakin percaya, bahwa Tuhan selalu berbicara dengan cara yang unik. Terima kasih juga Sang Pemberi Bakat, untuk simulasi semangat melalui Nung. Ayo kita realisasikan bersama legenda pribadinya. Karena saya percaya, setiap manusia dilahirkan untuk mewujudkan mimpinya. Itulah misi hidup yang menyenangkan untuk menjadi manusia yang tak sekadar lahir, menikah, beranak, dan mati. Hidup adalah rangkaian waktu untuk mewujudkan berjuta mimpi!!