Saturday, April 3, 2010

Belum Sekarang, Tapi Segera!


Selasa (31/3) kemarin, saya dapat pesan yang mengejutkan pada account Facebook saya. Seorang teman yang tidak sengaja membaca blog ini mengirimkan berita menggembirakan.

Sebagai awalan, saya akan menceritakan sedikit mengenai pemberi berita. Namanya Nung Nurchasanah, kalau tidak salah 1,5 tahun lalu, dia meninggalkan comment di Sindrom Ovarium Polikistik. Karena ternyata kami sama-sama mengalami gangguan ini.

Alhasil, kami berbicara di yahoo messenger. Bertukar informasi dan saling menyemangati. Dari situlah kami berkenalan. Saya tahu, Nung bekerja di penerbitan buku. Dan saya sempat bertanya, mengenai pekerjaanya. Maklum, saya tergila-gila dengan dunia tulis menulis dan saya ingin mengabdikan hidup saya pada dunia ini. Jadi ada beberapa aspek yang membuat kami seperti berada dalam "garis" yang sama.

Lama tak saling bicara, tiba-tiba Nung mengirimkan message di FB dengan subjek, Minta Nomer Hape". Saya membukanya usai liputan launching ensiklopedia parenting di Kemang. Saya senang luar biasa membaca message Nung, DIA MEREKOMENDASIKAN SAYA KE PENERBITNYA!! Penerbitnya tengah mencari penulis untuk tema kesehatan.

Dan lucunya, Nung minta maaf karena sudah terlalu lancang merekomendasikan saya. Hihihiih to be honest, saya ngga melihat itu sebagai kelancangan sama sekali. Itu kabar gembira yang harus saya ucapkan terima kasih berkali-kali. Karena saya ngga pernah menyangka, kesempatan itu datang dari seseorang yang kebetulan membaca blog saya. Well you never know when the opportunity shows up :D And Nung, you made my day runs perfect :D

Esoknya, saya membuka email yahoo saya dan menemukan salah seorang teman Nung memberikan penawaran. Saya segera membalas dengan memberikan nomer saya. Tapi di sore harinya, rekan Nung mengatakan, penulis lain lebih cepat memberi respon. Ntah mengapa saya tidak sedih, karena saya pikir nomer telepon yang sudah saya berikan akan jadi "pintu" sendiri buat saya untuk kesempatan yang lain.

Sebenarnya pesan singkat Nung ini, menyadarkan saya akan segera mewujudkan mimpi saya. Jangan menunggu waktu lama, sudah waktunya untuk bergerak. Sudah waktunya untuk menciptakan kesempatan sendiri. Karena itu, pesan Nung jadi energi tersendiri buat saya. Bahwa legenda pribadi itu sudah tidak sabar untuk ditemui. Dan waktunya adalah SEKARANG!! Terima kasih Nung untuk pesan singkatnya yang memercik api semangat di kepala, dada, dan tanganku. Doa terbaik untuk kamu dan keluargamu :D

Saya pun semakin percaya, bahwa Tuhan selalu berbicara dengan cara yang unik. Terima kasih juga Sang Pemberi Bakat, untuk simulasi semangat melalui Nung. Ayo kita realisasikan bersama legenda pribadinya. Karena saya percaya, setiap manusia dilahirkan untuk mewujudkan mimpinya. Itulah misi hidup yang menyenangkan untuk menjadi manusia yang tak sekadar lahir, menikah, beranak, dan mati. Hidup adalah rangkaian waktu untuk mewujudkan berjuta mimpi!!

Monday, March 29, 2010

Komunikasi Itu Sulit

Malam ini saya menyadari bahwa setiap kata-kata sulit untuk dihapus. Irreversible, istilah ilmu komunikasinya.

Padahal tadi pagi saya tulis terminologi itu dalam salah satu artikel saya yang membahas mengenai bagaimana membuat anak-anak mendengarkan orangtuanya. Yaitu, ketika marah, jangan pernah bilang "Dasar anak bandel". Sebab selain anak-anak lebih cepat merekam kata-kata negatif, kata-kata juga sulit dihapus. Ya sesuai terminologi komunikasi tadi. Lantas saya mengajak pembaca saya untuk lebih memilih membuat anaknya mengerti bahwa marah berlebihan hanya menghabiskan energi.

Saya amat paham, betapa sulit mengerem kata-kata negatif keluar dari mulut. Maklum, saya termasuk orang yang frontal alias ceplas-ceplos. Saya terlalu ekspresif dan amat ngemar ngecengin teman-teman saya. Salah seorang teman liputan, menyebut saya kompor meleduk karena suka menggiring massa untuk menyerang satu orang.

Kadang-kadang kalau saya sadar, cengan saya berlebihan, saya akan minta maaf. Walaupun saya tahu ngga gampang memaafkan saya, karena udah dipermalukan duluan baru saya minta maaf. Itu kenapa, saya lebih memilih orang-orang tertentu untuk menjadi pelampiasan blongnya rem kata-kata saya. Alias, hanya ngecengin yang orang-orang terdekat saja.

Tapi bukan berarti penyaringan itu membuat orang-orang terdekat saya aman dari sakit hati yang timbul dari kata-kata yang berseliweran dari mulut saya. Bahkan mungkin ada yang menjadi tidak nyaman dengan kehadiran saya. Maka kadang-kadang saya bisa sangat sensitif ketika ada perubahaan sikap dari orang-orang terdekat saya. Yang terlintas dipikiran saya, jangan-jangan gua salah ngomong nih.

Bila sudah sampai tahap merasa seperti itu, saya bisa drastis mengerem kata-kata pada orang tersebut. Saya bisa menjadi santun dan formal kepada dia. Bagus mungkin, karena meminimalisir bertambahnya korban sakit hati. Tapi pertanyaan bijaknya, kenapa mesti nunggu sakit hati kan? Yah inilah kedunguan manusia, baru sadar kalau udah ada efeknya.

Mungkin ngga sih, Tuhan mikir kalau ngga dikasih proses sadar dari kesalahan, manusia sulit menjadi matang sesuai masanya. Tapi kalau dipikir lagi, bukannya Tuhan cinta perasaan damai ya, tanpa iri dengki? Trus kenapa mesti ada perasaan sakit hati? Jangan jawab bahwa semuanya ada hitam dan putih ya. Kalau ada damai ya mesti dilengkapi dengan sakit hati. Buat saya, jawaban ini ngga buat para ahli teologia atau pencari kebenaran menemukan esensi hidup. Datar kalau cuman begitu aja.

Tiba-tiba, dari situasi ngga enak hati karena sakit hati dari kata-kata yang kurang tepat dari seseorang, saya jadi bertanya banyak hal. Dan kebanyakan pertanyaan itu soal komunikasi.

Saya baru saya mengantar seorang perempuan Jepang yang menggilai King of Convinience (KOC). KOC manggung di Paris, dia ke sana. Dan di Indonesia, dia rela nonton di Bandung dan Jakarta demi dua laki-laki ganteng itu.

Bahasa Ingrrisnya terbata-bata, saya dan teman-teman juga sesekali lupa bahasa Inggris. Ada yang mencoba berbahasa Jepang, dan sedikit terbata-bata juga. Dan hebatnya dari komunikasi terbata-bata ini adalah kadang kala, kalimatnya belum selesai lawan bicara kita yang beda bangsa itu langsung paham. Akhirnya dua-dua akan mengangguk atau tertawa, simbol kesepahaman.

Padahal kalau dirunut, kita adalah dua orang berbeda dari dua kebudayaan berbeda dan bahasa ibu yang berbeda. Tapi justru lebih ngerti dengan bahasa terbata-bata. Bahkan ketika coba saling ngecengin dengan kemampuan bahasa terbata-bata itu, tanpa menyelesaikan kalimat, dua-duanya sudah saling mengerti. Seolah gesture tubuh dan ekspresi melengkapi jurang pemahaman yang ada dalam bahasa terbata-bata.

Duh kenapa seperti keluar dari konteks ya, semakin keliatan kayanya saya coba melarikan diri dari kesalahan kata yang sulit dihapuskan dari seseorang. Yah sudahlah intinya, komunikasi itu sulit. Dan lebih sulit lagi membuat dua orang berada dalam rasa kata, kalimat, dan aksentuasi kalimat yang berbeda untuk masuk dalam level pemahaman bahwa semua kata-kata baik adanya. Karena yang membedakan hanya siapa yang mengatakan.

Dan ketika yang mengatakan adalah orang terdekat, kata-kata yang sulit terhapus semakin tegas. Kembali mengambil teori komunikasi karena kadang kalau lebih penting melihat siapa yang berbicara ketimbang apa yang dibicarakan. Who says what, to whom, with what channel, and with what effect. Jadi semakin dekat kualitas hubungannya, saluran komunikasinya memang makin dekat tapi efek yang ditimbulkan juga makin kuat. Artinya makin salah ngomong makin susah diluapin, bila yang ngomong itu orang terdekat. Yah mesti ngerem kata-kata nih kayanya.

Sunday, March 21, 2010

Esensi Berpasangan

Tiba-tiba berpikir kenapa agama sering kali mendengungkan betapa pentingnya berpasang-pasangan. Mungkin karena saya kangen berat dengan pacar saya hihihihih...oke it's starting out of the context.

Saya sih merasa butuh berpasangan, karena saya senang merasakan jatuh cinta. Senang berbagi kecupan dan pelukan dengan pasangan saya. Walaupun memang dua kepala berisi 2 hal yang berbeda, kisah cinta saya juga diisi denga berkali-kali ngambekan. Tapi ya senang aja bisa tahu kalau kita bisa manja-manjaan dan cerita apa aja ke orang yang mau memahami kita.

Ngga jarang juga sih saya ngerasa membagi keindividualan saya dengan pacar. Kaya kalau kita mau jalan-jalan sama teman, merasa perlu untuk laporan. Atau ketika memiliki impian menyangkut masa depan, ada kebutuhan untuk menanyakan apakah itu akan mengganggu keberlanjutan hubungan kita.



Walaupun sebenarnya, pacar saya ngga akan menghambat saya, bahkan dia akan cenderung membantu. Namun seperti ada kode etiknya kalau berpacaran harus membagikan sebagian keakuan kita kepada pasangan.

Pada beberapa hubungan, situasi membagikan keakuan ini sering kebablasan hingga atas nama cinta, merasa berhak untuk membatasi ruang gerak. Jika sampai pada level kritis ini, kita pasti bertanya, ngapain harus berpasangan? Bukankah esensi diri adalah kita berhasil menikmati keakuan kita.

Seorang sahabat saya yang nyentrik bahkan berani memutuskan untuk hidup melajang selamanya. Dia bilang, "Gw sangan menyintai keakuan gw sampe merasa ngga butuh berbagi dengan siapa-siapa, khususnya laki-laki."

Beberapa orang menanggapi keputusannya sebagai wujud sakit hati dari laki-laki. Malah ada yang bertanya, apakah dia pernah mengalami trauma parah hihihi. Tapi buat saya, itu hanya keputusan biasa seperti saya memilih berbagi hidup dengan pacar saya. Mungkin karena saya melihat sendiri betapa hidupnya sahabat saya ketika dia berjalan sendirian di teriknya Jakarta. I mean, litteraly walking karena dia suka jalan kaki. Atau ketika dia cerita dia mau ke gunung halimun sendirian atau ke karimun jawa sendirian. Buat saya, ya itulah dia.

Tapi pernah juga sih saya bertanya, kenapa gw ngga kepikiran untuk melakukan itu lagi ya. Dulu waktu belum pacaran, saya dan teman-teman merencanakan ke luar kota. Walaupun sedikit yang terkabul. Atau menghayal punya perpustakaan bareng dengan teman-teman itu.

Sekarang malah kebalikannya, saya merasa lebih seru jalan-jalan sama pacar saya. Seru aja, karena saya bisa manja-manjaan. To be honest saya termasuk orang yg ngga mau repot kalau jalan-jalan. Pokoknya harus nyaman. Dan pacar sendiri lebih nyaman direpotin ketimbang teman kan hihihihihi.

Soal perpustakaan juga, saya pengen punya perpustakaan bareng pacar saya nantinya di rumah kita berdua. Bahkan saya berjanji untuk membeli buku di negara-negara yang saya kunjungi. Tujuannya untuk melengkapi perpustakaan masa depan. Amin :D

Pada tahap ini, apa kita bisa bilang ternyata membagi keakuan bukanlah hal yang mengancam status individualitas kita. Karena pada intinya, sebagian besar hidup manusia diisi dengan saling berbagi. Apakah dengan sahabat, keluarga, atau pacar.

Jadi seharusnya, agama menekankan nikmatilah hidup dengan berbagi banyak hal kepada semua orang yang membuat kita nyaman. Kalau kita nyaman untuk berpasangan (baca: berbagi hidup) dengan teman-teman, maka nikmati. Dan hal yang sama juga terjadi jika kita merasa nyaman berpasangan dengan pacar. Yah berpasangan tidak harus mengenal jenis kelamin karena bagaimana pun juga berpasangan lebih baik dari pada sendiri. Sebab semuanya mengenai mari berbagi :D