Sunday, October 21, 2007

Gadis Arivia: Hak Perempuan adalah Hak Asasi Manusia


FEMISNISME selama ini sering dianggap berseberangan dengan nilai ketimuran. Namun, tidaklah demikian menurut Dr Gadis Arivia. Bagi aktivis perempuan ini, feminisme lahir berkat adanya kesadaran kritis, dan tidak mengenal pembagian pemikiran secara geografis (Barat atau Timur-Red).

Doktor filsafat dari Universitas Indonesia dengan disertasi bertajuk Dekonstruksi Filsafat Barat, Menuju Filsafat Berperspektif Feminis ini akrab di telinga publik setelah ditangkap polisi ketika berdemonstrasi mengusung isu kelangkaan susu bayi di bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Februari 1998, pada masa krisis moneter di Indonesia.

Lulusan Ecole Haute Etudes Scientifique Sociale itu bersama rekan-rekannya sebelumnya mendirikan Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) tahun 1996. Alasan mendirikan yayasan itu karena melihat demokrasi bagi kaum perempuan di Indonesia masih sangat perlu diperjuangkan.

Selain menekuni pekerjaannya sebagai akademisi, Ibu dua anak, Anissa Joice dan Benyamin Arif, dan isteri Rick Polard, laki-laki berkebangsaan Amerika, ini
mengabdikan diri sebagai Direktur Yayasan Jurnal Perempuan (YJP). Kendati dia tidak pernah menerima gaji dari kegiatannya di YJP itu. Sedangkan Polard bekerja di Bank Dunia kantor Indonesia.

Pengagum Jacques Derrida, tokoh gerakan pascamodernisme dari Prancis, ini merasa mantap menapaki kegiatannya karena punya kesiapan mental dan dukungan suami dan anak-anaknya.

Berikut yang disampaikan anak ke-7 dari sembilan bersaudara pasangan Arif Effendi dan Atikah ini kepada Jurnal Nasional baru-baru ini.

1. Apakah kekuatan perempuan baru terlihat bila tampil di kancah politik seperti pilkada atau pemilu?

Kekuatan kelompok perempuan atau mereka yang bersimpati pada gerakan perempuan sangat kuat bukan saja dalam kancah politik. Malah dalam kancah politik kalau dilihat dari statistik kekuatan perempuan sangat lemah. Keterwakilan perempuan di bawah 11 persen, tapi dalam kancah pemberdayaan masyarakat, dunia literatur, ilmu, film dan musik justru representasi kekuatan perempuan pada bidang-bidang itu pada masa sekarang sangat terasa.

2. Bagaimana menciptakan kesadaran politik pada perempuan, mengingat ranah ini masih dianggap maskulin?

Perempuan banyak yang sadar politik, bahkan mereka sendiri selama sepuluh tahun terakhir banyak yang terjun, baik di politik praktis maupun dalam wacana. Kalau kita perhatikan, gerakan perempuan di politik sangat luar biasa. Mereka biasanya yang banyak bersuara. Namun, sistem politik kita belum akomodatif. Artinya, masih banyak kendala di sistem politik itu sendiri, apakah di partai atau di parlemen, suasana egaliter sangat jauh terasa.

3. Kalau begitu, apakah ada perangkat politik yang harus dibenahi?

Ya, perangkat politik harus dibenahi agar ramah terhadap perempuan. Untuk membenahi ini perlu ada "political will" dan seringkali hal ini yang tidak ada. Politik merupakan ajang perebutan kekuasaan, oleh sebab itu menyerahkan kesempatan kepada perempuan berarti mengurangi jatah perebutan kekuasaan tersebut.

Apalagi perempuan yang terjun ke politik memang yang teruji secara mental dan rata-rata berpendidikan di atas rata-rata laki-laki, sehingga bila perempuan diberikan kesempatan tentu mereka akan menang. Hal ini terbukti di hasil pemilu lalu banyak perempuan yang meraih suara. Namun, karena diterapkan sistem nomor urut partai maka mereka gagal. Tentunya ini tidak fair.

4. Belakangan, sastra perempuan menunjukkan eksistensinya. Hanya saja banyak orang berpendapat bahwa perempuan yang terlalu bebas mengangkat seksualitas dan kelamin adalah menelanjangi perempuan itu sendiri. Pendapat Anda?

Saya pikir mereka yang berpendapat demikian tidak mengerti sastra. Sastra adalah ajang ekspresi kebebasan imajinasi dan kreativitas seseorang. Bila perempuan kini banyak bicara soal seksualitasm berarti mereka sedang menyampaikan suatu pesan bahwa seksualitas perempuan layak dan perlu untuk diketahui karena selama ini ditabukan. Pesan ini mereka sampaikan lewat sastra, lewat kreativitas dan imajinasi mereka.

Setiap zaman ada pesan yang ingin disampaikan, zaman sekarang adalah zaman sastra yang didominasi oleh persoalan dan wacana perempuan, seksualitas adalah tema yang sedang digulirkan. Tentu kita harus apresiasi setiap kreativitas dan imajinasi pelaku sastra yang dengan serius menampilkan karya-karya mereka. Menghujat, membungkam bahkan mensensor hasil suatu karya sastra berarti membunuh imajinasi. Ketika imajinasi dibunuh yang ada kematian.

5. Dalam kehidupan berkeluarga, bagaimana Anda menerapkan kesetaraan jender? Karena di Indonesia masih kuat tertanam laki-laki adalah kepala keluarga atau tidak mungkin ada dua nahkoda dalam satu perahu ?

Keluarga bukan diarahkan atau dinahkodai, tapi keluarga dibentuk dan dibina. Pembentukkan keluarga tidak dilakukan dengan pengarahan, tapi dilakukan dengan kesadaran. Dalam sebuah keluarga semua memiliki kepala dan hati, setiap anggota bebas untuk mengeluarkan isi kepala dan hatinya.

Kalau sebuah keluarga hanya boleh memiliki satu kepala berarti yang lain tidak bisa dianggap manusia, tidak berpikir dan hanya menjadi obyek dan bukan subyek. Pengertian keluarga demikian adalah pengertian yang usang yang sudah tidak relevan lagi di abad 21. Di abad ini setiap anggota keluarga memiliki kepala, dapat berpikir, menentukan pilihan-pilihan hidupnya sendiri dan saling menghargai pendapat setiap orang yang berkepala.

6. Kelihatannya suami Anda sangat mendukung pilihan Anda sebagai feminis, apakah karena ia dari Barat?

Saling menghormati dan saling mendukung satu sama lain di dalam keluarga tidak dibatasi oleh wilayah geografis. Apakah orang tersebut dari Timur atau Barat tidak ada pengaruhnya atas cara berpikir seseorang. Yang membuat seseorang bijaksana, toleran dan egaliter adalah karena karakter pribadinya. Karakter tersebut bukan dibentuk oleh wilayah geografis, tapi dibentuk oleh kesadaran kritis. Kesadaran kritis seseorang tidak berasal dari wilayah (Timur atau Barat), agama atau etnis. Kesadaran kritis berasal dari otonomi individu yang mau terus belajar dari yang "lain".

7. Ada yang bilang, feminisme tidak tepat bagi Indonesia karena asalnya dari Barat?

Feminisme lahir di banyak tempat termasuk di Indonesia. Kongres perempuan pertama Indonesia telah dilakukan pada tahun 1928. Seribu perempuan menghadiri kongres tersebut dan berasal dari 30 organisasi perempuan. Di dalam kongres tersebut sudah dibicarakan soal kesetaraan perempuan yang hanya dapat dicapai lewat pendidikan dan penolakan terhadap poligami. Jadi, 79 tahun yang lalu para perempuan kita sudah sangat feminis sekali. Mereka yang asal bicara dan mengatakan bahwa feminisme dari Barat tidak mengetahui sejarah perempuan di negerinya sendiri. Orang-orang seperti itu memang orang-orang yang kurang membaca, sehingga tidak memahami sejarah bangsanya sendiri. Orang-orang semacam itu perlu dikasihani.

8. Apa yang membuat Anda tertarik mendalami feminisme?

Setiap orang yang tertarik pada ide-ide demokrasi, toleransi dan Hak Asasi Manusia, pasti tertarik dengan feminisme. Hak-hak perempuan adalah hak asasi manusia, keduanya tidak terpisahkan. Di abad ke-21 ini, setiap orang yang ingin disebut sebagai orang yang demokratis, toleran dan menghargai manusia, maka orang tersebut harus dapat berbahasa feminisme. Laki-laki zaman sekarang yang tidak dapat berbahasa feminisme adalah laki-laki yang tidak dapat berkomunikasi dengan zamannya. Jadi, bagi saya sangat alamiah seseorang tertarik dengan feminisme karena zaman ini bukan zaman jahiliyah.

9. Andai Anda menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan, apa yang akan Anda lakukan?

Saya akan berkonsentrasi pada pendidikan. Pendidikan di sini artinya pendidikan yang benar-benar mengajarkan otonomi individu. Pendidikan dasar Hak Asasi Manusia perlu diajarkan di setiap sekolah dasar hingga lanjutan, sehingga kata "kesetaraan" menjadi kosa kata yang sudah dikenal sejak dini. Pendidikan memberikan kesempatan yang luas bagi setiap individu, termasuk kesempatan ekonomi yang dapat membuatnya menjadi mandiri.

Dimuat di Jurnal Nasional, 19 September 2007.

Biodata

Nama: Gadis Arivia

Tempat/Tanggal Lahir: New Delhi, 8 September 1964

Suami: Rick Polard (berkebangsaan Amerika)

Anak: Anissa Joice dan Benyamin Arif

Pendidikan :

- 2002, Doktor Filsafat, Universitas Indonesia.

- 1994, Master of Arts Social Psychology, EHESS, Paris, France.

- 1989, BA Filsafat, Universitas Indonesia.

- 1986, Sarjana Muda untuk Kesusateraan Perancis.

- 1982, Mc. Lean High School, Virginia, USA.

Pekerjaan:

- 1989 - sekarang, Dosen Departemen Filsafat dan Studi Perempuan, Universitas Indonesia.

- 2000, Produser "Violence Against Women", program dokumentasi dengan UNIFEM.

- 2000 - 2003, Produser Radio Jurnal Perempuan (RJP), program mingguan perempuan untuk 152 stasiun di Indonesia.

- 2001, pelatih jurnalisme peka jender, kerja sama dengan Ford Foundation untuk organisasi media.

- 2001, konsultan untuk UNFPA dalam penyeleaian laporan "GO/NGO Participation on Violence Against Women".

- 2002, Produser "Women in Conflict Area", film dokumenter dengan USAID.

- 2002, Penelitian dan peliputan kisah "Women in Mining Area", studi di PT. New Mont, Sumbawa.

- 2003, film documenter dan studi "Trafficking in Women and Children" kasus di Kalimantan Barat dan Batam.

Tulisan yang dipublikasi:

- Postfeminism, Is Feminism Dead?, Women's Journal, 2000, Jakarta.

- Women's Perspective on Vagina, Women's Journal, 2000, Jakarta.

- Women in Indonesian Culture, LIPI, 2000, Jakarta.

- War Against Boys, Women's Journal, 2000, Jakarta.

- Taliban, Not a Woman's Friend, 2001, Jakarta.

- Abortion in Indonesia, Kompas, 2001, Jakarta.

- Sukarno dan Gerakan Perempuan, Kepentingan Bangsa VS Kepentingan Perempuan, St. Sularto (ed), Kompas, 2001.

- We Long Your Voice, Letter to Megawati Sukarnoputri,The Jakarta Post, January 2003.

- Gender Issues in Pramoedya's Novels, paper presented in University Gajah Mada, January, 2003.

No comments: