Monday, October 1, 2007

Fariduddin Attar

Musyawarah dan Biografi Sufi

Berawal sebagai seorang pemilik toko farmasi kaya, Fariduddin Attar berubah wujud menjadi seorang sufi. Pertanyaan seorang kakek tua akan kematian membuat dirinya menanggalkan pakaian dunia dan mengenakan jubah wol. Jubah wol sendiri dalam Bahasa Arab ditulis suf yang merujuk pada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik muslim. Proses inilah yang kemudian menuntun Fariduddin Attar secara gradual mengalami pemurnian hati dan jiwa, dalam Ketuhanan.

Titik nol dari pemurnian jiwa Fariduddin Attar - dijuluki Attar karena status sosialnya sebagai pemilik toko farmasi yang juga penjual minyak wangi – dimulai ketika dirinya tidak dapat memberi jawaban kapan kematian akan menghampirinya. Ketika itu seorang kakek tua bertanya kepadanya,”Dapatkah kau mengetahui kapan ajal akan menjemputmu?”. Attar yang berniat mengusir pengemis tua itu kemudian merasa malu atas ketidaktahuannya. Pengemis tua itu kemudian meyakinkan Attar bahwa dirinya dapat menunjukkan kapan kematian akan datang atas dirinya. Dan sesaat setelah itu kakek tua itu pun meninggal dihadapan Attar.

Attar yang merupakan ahli kimiawi ini merasa tersentak melihat betapa kebersatuan Tuhan dengan hambaNya bisa tergambar dalam wujud kesederhanaan manusia. Semenjak itu, Attar meninggalkan status sosialnya dan mulai melakukan perjalanan spiritualnya. ”Namun Attar hidup dalam tradisi dimana tidak terbiasa untuk menonjolkan dirinya, maka sangat sulit untuk mengetahui siapa-siapa saja yang secara resmi menjadi guru dalam pengelanaannya. Tapi beberapa nama seperti Al Ghazali, Ibnu Sina dan Hakim Sanai, diyakini memberi pengaruh dalam pengembaran tersebut,” jelas Prof. Dr. Mulyadi Kartanegara, Guru Besar Universitas Islam Syarif Hidayatullah, ketika dihubungi Jurnal Nasional beberapa waktu lalu.

Mulyadi juga menambahkan, keberhasilan Attar untuk mengumpulkan kisah para sufi sebelumnya dalam Tadzkiratul Awliya, sedikit banyak mempengaruhi pemikiran Attar. Namun karya terbesar Attar adalah pada cerita sufi yang bertajuk Manthiquth Thayr atau Musyawarah Burung. ”Dalam cerita ini, Attar menggambarkan bagaimana kebersatuan Sang Khalik dengan ciptaanNya dihasilkan oleh kemerdekaan jiwa manusia.” Bagaimana sebenarnya Musyawarah Burung bertutur?

Attar bertutur dalam bukunya, berkumpulah segala burung di dunia, yang dikenal maupun tidak. Pertemuan ini digelar untuk bermusyawarah mencari raja. Hal ini dipicu oleh burung Hud-hud yang bercerita tentang raja segala burung yang begitu agung dan mulia. Raja burung yang bernama Simurgh ini tinggal di balik gunung-gunung, maka untuk bertemu dengannya haruslah menempuh tujuh lembah.

Lembah pertama adalah lembah pencarian. Kedua lembah cinta. Ketiga lembah keinsyafan. Keempat lembah kebebasan dan kelepasan. Kelima lembah keesaan murni. Keenam lembahan keheranan. Ketujuh adalah lembah ketiadaan dan keterampasaan. Maka dengan mahadaya cinta berangkatlah para burung menuju tempat sang Simurgh. Lalu apa yang terjadi ? Berhasilkah para burung bersua dengan raja yang diceritakan Hud-hud ?

Dari ribuan burung yang berangkat, hanya tiga puluh ekor yang berhasil bertemu dengan Simurgh. Alangkah terkejutnya para burung yang berhasil bertemu dengan Simurgh, karena mereka menatap diri mereka sendiri. Dalam bahasa Persia, Simurgh berarti tiga puluh. Bila keduanya saling menatap diri mereka, maka taulah mereka bahwa mereka dan Simurgh adalah dalam wujud yang sama. Dan mereka pun meleburkan diri dengan penuh sukacita karena Simurgh berada dalam diri mereka sendiri.

”Ini simbolisasi ekspresi yang luar biasa, karena Attar tidak hanya mampu menceritakan refleksi perjalanan spiritualnya semata. Tapi dia juga memahami bagaimana jiwa manusia berperan dalam memahami kebenaran. Cerita ini juga memberikan tempat bagi kegagalan manusia dalam menemukan definisi diri dan Tuhannya. Maka perjalanan spiritual manusia tercermin dalam risalah ini,” Mulyadi berpendapat.

Dan penggunaan burung sebagai simbol jiwa manusia, menurut Mulyadi adalah untuk menunjukkan bahwa kebebasan jiwa manusia tidak bisa diperangkap oleh akal atau panca indera semata. Itulah mengapa, Attar menikmati pengelanaannya. Karena dengan berkelana, Attar tidak hanya bertemu dengan banyak pemikir tapi dia juga membebaskan jiwanya untuk semakin menguliti identitas keimanannya.

”Inilah mengapa kemampuan Attar dalam berekspresi mempengaruhi generasi berikutnya, dan hal ini diakui sendiri oleh Jalaluddin Rumi. Buat Rumi hanyalah Attar dan Hakim Sanai yang menjadi telinga serta mata bagi perjalanan spiritualnya.”

Meskipun dalam buku Akulah Angin Engkaulah Api : Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi yang ditulis oleh Annemarie Schimmel, meragukan pertemuan keduanya. Mulyadi menyakini pertemuan keduanya benar-benar terjadi. ”Meskipun ada perdebatan akan hal ini, menurut saya pertemuan itu terjadi. Selama belum ada bukti yang menegasikannya.” Bahkan menurut Mulyadi, pertemuan Rumi dengan Attar merupakan satu momentum bagi Rumi untuk bangun dari kesedihannya setelah ditinggalkan guru tercintanya, Syamsi Tabriz.

Mungkin pepatah guru kencing berdiri dan murid kencing berlari, tepat dikenakan bagi Attar. Karena, popularitas Attar bisa dikatakan tidak seperti yang didapatkan Rumi. ”Attar ini bisa dibilang sedikit misterius, karena hingga kini riwayat hidupnya tidak jelas. Hal ini bisa jadi karena Attar tidak memiliki tarekat seperti Rumi, jadi siapa-siapa saja yang terdaftar sebagai pengikutnya juga tidak jelas. Dan ketika akhir hidupnya, Attar juga harus berhadapan dengan serangan Bangsa Mongol. Jadi sangat sulit untuk melacak jejaknya,” Mulyadi yang juga merupakan Direktur dari Center for Islamic Philosphical Studies and Information ini, bertutur.

Untuk itulah, Mulyadi menegaskan bahwa keberadaan Attar sangat berpengaruh besar dalam revolusi pemikiran Islam. Bahkan Mulyadi juga menekankan bahwa Attar yang hidup di Abad ke-12 sangat minim kemungkinannya untuk mendapat pengaruh dari pemikir Barat. Karena jauh sebelum khalifah Barat terlahir, khalifah Islam telah membangun pondasinya.

”Saya kurang setuju kalau dibilang, masa Attar dan Rumi merupakan mazhab yang sederhana. Karena bayangkan saja, Attar sendiri adalah seorang ahli kimia jauh sebelum ilmu pengetahuan Barat berkembang. Untuk pemikirnya sendiri, abad ke-12, saya rasa Thomas Aquinas saja belum lahir. Jadi pemikiran mereka masih sangat orisinil.”

Layaknya burung Hud-hud, Attar memang hanya memainkan perannya sebagai pencerita atas keberadaan raja burung yang mulia juga agung. Adalah Attar yang berhasil merangkum pemikiran Hasan Al-Bashri, sufi pertama, hingga Bayazid Al-Busthami. Dari Rabiah Al-Adawiah sampai Dzunnun Al-Mishri. Yang kemudian meningkat menjadi cerminan refleksi kualitas perjalanan spiritual manusia dalam masterpiece-nya Musyawarah Burung.

Dan setelah proses gradual pengkulitan keimanan mampu menghantarkan para-para sufi setelahnya sampai pada kesatuan hakekat dengan Tuhan, sang burung Hud-hud pun menghilang tanpa jejak. Cukup dikenal sebagai pemilik perusahaan farmasi yang disadarkan pengemis tua.

ps: atas keterbatasan halaman, tampilan pada Jurnal Nasional 29 September lalu hanya sampai pada Syamsi Tabriz. Ah Attar memang selalu ditakdirkan untuk tidak diceritakan secara utuh sepertinya. Damned, gua semakin terikat dengan Attar

1 comment:

UnInX said...

Salam Mbk.. ana ingin bertanya tentang buku Musyawarah Burung ini adakah masih boleh di beli di sama.. wassalam