"ATAS NAMA SERIBU TOPAN BADAI,BEDEBAH!!" Kalimat itu terlintas dengan jelas di kepala, setelah mengetahui kesalahan fatal yang terjadi di majalah anyar saya hanya karena "pemimpin" tidak melakoni perannya dengan baik. Ya, saya memberi tanda kutip untuk menggambarkan bahwa dia jauh dari definisi yang sebenarnya.
Sebagai pemimpin, dia getol marah-marahin bawahannya kalau kerja tidak beres. Sebagai pemimpin dia menuntut kesempurnaan dari kerja anak buahnya, dengan menjatuhkan mental. Padahal, sepengetahuan saya, pemimpin yang ada di baris kedua dari jajaran tertinggi ini tidak punya background menjadi kuli tinta. Jadi modalnya hanya sekedar marah tanpa bisa kasih masukan atau koreksi yang proporsional.
Dan saya semakin yakin untuk menambahkan kutipan di jabatan pemimpinnya, setelah edisi terbaru majalah saya, "pemimpin" itu tidak langsung mengamini kesalahannya.
Kronologisnya seperti ini, saya mewawancarai salah satu petinggi perusahaan minyak dan gas milik pemerintah. Kala itu saya menggandeng fotografer untuk merekam figur orang itu dalam frame kamera yang ciamik. Saya yakin betul fotonya akan maksimal,karena saya selalu percaya dengan skill fotografer.
Setelah transkrip, saya pun menulis profil petinggi itu. Tulisan selesai, saya
masukkan dalam folder rubrik yang saya tangani. Kala itu kita memang punya stok, profil dari perusahaan lain. Al hasil di dalam folder ada dua folder. Folder pertama berisi bahan teman saya, yang senin ini resmi pindah tempat kerja. Folder ini lengkap dengan foto. Dan folder kedua, berisi bahan saya tanpa foto. Karena foto ada di kamera fotografer kami.
Saya memasukkan tulisan, beberapa hari sebelum deadline. Selesai itu adalah bagian redaktur atau "pimpinan" untuk mengedit tulisan saya. Sesuai rapat redaksi yang akan dinaikkan terlebih dulu adalah yang saya wawancara, salah satu petinggi perusahaan minyak dan gas milik negara.
Hari ini (2/9) majalah kami beredar. Di halaman daftar isi, saya sempat menangkap keganjilan. Rubrik saya berisi muka asing, bukan orang yang saya wawancara tapi namanya nama orang yang saya wawancara. Saya pikir mungkin itu stok foto lama, walaupun kemudian saya membatin kenapa mesti pakai foto lama?
Saya membuka halaman demi halaman, apa yang terjadi? Satu foto besar yang
bertuliskan nama orang yang saya wawancara, benar-benar muka asing. Saya mulai deg-degan. Dasar orang Indonesia, saya masih berharap halaman di belakangnya berisi muka yang saya kenal. Hingga saya bisa berkata, "Untung cuman satu foto," seperti kebanyakan orang kita ketika ketiban musibah dan berusaha mencari hikmah.
Untung tidak saya rengguk, karena dua foto sedang dan satu foto lumayan besar, BENAR-BENAR BUKAN MUKA ORANG YANG SAYA WAWANCARA! Sigap saya meraih teman satu tim saya yang duduk di samping saya,"Anjrit ini bukan orangnya! Tulisannya bener kok, tapi fotonya bukan!" Temanku yang hangat itu merespon,"Lapor Pris ke 'Pemimpin' !!"
Saya pun melangkah cepat ke ruangannya yang teramat dekat. "Pa, ini bukan foto yang saya wawancara. Ini orang lain dan saya tidak kenal. Tapi tulisannya benar." "Pimpinan" kaget dan berkata, "Kamu nyetor fotonya tidak?"
"Waktu itu saya ajak fotografer, jadi fotonya ada di mereka."
Tiba-tiba teman saya datang menghampiri, "Itu foto Bapa..." (saya lupa namanya yang pasti itu foto diambil dari folder teman saya yang baru mengundurkan diri, yang saya ceritakan di muka). Saya pun spontan membalas, "Loh itu bukannya orang yang bakal kita turunin di edisi yang sekarang kita garap?"
"Iya Pa, foto itu harusnya untuk edisi yang kita garap. Berarti ada yang ngambil
dari folder yang bukan folder saya. Padahal itukan dua orang yang berbeda," saya mulai punya alasan untuk panik dan terasa ingin teriak.
"Coba saya confirm ke bawah." Beberapa saat ke bawah dia menghampiri saya, "Oiya, fotografer itu belum setor fotonya maka layouter ambil dari folder. Dan saya untuk edisi ini memang tidak memantau layout karena saya ingin pelan-pelan melepaskan mereka."
Oke saya mulai merasa ada usaha pembenaran di sini. Bukankah dia selalu marah kalau ada redaktur yang tidak jaga layout? Kenapa dia tidak jaga layout? Apa yang lebih penting dari itu? Toh setahu saya porsi terbesar dia, ya itu jagain layout. Alasannya ketika dia bercerita harus berjibaku berjam-jam di layout karena dia ingin semuanya sempurna. Ini baru edisi ke empat dan dia sudah mulai pelan-pelan meninggalkan layout.
"Sepertinya besok-besok kalau kita ajak fotografer untuk mengingatkan mereka taruh fotonya langsung di folder. Dulu saya juga tangani itu, tapi karena banyak yang saya urusin akhirnya saya tidak minta lagi."
Apa kerjaan lain yang mendesak ketika itu? Saya pun membatin. Seandainya dia menjaga layout kesalahan itu bisa dikoreksi dengan mudah. Sehingga kategori kesalahan fatal, yang kemudian dia amini juga sebagai kesalahan fatal, bisa dihindari. "Ini fatal sekali, saya jadi tidak enak dengan coorporate communicationnya karena dia pasang iklan lagi."
Jawaban yang aneh. Dia lebih milih ngomong gitu ketimbang bilang, "Coba saya jagain ya Pris, pasti ngga kejadian. Maaf ya." Saya langsung tidak bersemangat kerja.
Saya pun mempertanyakan apa yang akan dilakukan. "Kita akan bikin ralat di edisi terbaru dan menampilkan foto yang benar." Saya merasa tidak jelas kalau hanya menampilkan fotonya saja di edisi terbaru itu. "Ok, mungkin kita bisa tampilkan dua profil di edisi besok. Untuk meralat foto dengan menampilkan foto yang benar di kedua tulisan. Tapi akan dipikirkan lagi."
Lalu saya bertanya apa yang akan saya katakan kepada orang yang saya wawancara. "Nanti saya akan kirim surat permintaan maaf ke kedua belah pihak. Saya juga ngga enak, karena ada iklan mereka di edisi ini."
Entahlah, saya keburu kecewa dengan dia. Terlebih ketika teman setim saya bilang, "Kenapa dia ngga jagain layout-nya. Padahal kita bersusah payah membangun image. Dan ini pasti merusak usaha itu."
Teman saya itu pun menambahkan,"Rupanya selain jadi reporter kita juga harus
ngerjain semuanya. Plus jadi mandor layout yang sebenarnya bukan bagian kita."
Saya merasa campur aduk, tulisan yang menampilkan secara jelas nama saya itu rusak hanya karena keengganan bekerja profesional. Saya ingin sekali seperti "pemimpin" itu yang bisa langsung marah atas nama kesempurnaan. Tapi sebagai kacung kampret saya tidak punya kewenangan untuk sejauh itu bersuara.
Saya pun memilih pulang dengan cepat karena saya sudah tidak konsentrasi bekerja. Saya coba untuk bekerja, tapi tidak bisa. Bahkan bicara saya semakin ngawur dengan suara keras yang satir. Teman-teman tim saya bilang, "Tenang aja Pris, ini bukan kesalahan kamu."
"Iya tapi nama saya ada di sana, bisa jadi nanti setiap kali saya ke perusahaan itu mereka akan bercanda bilang, jangan mau diwawancara dia, nanti mukanya bisa berubah," saya coba untuk tertawa. Tapi rasanya getir karena satir tidak pernah renyah untuk dinikmati.
Saya berusaha setengah mati untuk bisa "hidup" di desk baru ini. Saya percaya setiap penempatan rubrik baru akan membuahkan pembelajaran baru, maka saya berusaha untuk tertarik. Dan ketika saya coba menyelaminya dengan sekuat tenaga, saya dikecewakan.Saya semakin sulit bernafas di bidang yang kata banyak orang ladangnya duit.
Well ladang duit yang ini, tidak menarik perhatian saya. Saya lebih merasa berdaya guna ketika mewawancarai dokter, seniman, atau mereka yang secara profil memberikan pencerahan bagi orang banyak. Aktivis, guru, pekerja sosial misalnya, mereka lebih banyak ilmu filosofi dibanding bos-bos minyak dan tambang. Bos-bos itu lebih sering ngomong untung material.
ATAS NAMA SERIBU TOPAN BADAI, BEDEBAH!!!