Sunday, February 4, 2007

Eros Rosita, Bidan di Hati Suku Baduy



Jurnal Nasional, 5 Februari 2007

DESA Kanekes yang terdiri dari dua bagian besar, Baduy Luar dan Baduy Dalam, merupakan masyarakat Ulayat yang masih keukeuh mempertahankan keaslian adat istiadat. Di tengah wilayah berhawa dingin itu tersebutlah seorang bidan dengan tekad bulat mengulurkan tangannya untuk proses kelahiran setiap bayi di Baduy Luar. Sampai kini, hanya sepasang tangannya yang dipercaya menyambut sang generasi baru Baduy.

“Awalnya saya nangis pas harus naik turun bukit, padahal waktu itu saya lagi hamil anak pertama,” tutur perempuan bernama Eros Rosita ini mengenang pertama kali ia menginjakkan kakinya di tanah berbukit itu kepada Jurnal Nasional, 1 Februari 2007 lalu.

Memang sebuah medan penuh tantangan. Bayangkan saja, untuk bisa sampai ke Desa Kanekes yang berada di dalam hutan lindung itu, dirinya harus berjalan selama 1,5 jam.

Untuk memasuki desa yang mengharuskan penduduknya berpakaian hitam-hitam ini, Ros diajak ayahnya yang kebetulan juru suntik khusus masyarakat Baduy, baik Baduy Luar maupun Baduy Dalam. Itulah kali pertama dia menitikkan air mata ketika menyadari bahwa gelar bidannya diperoleh dari kekuatan kaki ayahnya menapaki bukit-bukit terjal itu.

Namun, bukan hanya bukit terjal yang harus dihadapinya, reaksi masyarakat Baduy yang sangat tertutup sempat membuat dirinya tidak percaya bahwa dia akan diterima dengan baik seperti mereka menerima ayahnya. “Setiap kali saya datang, ibu-ibunya langsung ngumpet. Ngeliat saya kayak ngeliat setan,” ucapnya sembari tertawa.

Perjuangannya yang dimulai tahun 1997 itu pun membuahkan hasil, meskipun kadang-kadang Posyandu harus dipindahkan di ladang tempat para masyarakat Baduy banyak menghabiskan waktunya pada siang hari. Bahkan, ketika Jurnal Nasional mengikuti kegiatannya seharian penuh, dia dengan semangat menjemput seorang ibu hamil yang tengah pergi ke kali mencuci pakaian. “Harus dikejar. Kalau nggak, besok-besok dia jadi males,” katanya penuh antusias.

Untuk menumbuhkan rasa percaya masyarakat yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan itu, Ros harus selalu dapat membuktikan bahwa obat ataupun makanan yang diberikan kepada mereka memang berkhasiat bagi kesehatan mereka. Tapi pernah satu kali, salah seorang pasiennya meninggal usai diikutsertakan dalam penelitian bersama dokter-dokter dari Rumah Sakit Harapan Kita. Keluarga pasien tersebut mengira pemeriksaan yang menggunakan elektrokardiogram itu adalah penyetruman yang mengakibatkan kematian.

“Waktu itu keluarganya minta tebusan enam juta, saya panik. Tapi Dr. Idris Idham (Ketua Tim Penelitian) membantu saya. Bahkan mendoakan agar anak dalam kandungan saya waktu itu nantinya jadi dokter,” cerita Ros. Pengalaman inilah yang kemudian membuat dirinya terus berdoa agar anak-anaknya kelak juga dapat menyembuhkan masyarakat Baduy dengan pemeriksaan yang lebih teliti. Priska Siagian.

nb: fotonya aku ganti karena lebih bagus yang ini (menurut gua)

2 comments:

ephemeralbeing said...

provisiat!! i like your writing. it's original and it surely has a character!! give me more!!

Jana said...

saya baru beberapa hari yang lalau bertemu beliau di ciboleger..hari ini cari datanya krn kmrn ga sempat ngobrol banyak..skrg yang ada dalam pikiran saya, beliau itu sudah seperti legenda bagi suku baduy.