Saturday, May 10, 2008

Otoritas Diri

Semakin kita besar, bentukan untuk memiliki otoritas diri semakin kuat. Tapi kenapa otoritas diri pada seorang individu, selalu dikaitkan dengan harapan dan keinginan orang sekitar.

Untuk hal-hal yang sedikit memaksa, orang Indonesia akan menggunakan budaya timur sebagai justifikasi. Setidaknya ini yang terus ditayangkan secara naif di sinetron-sinetron. Tampilan yang seragam dari judul yang beragam justru menimbulkan pertanyaan baru atas budaya timur atau keindonesiaan itu sendiri.

Ada beberapa sinetron yang mengandalkan kisah percintaan yang tidak disetujui. Orang tua pasti akan mengacam, baik dengan pernyataan tegas maupun penjebakan-penjebakan yang bikin pasangan itu akhirnya berpisah. Bahkan di level yang paling tidak masuk akal, di sinetron yang dimainin Naysila Mirdad (Cahaya kalo kaga salah judulnya) nenek dari suaminya meminta timbal balik karena udah nyelamati Naysila. Timbal baliknya perceraian, maklum sang nenek tidak pernah suka dengan Nay yang berperan sebagai cahaya.

Dan dikehidupan nyata, hal nyaris serupa juga terjadi. Rico Ceper diduga melarikan anak di bawah umur, karena kaga disetujui oleh orang tua cewe untuk memadu kasih. Lucunya, ayah dari pacar Rico itu yang menggelandang keduanya ke polisi karena setelah anaknya dua hari kabur, ditemukan bersama Rico.

Dari tayangan infotaiment, sang ayah terlihat tegas bilang ke polisi, "Saya ingin lapor anak saya di bawa kabur." Sang anak hanya bisa tertunduk ketika ayahnya mendekap biar tidak didorong kru infotainment. Sedangkan Rico, hanya mampu menutup wajah dengan topi.

Orang tua sering bilang, adalah harapan untuk melihat anak-anaknya bahagia. Terutama ketika anak-anak menjadi dewasa, harapan bahagian termaktub dalam persetujuan orang tua terhadap jalinan kasih yang dibina anaknya. Dan ketika berbicara mengenai persetujuan, praktis yang ditekankan kriterian orang tua. Karena kalau tidak, capnya anak tidak punya pamrih atau kasarnya durhaka.

Pembelaan yang sering digunakan, adalah membentuk kebahagian keluarga dalam ranah ketimuran Indonesia adalah dapat diterima keluarga besar. Jadi, urusannya bukan hanya libatin otoritas keluarga inti tapi juga keluarga besar. Susah kayanya untuk mencari dimana letak otoritas diri kalau udah sampai pada titik ini.

Padahal otoritas diri adalah modal seorang yang beranjak matang untuk mendefinisikan komitmen. Rasanya cape untuk selalu menjelaskan, betapa otoritas diri adalah wujud tanggung jawab dalam menerima segala konsekuensi pilihan yang diambil.

Maka definisi ketimuran dalam berkeluarga harus bermuara pada seberapa siap keluarga besar menerima perwujudan komitmen yang berada dalam batas wajar mereka. Karena anak-anak budaya timur, dibesarkan untuk mendengarkan apa yang dikatakan orang tua mereka.

Nurut atau patuh adalah simplikasi dari semua ini. Walaupun saat ini, definisi nurut sudah lebih lentur dibanding tiga sampai empat dekade lalu. Tapi untuk urusan milih bibit, bebet, dan bobot, ya nurut masih dalam kondisi yang tidak jauh berbeda dari tiga dekade kemarin.

Tiba-tiba kepikiran untuk aktualisasi otoritas diri tanpa takut diberi predikat tidak pamrih atau malin kundang, alias durhaka. Sampai manakah nurut dan otoritas diri itu berarsiran? Atau jangan-jangan mereka tidak berarsiran? Ada yang bisa jawab?

2 comments:

living silence said...

hi yg kubaca di paragrap ini sedikit menggambarkan wild dan radikal itu :) btw saman itu maksudnya apa ya ?

salam

butterfly menikmati dunia said...

hahahha...bisa jadi benar tapi sangat mungkin juga tidak benar :D

Saman itu karakter di buku Saman karangan Ayu Utami. Aku suka karakter itu, karena dia berani menanggalkan identitasnya untuk melawan kemunafikan orang atas nama agama. Ya wujud metamorfosis yang liar dan radikal aja