.jpg)
Kepada yang terkasih,
Sang empunya kehidupan yang akrab ku sapa, sahabat.
Sahabat,16 Mei kemarin, Kau menghampiriku dengan luar biasa. Kau titipkan sebuah benjolan pada payudara kiri ibuku. Dokter kurang ajar di RS.Cipto Mangunkusumo,hanya berdasarkan hasil mamograf dan usg tanpa biopsi menyatakan benjolan itu ganas.
Ibuku berdoa dengan isak tangis yang dalam, sesaat sebelum aku berangkat pelatihan ke Bogor, menyakini bahwa Kau akan melakukan yang terbaik. Saat itu, aku rasakan ketakutan dan kegelisahannya. Andaikan aku menemaninya,pasti ku damprat dokter kurang ajar itu. Dan saat itu juga,aku mengajukan gugatan terbuka untukMu, sahabatku.
Gugatan itu, adalah gugatan kedua yang pernah ku ajukan. Lima tahun yang lalu, mamaku juga harus dioperasi karena Kau titipkan benjolan di ginjalnya. Kala itu aku berpikir kenapa harus dia, dan ku layangkanlah amarahku yang berwujud gugatan.
Dan kini, hal yang sama Kau sematkan di dadanya. Tentu aku marah, kenapa harus dua kali Kau menaruh hal serupa di tubuhnya. Aku coba untuk mencari jawaban dengan melayangkan gugatan kedua. Tapi saat itu, dalam isakan tangis mama berkata "Saya percaya,Tuhan berikan yang terbaik bagi hidup saya."
Dan aku hanya dapat berkata,"Amin." Karena perempuan inilah yang mengajarkan aku untuk berani menghadapi segala tantangan dan amarah dalam doa. Dia tidak pernah marah, seberapa pun sakitnya rintangan kehidupan yang harus dihadapi. Perempuan ini menyakini imannya seperti yang diajarkan orang tuanya. Maka setiap kesakitan yang dihadapi akan diartikan sebagai kekecewaan Mu terhadap Tuhan. Tapi dia akan selalu menumbuhkan kepercayaannya padaMu. Itu yang membedakan kami berdua, mama terlalu takut untuk mengugatmu. Sedangkan aku...
Sewaktu menemani dia di biopsi, meskipun dengan jarum halus, aku merasakan sakit yang dirasakannya. Tapi kala itu, aku hanya bisa merasakan sakitnya tanpa mengerti bagaimana mendefinisikan amarah yang hendak ku sampaikan padaMu. Belum lagi harus menunggu hasil biopsi dengan gemuruh emosi,sudah cukup banyak mengernyitkan dahi ketika berhadapan denganMu.
Hal yang juga suatu kebetulan, di tengah-tengah perempuanku menglalui itu semua, dia masih harus berhadapan dengan pasangan hidup yang sedikit keras kepala. Hidup terlalu berat untuk dilalui sendirian, jadi adalah sebuah tanda perdamaian dariMu ketika aku dapat menemaninya.
Ah sahabat, Kau terlalu sering bermain dadu. CaraMu menarik perhatianku, kadang terlalu berlebihan hingga aku merasa harus menggugatMu. Belum lagi masalah kantor yang makin hari makin jelas, semakin melengkapi beban di punggu. Kau terlalu menerapkan teori konsistensi karena sekali melempar dadu, Kau lempar dua dadu bersamaan. Dan dua-duanya semakin melengkapi kerugian pertarungan. Bak bermain monopoli, kedua dadu hanya membuat aku selalu masuk penjara.
Sahabat, aku tahu hubungan kita tidak selalu sejuk di hati. Tapi apa yang kita lakukan adalah cara untuk mengikat apa yang sudah bina. Semoga kita tidak terlalu sering gugat menggugat. Karena hidup terlalu berharga kalau hanya dinafasi dengan perkara siapa yang lebih layak menarik perhatian berlebih. Semoga Kau menganggap surat terbuka ini sebagai penegasanku bahwa hidupku tidak akan pernah berhenti berputar selama Kau mempercayai di putaran mana aku harus berhenti. Ya berhenti menggugatMu tentunya.
Dan semoga kita tidak terlalu sibuk berargumentasi untuk menegaskan arsiran eksistensi atara pemberi kehidupan dengan penikmat kehidupan. Semoga gugatan untuk sahabat yang berbentuk surat terbuka ini, semakin menghargai keberadaan masing-masing.
Terima kasih untuk membaca surat ku dan terima kasih untuk menjadi sahabatku.
Tertanda
SahabatMu