Thursday, July 12, 2007

Lebih Lekat Dengan Filosofi Jawa

“Sepi pamrih ramein gawe, memayu hayuning buwono” adalah filosofi dasar orang Jawa yang menurut Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, SJ sebuah ucapan yang mampu mengambarkan cita-cita orang Jawa. Karena perkataan tersebut membentuk pemikiran orang Jawa untuk memiliki ketentraman hati dan kesatuan dengan Tuhan. “Sepi pamrih, memiliki arti jauh dari dorongan untuk hanya mengejar kepentingan sendiri. Ramein gawe, berarti bergiat dalam hal melaksanakan kewajiban. Sementara mamayu hayuning buwono, melengkapinya dengan arti ikut serta dalam memperindah dunia.”

Konsep pemikiran itulah yang kemudian menjadi etos kerja orang Jawa, untuk selalu menyumbang sesuatu bagi kehidupan di dunia agar lebih baik dan indah. Dan jika etos kerja tersebut diterapkan secara langsung, maka orang Jawa akan selalu memiliki ketentraman hati dalam melaksanakan segala kegiatannya dengan selalu menjaga kedekatan hubungannya dengan Sang Maha Pencipta.

Karenanya jika kita berbicara mengenai kebudayaan Jawa maka kita akan selalu berada di dalam lingkaran definisi keseimbangan, keselarasan dan keserasian. Dimana menurut rohaniawan yang sempat menerbitkan buku Javanese Idea of The Good Life ini, dalam diri orang Jawa akan selalu terpatri unsur kata harmoni. Yang kemudian terpotret dalam wujud keramahan dalam tingkah pola orang Jawa sehari-harinya.

Keramahan tersebut menurut budayawan Mohamad Sobary, terbentuk karena perjalanan sejarah orang Jawa dahulunya sangat diwarnai dengan konflik dan perseteruan. Mulai dari ketegangan ketika raja-raja yang memerintah hanya fokus pada meminta dukungan untuk memperpanjang waktu kepemimpinannya, khususnya berlangsung sebelum abad ke-19. Hingga ketika masa penjajahan, tekanan yang didapat oleh masyarakat Jawa telah menjadi tonggak dari definisi konflik itu sendiri.

“Terlebih ketika abad ke-19, dimana petani sudah termarjinalisasi dari dunia pertanian. Banyak petani yang kehilangan lahanya dan pertanian bukan lagi menjadi cara bertahan hidup yang dapat mereka andalkan. Itulah mengapa, Jawa yang harmonis adalah hasil respon kultur terhadap kegetiran-kegetiran sejarah.”
Dan konsep harmoni yang teraktualisasi dalam keramahan atau sikap akomodatif merupakan hasil dari pencarian kebudayaan atas konflik terbuka yang pernah mereka hadapi. Maka mereka secara sadar merasa enggan untuk membiarkan konflik terjadi kembali dalam ranah aktualisasi kebudayaan, yang kemudian diwariskan secara turun temurun menjadi identitas kejawaannya.

Aktualisasi harmoni atas sikap yang akomodatif, oleh Magnis tidak hanya tergambar dalam tingkah laku sehari-hari. Tapi juga termanifestasi dalam tingkatan sosial ketika menggunakan bahasa Jawa. Dimana penyapaan dengan tingkatan bahasa tersebut merupakan wujud dari pengakuan terbuka atas kedudukannya masing-masing. Adapun pengakuan secara terbuka tersebut dibahasakan dalam konsep mangan ora mangan sing penting ngumpul.Dimana hal tersebut akan membantu orang Jawa dalam membentuk keutuhan kemanusiaannya.

Menurut Magnis hal tersebut dapat terjadi karena orang Jawa meyakini bahwa setiap individu tidak bisa menemukan dirinya sendiri kecuali dalam kebersamaan. “Bagi saya, konsep tersebut sangat erat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Karena bagi kita kebersamaan dengan orang-orang yang dekat dengan kita atau yang menjadi tanggungan kita, lebih memiliki prioritas dibandingkan sekedar makan.”

Hanya saja ada satu hal yang harus diperhatikan pada saat ini, Magnis menambahkan, adalah memenuhi kebutuhan makan merupakan modal untuk menciptakan kebersamaan. Kondisi yang jauh berbeda di masa sebelumnya, membuat realisasi kumpul bersama menjadi luxurius, ketika kebutuhan dasar tidak terpenuhi terlebih dahulu. Karena dalam idiom mangan ora mangan sing penting ngumpul, eksistensi fisik harus dijamin untuk untuk melibatkan individu dalam suatu proses kebersamaan.

Disamping itu, masyarakat sekarang yang menjadi lebih individualistis tidak dalam arti etis dan psikis, tapi dalam khasanah ekonomi dan sosial. Artinya setiap individu pada masa sekarang harus memiliki pekerjaan terlebih dahulu agar bisa bertahan hidup. Menurut Magnis hal ini sangat berbeda jauh ketika nuansa akomodatif orang Jawa mulai disadari sebagai identitas kebudayaan.

”Dan gejala ini lebih serius terlihat pada saat sekarang, mayoritas orang Indonesia termasuk orang Jawa, harus mempunyai pekerjaan sendiri jika ingin bertahan hidup. Hal ini tidak terjadi pada jaman dulu, karena mereka hidup dalam komunitas desa atau kampung. Bahkan orang miskin sekalipun masih dapat bertahan hidup meskipun mereka tidak punya pekerjaan. Karena semangat gotong royong menjadi pembentuk dari konsep mangan ora mangan sing penting ngumpul,” ucap pria Jerman yang memilih nama belakang jawa ini.

Hidup yang terindividualisasi tersebut juga disadari oleh Sobary yang merupakan lulusan Monash University, Australia ini. Tidak hanya itu, Sobary juga menyebutkan bahwa mobilitas masyarakat yang tinggi menciptakan batas-batas demografi dan menjadi kendala untuk merealisasikan waktu yang pas untuk kumpul bersama. ”Karena demografy limitation membuat orang Jawa pada masa ini harus berhadapan dengan economic constrain sehingga kebutuhan untuk kumpul tidak bisa dilakukan sesering dulu. Atau bahkan dengan semangat memaksimalkan modernisasi, kebutuhan untuk memperhatikan orang-orang terdekatnya dapat dilakukan melalui telepon atau sms-an.”

Dan untuk mereka yang tinggal dalam satu wilayah tertentu, meskipun bukan harus didasari dengan hubungan kekerabatan, kebutuhan untuk mewariskan semangat kebersamaan dijewantahkan dalam paguyuban. Paguyuban-paguyuban inilah menurut Sobary merupakan cara mempertahankan identitas kebudayaan Jawa tanpa harus digerus oleh modernisasi. Karena menurutnya, antara identitas kebudayaan dan modernisasi akan selalu bertemu pada wilayah abu-abu yang merupakan hasil dari pengadaptasian terhadap kondisi real yang ada. Dengan selalu memperpanjang tongkat estafet kebudayaan melalui modifikasi filosofi, identitas asali akan tetap dapat dipertahankan.

Namun pendapat yang sedikit berbeda justru datang dari Dr. Gabriel Possenti Sindhunata. SJ atau yang akrab dipanggil Sindhunata ini. Menurutnya refleksi filosofis yang hanya bersifat fenomena historis sosiologis, tidak cukup kuat menjaga identitas asali dari sebuah kebudayaan. Menurutnya tongkat pewarisan yang terjadi di seluruh Indonesia, termasuk kebudayaan Jawa, tidak disertai dengan dokumentasi pemikiran untuk menciptakan proses dialektika dalam mempertahankan nilai-nilai kebudayaan asali.

”Pemikiran bukan akal budi yang otonom tapi merupakan proses dialektika yang terus menerus terjadi dari generasi ke generasi. Kebanyakan dari kita hanya mewariskan nilai-nilai secara praktis, padahal pemikiran yang membentuk nilai-nilai kebudayaan tidak berangkat dari titik nol. Karena itu betapa sulit untuk mencari tau bagaimana suatu konsep pemikiran kebudayaan bisa terjadi, ketika anak-anak muda mencoba untuk mendalaminya,” papar Sindhunata yang merupakan wartawan senior yang kerap melakukan penjelajahan terhadap pemikiran-pemikiran asali Jawa.

Kesulitan itulah menurut Sindhunata yang membuat pengembangan wacana-wacana kebudayaan tidak bersifat fundamental. Hal tersebut berbeda dengan kebudayaan Cina dan Jepang yang sangat kaya akan dokumentasi pemikirannya, dan secara turun temurun diaplikasikan tidak hanya secara sadar pada kegiatan sehari-hari tetapi juga melalui proses belajar mengajar di sekolah. Maka kemana pun mereka pergi atau apapun pengaruh budaya luar yang coba melakukan proses penetrasi budaya, mereka tetap memiliki kekuatan untuk mempertahankan identitas mereka.

Proses dialektika-lah yang nantinya akan mematangkan generasi muda dalam menerima pandangan-pandangan global. Karena globalisasi bukanlah hal mudah yang bisa dihadapi siapapun, bahkan tidak ada yang dapat menolak manifestasi perubahan kebudayaan sebagai akibat dari semakin mengerucutnya perbedaan antar bangsa. Hanya saja, kesiapan perubahan tersebut dapat dikalahkan jika kita memiliki kekuatan konseptual yang terdokumentasikan dengan baik. Sehingga idealisme pemikiran dibidang budaya akan selalu berkembang tanpa merasa harus mengkroposi identitas sendiri.

Menjaga kebudayaan bukan hanya sekedar melekatkan simbol-simbol pada tataran praktis atau kebiasaan biasa. Tapi juga harus mampu melahirkan suatu kesadaran dan kebutuhan untuk mempertahankan proses berkembanganya konsep pemikiran dari waktu ke waktu. Karena sebuah filosofi kebudayaan adalah proses kontemplasi yang panjang dalam sejarah manusia untuk dapat mendefinisikan keberadaannya di dunia. Dan biarkanlah proses itu berkembang, tanpa harus menjadi lupa di titik mana kebudayaan mengawali eksistensinya.

Dimuat pada lembar Oase Budaya, Jurnal Nasional, 12 Juli 2007

No comments: