Thursday, July 15, 2010

Malam Romantis Sang Bulan Sabit


Malam ini, bulan sabit tanpa bintang apapun di sekitarnya. Kami memutar roda supra fit menuju daerah Cikini. Makan di restoran mahal yang kalau diartikan dalam bahasa Indonesia, pabrik keju.

Memilih duduk di luar, memandangi kincir angin buatan yang menjadi simbol Holand Bakery. Dengan kursi dan meja kayu, kami hanya diterangi lilin kecil yang mengapung di wadah kaca bening. Romantis? Tidak juga, tapi sangat MENYENANGKAN.

Dia duduk di depan saya, memandangi lekat-lekat saat saya mencoba membaca menu makanan. Saat saya tersadar tengah menjadi pusat perhatian, yang terucap hanya, "Sayang kenapa?" Laki-laki berbaju garis-garis biru dan abu-abu itu hanya berucap, "Ngga papa. I miss you."

Padahal malam sebelumnya kami baru saja bertemu. Bercanda, saling menggoda, sampai berkali-kalil bilang I Love You. Dan malam itu, lelaki saya meminta saya bercerita. Bercerita tentang diri saya. Tapi yang keluar adalah apa yang saya lakukan bersama teman-teman saya. Hihihiihihii karena satu hari pasti ada interaksi menarik antara saya dengan teman-teman saya.

Sedangkan pacar saya adalah tipe penyendiri, suka bergulat dengan buku, berpikir keras bahkan sampai mengernyitkan dahi. Tapi hari itu, dia merasa kesepian, mencari saya berkali-kali melalui SMS. Berharap saya bisa menghabiskan satu hari itu hanya bersama dia. Dan kali ini giliran saya yang bilang, "Sabar ya sayang."

Dua malam yang menyenangkan dan sangat sempurna dengan duduk berdua menikmati makanan sambil menatap satu dengan yang lainnya. Rasanya seperti baru pacaran dan kami pun teringat sudah 3,5 tahun menikmati semua ini bersama. Banyak yang berubah, dari saya dan juga dia. Termasuk rasa cinta yang kami punya, itu berubah.

Berubah menjadi lebih baik. Berubah menjadi lebih yakin. Dan berubah menjadi berani menatap masa depan. Menyenangkan. Iya menyenangkan untuk bisa melalui semua itu bersama kamu sayang. Terima kasih untuk 2 malam ini dan doa terbaik untuk kamu, aku, dan kita.


Sunday, July 11, 2010

Merasa Asing


Setiap orang berubah, saya percaya itu.

Bahkan dulu, ayah saya sering sekali mengucapkan dan menuliskannya di secarik kertas. Semua hal berubah, kecuali hukum perubahan. Sewaktu SMP, kata-kata itu saya anggap sebagai kata-kata pengulangan yang menarik untuk diucapkan. Saya belum berpikir filosofis, tapi saya sudah mulai percaya bahwa kata-kata itu mengajarkan saya akan tak ada yang abadi di dunia ini.

Dan setelah sekian lama menjalani perubahan serta bertemu dengan perubahan orang lain, satu yang saya sadari, perubahan selalu menawarkan rasa asing yang sama. Rasa tak mengenal, kaget, terpojok, hingga ingin segera melalui perubahaan itu.

Kemarin, saya mengalaminya. Setelah 13 tahun tak bertemu, saya hanya merasa nyambung dengan teman-teman ketika sesi ceng-cengan di mulai. Hanya dibagian itu saya tak merasa asing, kaget, atau bahkan terpojok. Walhasil, saya lebih banyak diam. Iya, diam. Bayangkan orang sejerewet saya bisa lebih banyak diam :D

Saya pun bercerita dengan Nida, apakah saya yang terlalu berlebihan merasa aneh atau memang topik pembicaraanya tak bersentuhan dengan gelombang energi saya. Di sisi lain, saya merasa takut berpikir gelombang energi saya tak bersinggungan. Karena jika diantara 4 orang yang bertemu, hanya saya yang merasa tak nyambung, berarti masalah koneksi ada di saya kan? Trus Nida bilang, "Cobalah untuk 'bermain' dengan cerita mereka sekali-kali. Lumayan buat refreshing."

Tapi masalahnya, merasa asing itu ngga enak banget. Merasa apakah kita harus menggadaikan jati diri demi sebuah kenangan masa lalu atau bertahan pada posisi yang sekarang dan merasa tak diterima seperti dulu. Walaupun sebenarnya saya bisa membuatnya lebih sederhana, yaitu dengan menyakini bahwa semuanya berubah kecuali hukum perubahan...