Monday, June 9, 2008

Negara Memerintahkan Penginsyafan

Akhirnya kejadian juga, setelah sekian lama ditunggu-tunggu. Setelah dua kubu berhadapan cukup keras, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)mengeluarkan maklumatnya melalui Surat Keputusan Bersama (SKB). SKB Ahmadyah, baru saja dikeluarkan. Tepatnya pukul 16.00 tadi (9/6).

Menteri Dalam Negeri (Mendagri)Mardiyanto menolak mengatakan SKB berisi tentang pembubaran atau pelarangan Ahmadyah. Menurutnya, SKB itu berisi perintah agar pemeluk Ahmadyah kembali kepada dasar ajaran agama Islam. Bisa dianalogikan, negara menyuruh pemeluk Ahmadyah untuk insyaf. Ini serem, bahkan dengan penambahan kata-kata memerintah, beribu-ribu kali serem. Karena ini bisa jadi preseden organisasi masyarakat (ormas) berbasis agama untuk meminta penginsyafan terhadap kelompok agama yang dianggap tidak mengikuti ajaran asalinya.

Siapa sih yang memberikan batasan mana ajaran asali mana yang bukan, pasti mayoritas. Jadi ini masalah penjajahan sebenarnya, penjajahan intra umat beragama. Bener-bener gila, karena dengan begitu negara menutup rapat pintu penyelesaian sengketa di jalur pengadilan. Cukup panas-panasi Bakorpakem, negara akan buat perintah penginsyafan satu kaum.

Gua jadi teringat, hampir sebulan lalu kalau ngga salah, ada sekelompok orang yang menamakan diri kelompok pemurnian nama YHWH (baca : Yahwe) menggungat Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Mereka keberatan karena tidak semua kata Allah ditulis dengan YHWH. Nama itu bagi mereka lebih legitimate karena itulah penyebutan Allah atau Tuhan atau Anak yang Diurapi dalam bahasa asalinya, Ibrani. Lucu sebenarnya ikutin sidang ini, karena saksi ahli dari kelompok pemurnian nama YHWH itu bermain dalam ranah filosofis yang pasti kalah dengan argumentasi kaku ala LAI.

Terlepas dari substansi persidangan, tapi menurut gua mereka lebih masuk akal ketimbang SKB itu. Mereka lebih beradab karena mencari legitimasi argumentasi mereka di persidangan. Setidaknya ini akan menampilkan bahwa yang diperdebatkan bukan kebenaran agamanya tapi kebenaran argumentasinya, dengan cara terhormat. Mereka menghargai negara sebagai penjaga konstitusi dengan "beradu otot" di pengadilan. Dari pada menakut-nakuti negara dengan sorban dan pentungan.

Harusnya negara sadar, bahwa mereka sedang ditakut-takuti oleh sekelompok massa yang tidak punya kekuatan hukum apapun. Kalau negara sudah mulai tidak yakin dengan kekuatannya sendiri, lalu sampai dibatas mana kaum minoritas dapat merasa aman? Karena pembenaran hanya ada pada mulut-mulut orang kebanyakan. Dan perintah penginsyafan itu adalah wujud ketakutan negara atas kelompok-kelompok tersebut.

Apakah saya harus merasa takut, karena mungkin saya minoritas? Yang harus siap-siap untuk disuruh insyaf. Atau haruskah saya juga merasa lebih takut, karena mungkin saya mayoritas yang dapat dengan halal membasmi kaumnya sendiri? Ah manusia hanya berlomba-lomba jadi advokatnya Tuhan. Mereka lupa, Tuhan punya timbangannya sendiri, ngga perlu advokat....Dan atas nama kebebasan berkeyakinan, saya menggugat negara apabila saya harus diperintakan untuk insyaf!!!!

No comments: