Thursday, August 2, 2007

Film Indonesia Go International

Embrionya sudah ada, peluang terbuka lebar, tinggal dilanjutkan dengan kerja kebangsaan para kreatornya.

Jika ada diantara kita yang berpikir bahwa film hanyalah sebuah entertainment belaka, mungkin sudah saatnya ktia merubah pikiran tersebut. Karena gambar yang terekam dalam frame-frame audiovisual itu, kini sudah menjadi sebuah perusahaan besar yang tidak hanya ditujukan meraup keuntungan besar tapi juga mengibarkan Sang Merah Putih. Hanyanya saja proses tersebut harus mendapat dorongan dari semua elemen bangsa bahwa kebutuhan untuk go international menjadi kepentingan setiap orang.

“Sebenarnya embrionya udah mulai terbentuk semenjak 10 tahun lalu dan kualitas sineas kita sudah mulai diperhitungkan baik secara regional maupun internasional. Mulai dari film Cinta Dalam Sepotong Roti, Surat Untuk Bidadari (keduanya adalah karya Garin Nugroho), bahkan dengan diputarnya film Tjoet Nja’Dhien pada ajang bergensi Cannes 1989 sudah menjadi momentum kuat bahwa kita punya peluang yang sangat besar untuk merambah dunia internasional,” papar pengamat film Arya Gunawan.

Dan embrio itu akan dengan mudah mengalami proses tumbuh kembangnya, karena menurut Arya, saat ini dunia perfilman internasional tengah terpesona dengan keunikan kebudayaan yang ada di belahan timur dunia. Maka mereka tengah bergiat mengangkat pusat-pusat eksotika timur mulai dari Iran, Turki, India, hingga Jepang, Cina, Hong Kong.

“Tidak terkecuali Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Karena kebutuhan untuk mencari alternatif estetika dimulai bersamaan dengan pembentukan embrio film Indonesia di ranah internasional. Artinya kesempatan ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Karena Eropa, Amerika, Kanada bisa dikategorikan memiliki kebudayaan yang homongen,” ucap mantan wartawan yang kini aktif di UNESCO tersebut.

Jika dulu tokoh-tokoh perfilman Indonesia seperti Asrul Sani, Usmar Ismail, Sjumandjaja harus bergelut dengan gulungan film 35mm yang jauh dari kata fleksibel. Saat ini, generasi-generasi muda seperti Shanty Harmayn, Mira Lesmana dan Riri Riza dapat lebih diuntungkan dengan proses globalisasi yang terus bergulir. Karena mereka tidak hanya diuntungkan dari sisi teknologi audiovisual yang semakin membuat industri film berjalan fleksibel, tapi juga memperpendek jalur pergaulan internasional.

“Salah satu yang dibutuhkan untuk menembuh dunia internasional, suka atau tidak adalah adanya networking yang kuat. Maka diaspora¬-nya film Indonesia mulai dari wilayah regional hingga internasional harus didukung penuh oleh peranan sutradara dan produser dalam melobi para kurator film untuk meluangkan waktunya menilai hasil karya sineas Indonesia,” Arya menjelaskan.

Hanya saja menurut Arya, lobi tersebut haruslah diawali dengan menghasilkan karya-karya yang secara tulus dan sungguh-sungguh menampilkan karakter bangsa Indonesia. Atau tidak semata-mata secara kasar mengeksploitasi kebudayaan timur untuk menangkap pencarian alternatif estetika yang tengah dikejar para juri-juri di festival perfiliman internasional. “Karena sebuah karya besar akan dirasakan kemurniannya dari siapa saja yang menyaksikan film mereka. Oleh karena itu semangat kolektifitas mulai dari sineas, creator, produser hingga pemerintah untuk maju bersama harus disadari sebagai suatu kebutuhan.”

Dengan semangat tersebut, proses kreatif pada sineas tidak semata-mata menjadi kegiatan sikut menyikut satu sama lain. Akan lebih baik lagi jika pemerintah menyediakan sebuah lembaga yang mengumpulkan karya-karya terbaik sineas Indonesia untuk kemudian dipersentasikan sebagai karya besar bangsa. “Lembaga atau portal ini nantinya akan melakukan peranan penetrasi tawaran ke luar, jadi biaya promosinya bisa jauh lebih murah. Dan jika lebih terorganisir dengan baik maka simpul-simpul networking yang rumit itu bisa membantu kita menjelajahi peta perfilman dunia.”

Hal senada juga disampaikan oleh Budiati Abiyoga, Direktur PT. Prasidi Teta Film. Menurut Produser Film Kejarlah Daku Kau Kutangkap itu, peran pemerintah sangat penting dalam mematangkan perkembangan perfilman Indonesia, di dalam maupun di luar negeri. Karena industri film haruslah dibangun dengan semangat untuk menjadikannya sebagai sebuah bisnis serius, bukan semata-mata hiburan belaka. “Film ini memerlukan teknologi yang tinggi karena itu biayanya sangat besar. Untuk itu, ada potensi-potensi yang harus dijembatani oleh pemerintah.”

Konsep potensi yang dijembatani pemerintah itu, disebut oleh Budiati sebagai bridging effort. Dimana dapat diaktualisasikan tidak hanya melalui pembentukan lembaga untuk melakukan penawaran ke luar negeri, tapi juga diwujudkan dalam ikut aktif menghasilkan film yang bertemakan kebudayaan Indonesia.

“Pemerintah dapat menyemangati dengan membuat film-film sederhana yang mengangkat simbol-simbol kultural bangsa. Dengan demikian para kreator film akan merasa termotivasi untuk menghasilkan karya-karya lebih besar dalam mengembangkan industri perfilman Indonesia,” ucap mantan Juri Kritik Film, Festival Film Indonesia ini.

Dan hal yang tidak kalah penting untuk memantapkan langkah Film Indonesia menuju persaingan global adalah, dukungan pemerintah melalui pematangan sistem pendidikan. Karena pendidikan yang mapan akan membentuk karakter kerja professional pada setiap pekerja film. Sehingga dengan demikian karya-karya yang dihasilkan bukan semata-mata berbicara pada prospek keuntungan tapi juga menampilkan identitas kebangsaan yang kuat.

“Jika selama ini film kurang disadari sebagai cikal bakal industri, sepertinya pemerintah harus mulai menyadari bahwa film kita akan menjadi industri ketika sumber daya manusianya juga kuat.” Budiati mencontohkan Korea yang mengalami perkembangan industri film animasi yang pesat. Menurutnya, kunci keberhasilan tersebut karena Pemerintah Korea tidak segan untuk mengelola usaha animasi secara baik.

“Padahal animasi itu bukan sesuatu yang rumit, bahkan di sana anak-anak kecil yang baru bisa menggambar saja sudah dibina untuk menekuni gambar animasi. Hasil akhirnya sangat jelas, kini film animasi Korea tidak hanya merajai negerinya sendiri tapi sudah di ekspor ke banyak negara. Dan hasil binaan pemerintah itulah yang secara mapan membentuk perusahaannya sendiri untuk mengembangkan diri. Pemerintah cukup berperan sampai establish saja, setelah itu industri film akan terbentuk sendiri kok.”

Disamping itu dukungan sarana dan prasarana, khususnya dalam lingkup pendidikan film dan pertelevisian sedikit banyak akan menguatkan karakter sineas muda dari gilasan hebat globalisasi. Karena menurut Arya Gunawan, sineas muda yang lahir sebagai produk abad ke-21 ini memiliki ancaman besar untuk terbenam dalam arus globalisasi. Dan geliat ini sudah mulai nampak pada lima tahun belakangan melalui tema-tema film yang jauh dari identitas ke-Indonesia-an.

Ironisnya ini justru terjadi ketika masyarakat kita berada pada kemerdekaan kedua atau reformasi. Seharusnya sineas kita akan lebih berani mengangkat beragam topik tapi yang terjadi justru terjadi adalah ketidakseriusan dalam mengulik kegelisahaan masyarakat. “Ada sebanyak 70 hingga 80 persen karya yang tidak merepresentasikan kemiskinan atau ketidakadilan yang terjadi saat ini. Padahal kejujuran adalah salah satu semangat sineas untuk merefleksikan sosial kultural melalui frame-frame film mereka. Dan kejujuran itulah yang nantinya akan menampilkan kemurniaan eksotika budaya timur yang dicari juri-juri pada festival film internasional.”

Apabila proses pengembangan film Indonesia tetap berada pada wilayah kreatif tema yang sama, baik Arya maupun Budiati menyakini krisis identitas bangsa akan terus berjalan. Karena itu harus ada kesadaran dari semua elemen bahwa industri film akan berkembang ketika masyarakatnya tidak mengalami kegagapan dalam mengekspresikan identitas realnya. Ibarat embrio yang berubah wujud menjadi manusia, sudah seharusnya dia mengetahui bagaimana dirinya diaktualisasikan. Demikian juga dengan perfilman Indonesia, tidak perlu takut untuk menembus kesulitan peta film Internasional ketika telah dengan mafhum mengurai identitas dirinya.

Maka simbol kebangsaan bukan hanya bisa tertangkap kamera untuk kemudian dinikmati mulai dari bioskop-bioskop komersial hingga layar serius juri festival film internasional. Tapi lebih kepada menampilkan kedalaman karakter psikologis bangsa Indonesia yang kemudian dinikmati beribu pasang mata di seluruh dunia. Jadi siapa bilang film hanyalah sebuh hiburan, ini adalah proyek kebangsaan di era digital.

Dimuat pada Halaman Oase Budaya, Harian Jurnal Nasional, 2 Agustus 2007

2 comments:

ephemeralbeing said...

nice writing...it seems that you have that gift...nice...you should write in kompas or tempo...use your pen name...siapa kek saraswati atau butet...

butterfly menikmati dunia said...

Wah kamu benar-benar merayu...ntar kita omongin lagi ya soal pen name itu. Masa namaku dari saraswati ke butet...ngga kreatip dasar