Belakangan, saya memang menemukan kendala setiap kali ingin posting atau comment di blog kesayangan saya ini. Bahkan sering kali untuk sekadar membaca di smartphone yang saya punya, loadingnya lambat sekali. Akhirnya terlinat pikiran untuk beralih ke wordpress.
Saya dulu memang punya blog di wordpress. Ini blog serius buat saya, membahas segala sesuatu yang serius. Benar-benar serius sampai tidak usah menyentuh ranah pribadi. Tapi belakangan saya merasa yang saya tulis semuanya serius. Mau perasaan saya, pengamatan, atau sekadar penerawangan...hahaha semacam cenayang....semuanya serius buat saya.
Tapi karena aksesnya susah, saya pun mencari pendapat ke beberapa teman. Sialnya, mereka semua pake wordpress. Pastilah mereka bilang wordpress lebih menyenangkan. Akhirnya saya coba objektif, walaupun sebenarnya objektivitas itu batasnya adalah subjektivitas kan...hah...pusing deh...Saya googling...mencari tahu kelebihan dan kekurangan dua mesin blog gratis ini.
Tidak terlalu signifikan memang, sama seperti yang dikatakan teman-teman saya yang punya wordpress. Tapi kemudian, tiba-tiba saya kesulitan untuk masuk ke blog ini...sekadar untuk menulis pesan Natal...dan tidak sukses. Buat saya ini pertanda, waktunya migrasi. Toh kupu-kupu memang harus bermigrasi, itu bagian dari perjalanan hidup yang harus dijalani. Menurut National Geographic Channel, kupu-kupu bisa bermigrasi jutaan mil secara terus menerus tanpa henti. Banyak yang mati tapi banyak juga yang berhasil, mereka adalah kupu-kupu baru yang selalu menyempurnakan proses metamorfosis. Karena meskipun harus menunggu sampai 4 generasi, tapi kupu-kupu itu tak pernah berubah haluan, tetap pada tujuan utama. Rumah baru untuk bertahan hidup.
Jujur saya ragu untuk bermigrasi. Takut semua yang saya tulis hilang. Bahkan cerita tentang air mata dan kegagalan yang saya hadapi sebelumnya, buat saya berarti dan saya tak mau kehilangan itu semua. Sambil menekan menu export pada blog baru, saya berdoa agar tak ada jejak yang terhapus. Voila...akhirnya berhasil....semua terekam dengan sempurna...walaupun saya harus upload ulang video Adhitia Sofyan...ya ngga papa, itung-itung menonton kembali :D
Alamat blog baru saya tak begitu berubah, hanya hostingnya saja yang ganti. www.flyingsolighttothesky.wordpress.com Itu dia alamat barunya, silahkan terus bermain. Mari kita terbang bersama.
flying so light to the sky
a butterfly in her endless metamorphosis
Friday, December 24, 2010
Wednesday, December 22, 2010
Forget Jakarta with Adhitia Sofyan
Dengan mengenakan kaos V neck rendah berwarna hitam dan celana pendek bunga-bunga cerah, saya menerobos Jakarta yang sepi. Dari Proklamasi 41, menuju Epicentrum Walk Kuningan. Tak ada aura kemacetan apalagi tampilan wajah kemalasan, saya senyum berseri bahkan nyaris deg-degan.
Saya hendak bertemu seseorang, mendengarkannya bernyanyi. Setelah sekian lama saya hanya memintanya bernyanyi di laptop saya, tepat di kedua telinga saya melalui teknologi yang diberi nama earphone. Saya memintanya bernyanyi setiap hari, apalagi ketika hujan. Kalau tidak percaya, coba dengarkan lagunya ini:
Judulnya After the Rain, sangat pas melihat butiran-butiran air dari langit itu jatuh menyentuh kaca gedung kantor saya. Dan saya yang duduk di lantai 14, bisa dengan puas menikmatinya seorang diri.
Maka ketika saya melihat di Facebook, Adhitia Sofyan akan bernyanyi di acara Synchronize Season II-Epicentrum Walk, saya langsung berniat untuk hadir. Maklum Adhitia Sofyan, belakangan sering banget tampil di Bandung yang kemudian membuat saya berpikir, apa pindah ke Bandung aja ya?
Dengan langkah kaki yang pasti, sepatu merah saya berhasil mendudukan saya di deretan paling depan. Saya berhasil mendengarkan dia secara langsung. Dan lagu pertama yang dinyanyikan adalah Forget Jakarta. Soundtrack yang pas untuk menghadirkan saya di salah satu 'istana' Bakrie.
Suara Adhitia tidak beda, sama dengan apa yang saya dengarkan melalui winamp. Malah ketika dia menyanyikan After the Rain, saya benar-benar berharap ada guyuran hujan ketika itu. Hingga kemudian dia bernyanyi Tik-Tik Bunyi Hujan, saya benar-benar pengen itu jadi lagu pemanggil hujan. Karena di lagu Tik-Tik Bunyi Hujan, dia menyanyikan seluruh bait dari lagu yang biasanya hanya kita ulang-ulang di bait pertama saja.
Liriknya Adhitia itu sederhana dan bercerita. Ngga jarang sebelum nyanyi, dia kasih cerita singkat soal lagunya dan pas kita mendengar cerita itu dinyanyikan saya senyum-senyum sendiri. Lucu dan berasa berbunga-bunga. Contohnya lagu Memilihmu...dengerin deh...ada liriknya begini "Gitarku saja tak cukup jadi andalan..." Hahahahahaha...Denger sendiri deh..
Dan sore itu saya datang hanya untuk mendengarkan dia bernyanyi. Setelah itu pulang, sambil senyum-senyum kegirangan sendirian... Oiya, Adhitia ini dengan sukarela memberikan lagu-lagunya untuk didownload secara bebas kalau kita mau. Silahkan nikmati lagu-lagunya di Blog Adhitia Sofyan and let's forget Jakarta-lah
Saya hendak bertemu seseorang, mendengarkannya bernyanyi. Setelah sekian lama saya hanya memintanya bernyanyi di laptop saya, tepat di kedua telinga saya melalui teknologi yang diberi nama earphone. Saya memintanya bernyanyi setiap hari, apalagi ketika hujan. Kalau tidak percaya, coba dengarkan lagunya ini:
Judulnya After the Rain, sangat pas melihat butiran-butiran air dari langit itu jatuh menyentuh kaca gedung kantor saya. Dan saya yang duduk di lantai 14, bisa dengan puas menikmatinya seorang diri.
Maka ketika saya melihat di Facebook, Adhitia Sofyan akan bernyanyi di acara Synchronize Season II-Epicentrum Walk, saya langsung berniat untuk hadir. Maklum Adhitia Sofyan, belakangan sering banget tampil di Bandung yang kemudian membuat saya berpikir, apa pindah ke Bandung aja ya?
Dengan langkah kaki yang pasti, sepatu merah saya berhasil mendudukan saya di deretan paling depan. Saya berhasil mendengarkan dia secara langsung. Dan lagu pertama yang dinyanyikan adalah Forget Jakarta. Soundtrack yang pas untuk menghadirkan saya di salah satu 'istana' Bakrie.
Suara Adhitia tidak beda, sama dengan apa yang saya dengarkan melalui winamp. Malah ketika dia menyanyikan After the Rain, saya benar-benar berharap ada guyuran hujan ketika itu. Hingga kemudian dia bernyanyi Tik-Tik Bunyi Hujan, saya benar-benar pengen itu jadi lagu pemanggil hujan. Karena di lagu Tik-Tik Bunyi Hujan, dia menyanyikan seluruh bait dari lagu yang biasanya hanya kita ulang-ulang di bait pertama saja.
Liriknya Adhitia itu sederhana dan bercerita. Ngga jarang sebelum nyanyi, dia kasih cerita singkat soal lagunya dan pas kita mendengar cerita itu dinyanyikan saya senyum-senyum sendiri. Lucu dan berasa berbunga-bunga. Contohnya lagu Memilihmu...dengerin deh...ada liriknya begini "Gitarku saja tak cukup jadi andalan..." Hahahahahaha...Denger sendiri deh..
Dan sore itu saya datang hanya untuk mendengarkan dia bernyanyi. Setelah itu pulang, sambil senyum-senyum kegirangan sendirian... Oiya, Adhitia ini dengan sukarela memberikan lagu-lagunya untuk didownload secara bebas kalau kita mau. Silahkan nikmati lagu-lagunya di Blog Adhitia Sofyan and let's forget Jakarta-lah
Thursday, December 16, 2010
Burqa, Buku, dan Laki-Laki
Pada salah satu halaman yang ditulis oleh Asne Seierstad, ada satu kutipan Jalaluddin Rumi yang menarik, "Ego adalah cadar manusia dengan Allah." Asne adalah wartawati asal Norwegia yang pergi ke Afghanistan untuk meliput. Dan pada satu hari, dia bertemu saudagar buku di Kabul. Nama saudagar buku itu Sultan Khan.
Jadi si Seierstad tinggal selama 4 bulan di rumah Sultan untuk mencatat, mengamati, dan menceritakan keluarga kelas menegah di negara penuh gejolak. Ada 3 hal yang menarik perhatian saya saat membaca buku Seierstad yang berjudul Bookseller of Kabul ini, yaitu burqa, buku, dan laki-laki. Ketiga hal ini selalu berhasil membuat saya tersenyum, bahkan sampai penasaran mau ke Kabul. Biasa euforia ketika membaca buku, tiba-tiba kita ingin merasakan yang dialami pelaku cerita.
Burqa, kain dua realitas perempuan Kabul.
Oke soal burqa, Seierstad berhasil menampilkan gemerlap di balik kain yang menutupi perempuan dari ujung kepala sampai kaki ini. Jadi salah satu adik Sultan, Shakila akan dinikahkan dengan Wakil. Dan sebagai pengantin wanita lainnya, Shakila harus menjalani beberapa ritual kecantikan. Rumusnya sama, pengantin wanita harus menjadi pusat perhatian sehari semalam. Bukankah itu yang selalu dibisikkan pada telingga wanita sejak dari kecil, yang kemudian membuat wanita lebih cepat memilih hari pernikahan ketimbang pria.
Jadi Shakila diantar ke salon untuk didandani. Pada masa Taliban salon dilarang, tapi ada salon yang berhasil dipertahankan demi memuaskan impian para pengantin wanita tampil cantik di hari pernikahannya. Syaratnya hanya satu, mereka yang berkunjung ke salon kecantikan harus datang dengan burqa dan pergi dengan burqa.
Walaupun saya bukan masuk dalam kategori perempuan yang gemar ke salon, tapi begitu membaca datang dan pergi dengan burqa, saya jadi bertanya, lah riasannya ngga rusak ya begitu ditutupin burqa?
Mau tau apa yang terjadi? Di salon kecantikan itu, dipajang poster artis Bollywood dengan potongan baju yang seksi. Poster itu seolah menjadi saksi bisu atas ratusan gadis Kabul yang rela dicabuti alisnya untuk dibentuk melengkung dan indah. Poster itu juga merekam hidup-hidup bagaimana para calon pengantin wanita merasakan warna menyala pada bibirnya. Dan ketika rambut-rambut mereka yang lembap akibat tertutup burqa harus digulung dengan rol-rol besar, plus disemprot dengan hair spray, poster itu hanya memberikan senyum menggoda kepada para calon pengantin wanita. Secara singkat, para calon pengantin wanita merasakan pandangan mata yang bebas untuk menatap lekat-lekat poster artis Bollywood itu.
Setelah didandani, calon pengantin wanita akan memakai baju gemerlap dan sepatu dengan hak yang menjulang. Sepatu adalah benda yang bisa dipamerkan dengan halal oleh perempuan yang mengenakan burqa, karena sepatu bukan bagian dari aurat tapi tetap menampilkan kesan feminin.
Tapi semua itu harus ditutupi saat mereka keluar dari salon. Dan rambut yang mengembang akibat rol rambut serta hair spray, membuat kain kasa yang adalah 'mata tambahan' mereka saat mengenakan burqa, akhirnya tidak jatuh tepat pada kedua mata. Burqa semakin tertarik ke atas dan batas pandangmu menjadi tak jelas. Lalu bagaimana calon pengantin wanita berjalan menembus jalan berdebu di Kabul? Sanak-saudara yang ikut mengantar adalah jawabannya. Mereka akan dipapah menyusuri tangga dan jalan-jalan. Tampil cantik membuat mereka semakin terbatas menatap dunia.
Setelah Taliban tidak berkuasa, banyak perempuan Kabul yang masih mengenakan burqa. Alasannya karena sudah terbiasa. Beberapa dari mereka memang belajar untuk melepas burqa, karena kain tebal itu tak selamanya nyaman dikenakan pada suhu terik di Kabul. Seiring belajar melepas burqa, perempuan-perempuan di sana juga belajar untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Kursus bahasa Inggris, komputer, atau melanjutkan sekolah formal. Tapi mereka masih suka risih ketika harus berada satu ruangan dengan laki-laki yang bukan muhrim. Rasa risih juga yang dirasakan ketika belajar melepaskan burqa.
Saya membayangkan, apa rasanya ya pakai burqa? Gerah pasti. Iklim tropis Indonesia rasanya akan membuat saya keringat setengah mati ketika memakai burqa. Tapi mungkin saya juga akan memiliki kulit putih, karena jarang terpapar sinar matahari. Ngomong-ngomong soal sinar matahari, buku ini juga cerita kalau banyak perempuan Kabul yang mengalami masalah pada pigmentasi kulit mereka karena jarang terpapar sinar matahari. Padahal Kabul termasuk kota dengan paparan sinar matahari tinggi di dunia.
Anyway, kurang adil rasanya membayangkan pakai burqa hanya untuk tujuan seperti itu. Tapi saya bener-bener pengen tahu rasanya memakai burqa. Di Jakarta aja kalau ada orang pakai burqa, pasti menjadi pusat perhatian. Apa yang akan ada dalam pikiran saya, ketika dibalik kain kasa untuk melihat itu saya menangkap mata-mata yang melihat dengan penuh tanda tanya? Mungkin saya akan merasa ditelanjangi, meskipun burqa menutup tubuh saya dengan sempurna. Ah lagi-lagi, sebenarnya apa sih batasan kain untuk menutupi tubuh kita? Karena persepsi yang membentuk definisi kain itulah yang sebenarnya mengendalikan pandangan kita atas tubuh yang mengenakan kain.
Ideologi dalam buku.
Cukup soal burqa, sebelum saya benar-benar mencoba untuk memakainya selama sehari atau seminggu, rasanya saya tak adil jika menganalisa dari perasaan dan pengamatan. Sekarang saya akan bercerita mengenai bagaimana rezim yang berkuasa di Afghanistan mendoktrinasi ajarannya melalui buku, khususnya buku-buku pelajaran.
Di buku ini diceritakan, ketika yang berkuasa adalah Komunis Rusia, anak-anak belajar matematika dengan perspektif kebersamaan untuk negara. Saat topiknya soal rumus menghitung, buku matematika itu berubah menjadi cara untuk memberikan tanah kepada sang penguasa. Jika kita punya sebidang tanah sekian dan tetangga punya sekian, berapa tanah yang dapat diberikan kepada pemerintah jika keduanya digabung? Tapi begitu yang berkuasa Taliban, kalimat pengantarnya berbeda. Sebuah senjata diisi 5 peluru dan 3 sudah dipakai untuk menembak, berapa peluru yang tersisa?
Untung pas zaman Soeharto, buku matematika saya tidak bilang, jika kepala dinas adalah paman kita maka dia bisa memasukkan keluarganya untuk menjadi PNS di sana. 3 anggota keluarga telah masuk menjadi PNS dan akan ada 2 anggota keluarga lain yang akan masuk. Jika semuanya masuk, berapakah jumlah keluarga kita yang menjadi PNS di kantor paman? Yah walaupun buku matematika saya isinya tidak seperti itu, tapi keharusan untuk belajar P4 mulai dari SD sampai kuliah sudah cukup memuakkan.
Selain soal doktrinasi, di buku ini juga diceritakan betapa Sultan sangat mencintai buku-bukunya sama seperti dia mencintai keuntungan yang didapat dari menjual buku-buku itu. Dia sampai punya laci-laci rahasia untuk menyimpan buku yang tidak disukai saat rezim Taliban. Ini karena Taliban, gemar membakar buku. Apalagi buku-buku yang jauh dari ajaran Islam.
Iya buku, tak hanya membuat Sultan menjadi masyarakat kelas menengah tapi juga menjadi orang yang liberal. Dia sangat terbuka dengan demokrasi. Dia bahkan menyediakan buku Salman Rushdie yang katanya halal untuk dibunuh karena sudah menistakan Islam. Buku diam-diam sudah menjadi ideologi tersendiri bagi Sultan, ya ideologi bisnis yang sekaligus menjadi ideologi mencerdaskan anak-anak Afghanistan. Karena Sultan melakukan kerja sama dengan penerbit dan Oxford untuk menerbitkan buku pelajaran baru bagi anak-anak Afghanistan. Walaupun pada akhirnya buku itu tidak sukses diterbitkan, setidaknya niatnya untuk melakukan pembaharuan melalui buku harus diacungi jempol. Dia berusaha membuat anak-anak itu belajar matematika dengan porsi yang benar, tanpa embel-embel kepemilikan tanah atau peluru.
Syahwat itu, urusan laki-laki. Bukan Perempuan!
Awalnya saya membayangkan Sultan adalah sosok pemberontak yang ideal di Kabul. Meski sudah berumur sangat lanjut, tapi isterinya hanya satu. Sayangnya ini hanya bertahan beberapa halaman saja, sebab ternyata Sultan sama dengan laki-laki Taliban yang dia benci dengan segala ajaran fundamentalisnya. Iya saat isteri pertamanya, Sharifa semakin lanjut, Sultan merasa butuh orang baru untuk mengurusnya. Semua keluarga tidak setuju, bahkan ibunya sendiri, tapi Sultan memberi tahu mereka bukan untuk minta restu, melainkan sekadar memberi tahu saja.
Umur Sultan ketika ingin menikahi Sonya adalah 50 tahun lebih. Sedangkan Sonya, masih 16 tahun. Tapi ada perstise tersendiri bagi keluarga Sonya yang memang miskin ketika anak gadisnya dipinang oleh orang terpandang seperti Sultan. Plus Sultan membayar mahar yang cukup fantastis, 300 kg beras, 150 kg minyak goreng, seekor sapi, beberapa ekor biri-bir, dan 15 juta uang Afgan (ini sama dengan Rp 3 juta).
Ya Sultan yang anti Taliban itu ternyata menganggap tak masalah untuk berpoligami. Saya selalu benci dengan teori poligami. Protes saya terhadap poligami adalah ketika pengusaha rumah makan Ayam Wong Solo mendeklarasikan cabang-cabang rumah makannya adalah caranya untuk menghidupi isteri-isterinya. Saya tidak pernah mau makan masakan rumah makan Ayam Wong Solo, bahkan minum atau duduk-duduk di rumah makan itu pun tidak. Ekstrim mungkin, tapi buat saya mengambil sikap itu penting ketimbang menya-menye ngga jelas.
Kembali ke Sultan, untuk menyakinkan keluarganya, Sultan berjanji akan berlaku adil terhadap isteri pertama dan kedua. Tapi pada prakteknya, Sultan suka membelikan kue kesukaan Sonya, untuk dimakan Sonya bersama anak Sonya. Bahkan Sultan sempat membiarkan Sharifa di Pakistan beberapa lama. Pasca serangan di menara kembar 11 September, Sultan harus mengungsikan keluarganya, termasuk Sharifa. Tapi Sharifa tidak langsung diboyong ke Kabul setelah keadaan membaik.
Tapi sebenarnya bukan hanya Sultan yang begitu. Sebab banyak laki-laki di sana yang merasa syahwat yang mereka punya harus disalurkan. Sedangkan untuk perempuan, syahwat atau nafsu adalah sesuatu yang asing. Atau kalau berani untuk dirasakan maka harus siap dengan risikonya.
Jadi ada satu cerita juga dalam buku ini yang menggambarkan kalau perempuan tidak boleh punya nafsu. Ketika perempuan berani untuk bertemu dengan laki-laki yang bukan muhrimnya dan keluarganya memergoki, maka perempuan itu akan dikurung di kamarnya, dipukuli, dimaki-maki, bahkan disebut perempuan sundal. Padahal perempuan itu hanya bertemu di taman dan tidak melakukan apa-apa.
Atau ketika ada seorang laki-laki yang berani menyatakan cinta, perempuan Kabul tidak boleh merasakan kupu-kupu di perutnya. Ini kejadian pada salah satu adik Sultan, Latifa yang ditaksir seorang laki-laki. Surat cinta sudah dikirim, jam tangan cantik sudah diberikan, bahkan berusaha untuk kencan singkat dengan mengantarkan Latifa ke Departemen Pendidikan agar mendapatkan ijin mengajar. Tapi Latifa tidak berani menerima cinta itu karena hanya Sultan, selaku kepala keluarga yang berhak memutuskan Latifa harus menerima pinangan yang dipaketkan dengan cinta dari siapa.
Dan dari ketiga hal di atas, ada satu bab yang berhasil membuat saya tersenyum lebar. Bab itu adalah, Tak Ada Izin Masuk ke Surga. Isinya tentang 16 dekrit ketika Taliban berkuasa, inilah dia:
Jadi si Seierstad tinggal selama 4 bulan di rumah Sultan untuk mencatat, mengamati, dan menceritakan keluarga kelas menegah di negara penuh gejolak. Ada 3 hal yang menarik perhatian saya saat membaca buku Seierstad yang berjudul Bookseller of Kabul ini, yaitu burqa, buku, dan laki-laki. Ketiga hal ini selalu berhasil membuat saya tersenyum, bahkan sampai penasaran mau ke Kabul. Biasa euforia ketika membaca buku, tiba-tiba kita ingin merasakan yang dialami pelaku cerita.
Burqa, kain dua realitas perempuan Kabul.
Oke soal burqa, Seierstad berhasil menampilkan gemerlap di balik kain yang menutupi perempuan dari ujung kepala sampai kaki ini. Jadi salah satu adik Sultan, Shakila akan dinikahkan dengan Wakil. Dan sebagai pengantin wanita lainnya, Shakila harus menjalani beberapa ritual kecantikan. Rumusnya sama, pengantin wanita harus menjadi pusat perhatian sehari semalam. Bukankah itu yang selalu dibisikkan pada telingga wanita sejak dari kecil, yang kemudian membuat wanita lebih cepat memilih hari pernikahan ketimbang pria.
Jadi Shakila diantar ke salon untuk didandani. Pada masa Taliban salon dilarang, tapi ada salon yang berhasil dipertahankan demi memuaskan impian para pengantin wanita tampil cantik di hari pernikahannya. Syaratnya hanya satu, mereka yang berkunjung ke salon kecantikan harus datang dengan burqa dan pergi dengan burqa.
Walaupun saya bukan masuk dalam kategori perempuan yang gemar ke salon, tapi begitu membaca datang dan pergi dengan burqa, saya jadi bertanya, lah riasannya ngga rusak ya begitu ditutupin burqa?
Mau tau apa yang terjadi? Di salon kecantikan itu, dipajang poster artis Bollywood dengan potongan baju yang seksi. Poster itu seolah menjadi saksi bisu atas ratusan gadis Kabul yang rela dicabuti alisnya untuk dibentuk melengkung dan indah. Poster itu juga merekam hidup-hidup bagaimana para calon pengantin wanita merasakan warna menyala pada bibirnya. Dan ketika rambut-rambut mereka yang lembap akibat tertutup burqa harus digulung dengan rol-rol besar, plus disemprot dengan hair spray, poster itu hanya memberikan senyum menggoda kepada para calon pengantin wanita. Secara singkat, para calon pengantin wanita merasakan pandangan mata yang bebas untuk menatap lekat-lekat poster artis Bollywood itu.
Setelah didandani, calon pengantin wanita akan memakai baju gemerlap dan sepatu dengan hak yang menjulang. Sepatu adalah benda yang bisa dipamerkan dengan halal oleh perempuan yang mengenakan burqa, karena sepatu bukan bagian dari aurat tapi tetap menampilkan kesan feminin.
Tapi semua itu harus ditutupi saat mereka keluar dari salon. Dan rambut yang mengembang akibat rol rambut serta hair spray, membuat kain kasa yang adalah 'mata tambahan' mereka saat mengenakan burqa, akhirnya tidak jatuh tepat pada kedua mata. Burqa semakin tertarik ke atas dan batas pandangmu menjadi tak jelas. Lalu bagaimana calon pengantin wanita berjalan menembus jalan berdebu di Kabul? Sanak-saudara yang ikut mengantar adalah jawabannya. Mereka akan dipapah menyusuri tangga dan jalan-jalan. Tampil cantik membuat mereka semakin terbatas menatap dunia.
Setelah Taliban tidak berkuasa, banyak perempuan Kabul yang masih mengenakan burqa. Alasannya karena sudah terbiasa. Beberapa dari mereka memang belajar untuk melepas burqa, karena kain tebal itu tak selamanya nyaman dikenakan pada suhu terik di Kabul. Seiring belajar melepas burqa, perempuan-perempuan di sana juga belajar untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Kursus bahasa Inggris, komputer, atau melanjutkan sekolah formal. Tapi mereka masih suka risih ketika harus berada satu ruangan dengan laki-laki yang bukan muhrim. Rasa risih juga yang dirasakan ketika belajar melepaskan burqa.
Saya membayangkan, apa rasanya ya pakai burqa? Gerah pasti. Iklim tropis Indonesia rasanya akan membuat saya keringat setengah mati ketika memakai burqa. Tapi mungkin saya juga akan memiliki kulit putih, karena jarang terpapar sinar matahari. Ngomong-ngomong soal sinar matahari, buku ini juga cerita kalau banyak perempuan Kabul yang mengalami masalah pada pigmentasi kulit mereka karena jarang terpapar sinar matahari. Padahal Kabul termasuk kota dengan paparan sinar matahari tinggi di dunia.
Anyway, kurang adil rasanya membayangkan pakai burqa hanya untuk tujuan seperti itu. Tapi saya bener-bener pengen tahu rasanya memakai burqa. Di Jakarta aja kalau ada orang pakai burqa, pasti menjadi pusat perhatian. Apa yang akan ada dalam pikiran saya, ketika dibalik kain kasa untuk melihat itu saya menangkap mata-mata yang melihat dengan penuh tanda tanya? Mungkin saya akan merasa ditelanjangi, meskipun burqa menutup tubuh saya dengan sempurna. Ah lagi-lagi, sebenarnya apa sih batasan kain untuk menutupi tubuh kita? Karena persepsi yang membentuk definisi kain itulah yang sebenarnya mengendalikan pandangan kita atas tubuh yang mengenakan kain.
Ideologi dalam buku.
Cukup soal burqa, sebelum saya benar-benar mencoba untuk memakainya selama sehari atau seminggu, rasanya saya tak adil jika menganalisa dari perasaan dan pengamatan. Sekarang saya akan bercerita mengenai bagaimana rezim yang berkuasa di Afghanistan mendoktrinasi ajarannya melalui buku, khususnya buku-buku pelajaran.
Di buku ini diceritakan, ketika yang berkuasa adalah Komunis Rusia, anak-anak belajar matematika dengan perspektif kebersamaan untuk negara. Saat topiknya soal rumus menghitung, buku matematika itu berubah menjadi cara untuk memberikan tanah kepada sang penguasa. Jika kita punya sebidang tanah sekian dan tetangga punya sekian, berapa tanah yang dapat diberikan kepada pemerintah jika keduanya digabung? Tapi begitu yang berkuasa Taliban, kalimat pengantarnya berbeda. Sebuah senjata diisi 5 peluru dan 3 sudah dipakai untuk menembak, berapa peluru yang tersisa?
Untung pas zaman Soeharto, buku matematika saya tidak bilang, jika kepala dinas adalah paman kita maka dia bisa memasukkan keluarganya untuk menjadi PNS di sana. 3 anggota keluarga telah masuk menjadi PNS dan akan ada 2 anggota keluarga lain yang akan masuk. Jika semuanya masuk, berapakah jumlah keluarga kita yang menjadi PNS di kantor paman? Yah walaupun buku matematika saya isinya tidak seperti itu, tapi keharusan untuk belajar P4 mulai dari SD sampai kuliah sudah cukup memuakkan.
Selain soal doktrinasi, di buku ini juga diceritakan betapa Sultan sangat mencintai buku-bukunya sama seperti dia mencintai keuntungan yang didapat dari menjual buku-buku itu. Dia sampai punya laci-laci rahasia untuk menyimpan buku yang tidak disukai saat rezim Taliban. Ini karena Taliban, gemar membakar buku. Apalagi buku-buku yang jauh dari ajaran Islam.
Iya buku, tak hanya membuat Sultan menjadi masyarakat kelas menengah tapi juga menjadi orang yang liberal. Dia sangat terbuka dengan demokrasi. Dia bahkan menyediakan buku Salman Rushdie yang katanya halal untuk dibunuh karena sudah menistakan Islam. Buku diam-diam sudah menjadi ideologi tersendiri bagi Sultan, ya ideologi bisnis yang sekaligus menjadi ideologi mencerdaskan anak-anak Afghanistan. Karena Sultan melakukan kerja sama dengan penerbit dan Oxford untuk menerbitkan buku pelajaran baru bagi anak-anak Afghanistan. Walaupun pada akhirnya buku itu tidak sukses diterbitkan, setidaknya niatnya untuk melakukan pembaharuan melalui buku harus diacungi jempol. Dia berusaha membuat anak-anak itu belajar matematika dengan porsi yang benar, tanpa embel-embel kepemilikan tanah atau peluru.
Syahwat itu, urusan laki-laki. Bukan Perempuan!
Awalnya saya membayangkan Sultan adalah sosok pemberontak yang ideal di Kabul. Meski sudah berumur sangat lanjut, tapi isterinya hanya satu. Sayangnya ini hanya bertahan beberapa halaman saja, sebab ternyata Sultan sama dengan laki-laki Taliban yang dia benci dengan segala ajaran fundamentalisnya. Iya saat isteri pertamanya, Sharifa semakin lanjut, Sultan merasa butuh orang baru untuk mengurusnya. Semua keluarga tidak setuju, bahkan ibunya sendiri, tapi Sultan memberi tahu mereka bukan untuk minta restu, melainkan sekadar memberi tahu saja.
Umur Sultan ketika ingin menikahi Sonya adalah 50 tahun lebih. Sedangkan Sonya, masih 16 tahun. Tapi ada perstise tersendiri bagi keluarga Sonya yang memang miskin ketika anak gadisnya dipinang oleh orang terpandang seperti Sultan. Plus Sultan membayar mahar yang cukup fantastis, 300 kg beras, 150 kg minyak goreng, seekor sapi, beberapa ekor biri-bir, dan 15 juta uang Afgan (ini sama dengan Rp 3 juta).
Ya Sultan yang anti Taliban itu ternyata menganggap tak masalah untuk berpoligami. Saya selalu benci dengan teori poligami. Protes saya terhadap poligami adalah ketika pengusaha rumah makan Ayam Wong Solo mendeklarasikan cabang-cabang rumah makannya adalah caranya untuk menghidupi isteri-isterinya. Saya tidak pernah mau makan masakan rumah makan Ayam Wong Solo, bahkan minum atau duduk-duduk di rumah makan itu pun tidak. Ekstrim mungkin, tapi buat saya mengambil sikap itu penting ketimbang menya-menye ngga jelas.
Kembali ke Sultan, untuk menyakinkan keluarganya, Sultan berjanji akan berlaku adil terhadap isteri pertama dan kedua. Tapi pada prakteknya, Sultan suka membelikan kue kesukaan Sonya, untuk dimakan Sonya bersama anak Sonya. Bahkan Sultan sempat membiarkan Sharifa di Pakistan beberapa lama. Pasca serangan di menara kembar 11 September, Sultan harus mengungsikan keluarganya, termasuk Sharifa. Tapi Sharifa tidak langsung diboyong ke Kabul setelah keadaan membaik.
Tapi sebenarnya bukan hanya Sultan yang begitu. Sebab banyak laki-laki di sana yang merasa syahwat yang mereka punya harus disalurkan. Sedangkan untuk perempuan, syahwat atau nafsu adalah sesuatu yang asing. Atau kalau berani untuk dirasakan maka harus siap dengan risikonya.
Jadi ada satu cerita juga dalam buku ini yang menggambarkan kalau perempuan tidak boleh punya nafsu. Ketika perempuan berani untuk bertemu dengan laki-laki yang bukan muhrimnya dan keluarganya memergoki, maka perempuan itu akan dikurung di kamarnya, dipukuli, dimaki-maki, bahkan disebut perempuan sundal. Padahal perempuan itu hanya bertemu di taman dan tidak melakukan apa-apa.
Atau ketika ada seorang laki-laki yang berani menyatakan cinta, perempuan Kabul tidak boleh merasakan kupu-kupu di perutnya. Ini kejadian pada salah satu adik Sultan, Latifa yang ditaksir seorang laki-laki. Surat cinta sudah dikirim, jam tangan cantik sudah diberikan, bahkan berusaha untuk kencan singkat dengan mengantarkan Latifa ke Departemen Pendidikan agar mendapatkan ijin mengajar. Tapi Latifa tidak berani menerima cinta itu karena hanya Sultan, selaku kepala keluarga yang berhak memutuskan Latifa harus menerima pinangan yang dipaketkan dengan cinta dari siapa.
Dan dari ketiga hal di atas, ada satu bab yang berhasil membuat saya tersenyum lebar. Bab itu adalah, Tak Ada Izin Masuk ke Surga. Isinya tentang 16 dekrit ketika Taliban berkuasa, inilah dia:
- Larangan bagi wanita untuk memperlihatkan bagian tubuhnya.
- Larangan mendengarkan lagu.
- Larangan bercukur.
- Shalat wajib.
- Larangan memelihara burung merpati dan adu burung.
- Pembasmian narkotika dan penggunaanya.
- Larangan bermain layangan.
- Larangan memproduksi gambar.
- Larangan berjudi.
- Larangan mempunyai gaya rambut orang Inggris dan Amerika.
- Larangan atas bunga pinjaman, biaya menukar uang, dan biaya transaksi.
- Larangan mencuci baju di tepi sungai.
- Larangan memperdengarkan lagu dan menari dalam upacara pernikahan.
- Larangan bermain tambur.
- Larangan bagi penjahit untuk menjahit baju perempuan atau mengukur tubuh wanita.
- Larangan bermain sulap.
Subscribe to:
Posts (Atom)